Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Buruh Pendidikan: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Masih Terpinggirkan
1 Mei 2025 12:52 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari ODJIE SAMROJI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Guru bukan sekedar pengajar, tapi memberikan bekal kehidupan bagi siswanya [foto : author]](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jt4krpg16pnd5pdsn00a4817.jpg)
ADVERTISEMENT
Di balik papan tulis yang mulai memudar, dan suara kapur yang terus menari di permukaannya, berdiri sosok-sosok sederhana yang memikul beban besar bernama masa depan. Mereka tak berkemeja rapi layaknya eksekutif kota, tak juga berseliweran dalam sorotan berita. Namun, dalam senyap, mereka adalah arsitek jiwa, penabur harapan, pembangun karakter bangsa. Mereka adalah buruh pendidikan—pahlawan tanpa tanda jasa, yang hingga kini masih kerap terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Mereka datang pagi-pagi sekali, saat matahari baru mengintip di ujung timur. Menyapa anak-anak bangsa dengan senyum yang barangkali menyimpan letih. Di balik senyuman itu, ada tagihan listrik yang belum lunas, biaya sekolah anak yang belum terpenuhi, dan mimpi-mimpi kecil yang kerap ditunda. Tapi mereka tetap hadir. Karena mereka percaya: ilmu adalah cahaya, dan cahaya tak boleh padam.
Namun, dunia tak selalu ramah pada mereka. Di ruang kelas yang pengap, mereka berbicara lantang, berusaha memantik semangat dari kursi-kursi tua yang berderit. Di balik layar, mereka mengejar laporan, mengisi administrasi, mengejar pelatihan yang tak pernah datang. Sementara itu, di luar sana, sebagian orang masih memandang mereka sebelah mata. Seolah menjadi guru adalah pilihan terakhir. Seolah mendidik adalah pekerjaan remeh.
ADVERTISEMENT
Tak banyak yang tahu bahwa di balik pelajaran yang selesai tepat waktu, ada malam-malam panjang tanpa tidur. Mereka menyusun soal ujian sambil menahan kantuk, mengoreksi puluhan kertas tugas sambil menyesap kopi dingin sisa pagi. Mereka bukan hanya pengajar, tapi juga orang tua kedua, konselor tak bergaji, sekaligus motivator yang terus menyemangati anak didiknya—bahkan saat mereka sendiri hampir menyerah.
Sayangnya, apresiasi tak seindah pengabdian. Banyak buruh pendidikan, terutama yang di daerah pelosok atau sekolah-sekolah swasta kecil, masih menerima gaji yang tak cukup untuk hidup layak. Mereka tetap mengajar dengan seragam lusuh, mengandalkan semangat dan cinta pada profesi. Sementara fasilitas terbatas, pelatihan minim, dan beban kerja terus bertambah. Dunia bergerak cepat, teknologi berkembang, tapi mereka sering dibiarkan berjuang sendirian.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, saat prestasi siswa mencuat, nama mereka nyaris tak disebut. Saat pendidikan membaik, keberadaan mereka luput dari panggung penghargaan. Padahal tanpa mereka, tak akan ada dokter, insinyur, pemimpin negeri. Tanpa mereka, huruf-huruf hanya akan menjadi bentuk tak bermakna, dan angka-angka hanyalah simbol kosong.
Namun mereka tetap bertahan, dengan hati yang penuh cinta. Mereka tetap datang, dengan harapan yang belum pupus. Karena bagi mereka, satu anak yang mengerti nilai kejujuran lebih berarti daripada ribuan tepuk tangan palsu. Mereka tak meminta pangkat, tak mengincar gelar. Mereka hanya ingin dihargai. Diperhatikan. Diakui.
Kini, sudah saatnya kita membuka mata dan hati. Menghargai buruh pendidikan bukan hanya dengan kata manis saat Hari Guru tiba. Tapi dengan tindakan nyata: memperbaiki kesejahteraan, menyediakan pelatihan yang layak, memberi fasilitas yang manusiawi. Karena sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang memuliakan para pendidiknya.
ADVERTISEMENT
Buruh pendidikan bukan sekadar pengisi absen harian. Mereka adalah penjaga api peradaban. Mereka adalah pelita yang tak kenal padam, meski diterpa angin zaman. Maka mari berhenti mengabaikan mereka. Sebab ketika cahaya mereka redup, masa depan pun ikut meredup.
Mereka mungkin tak mengenakan jubah kepahlawanan, tapi di mata anak-anak yang mereka ajar, mereka adalah pahlawan sejati. Yang tetap berdiri, meski dunia sering kali tak berpihak.