Konten dari Pengguna

Perlukah Pendidikan Ala Militer Untuk Anak Nakal ?

ODJIE SAMROJI
CEO Baraka Surya Digita & Founder Albirru Indonesia Foundation
2 Mei 2025 13:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ODJIE SAMROJI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gambar Siswa  Sekolah Tentara,  Sumber : pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gambar Siswa Sekolah Tentara, Sumber : pixabay
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, ruang publik kembali ramai dengan wacana pendidikan ala militer untuk anak-anak yang dianggap “nakal.” Hal ini tak lepas dari program yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang memperkenalkan metode pembinaan disiplin ala militer bagi anak-anak dengan perilaku menyimpang. Mulai dari anak yang bolos sekolah, suka tawuran, hingga yang dianggap kurang ajar terhadap orang tua.
ADVERTISEMENT
Tujuannya jelas: ingin menanamkan kedisiplinan, membentuk karakter, dan menyelamatkan masa depan anak-anak yang dikhawatirkan akan tersesat jauh. Tapi, seperti biasa, yang namanya program publik pasti memunculkan dua sisi: ada yang pro, ada pula yang kontra.
Bagi yang setuju, pendekatan seperti ini dianggap sebagai bentuk ketegasan yang memang dibutuhkan zaman sekarang. Anak-anak dinilai terlalu bebas, terlalu dimanja oleh sistem pendidikan yang terlalu “halus,” dan kurang paham arti dari tanggung jawab dan disiplin. Mereka percaya bahwa dengan metode militer, anak akan belajar bangun pagi, mengikuti jadwal yang teratur, menjalani latihan fisik, belajar patuh pada aturan, dan hidup dalam kebersamaan. Semua itu diharapkan bisa membentuk pribadi yang lebih kuat dan lebih siap menghadapi kehidupan.
ADVERTISEMENT
Tapi di sisi lain, banyak juga pihak yang menyayangkan pendekatan tersebut. Mereka mengkhawatirkan efek psikologis dari sistem pendidikan yang terlalu keras, apalagi jika diberikan tanpa memahami konteks masalah anak secara utuh. Tidak semua anak yang dianggap “nakal” benar-benar nakal. Bisa jadi mereka hanya sedang mencari perhatian, sedang mengalami tekanan di rumah, atau justru korban dari lingkungan yang kurang suportif. Kalau pendekatan militer dilakukan tanpa empati, bisa-bisa bukan membentuk karakter, tapi malah menciptakan trauma.
Beberapa psikolog anak bahkan memperingatkan bahwa label “nakal” bisa menjadi stempel yang merusak. Anak yang terus-menerus diberi label negatif bisa tumbuh dengan citra diri yang buruk, merasa tidak berharga, dan pada akhirnya justru makin menjauh dari arah perubahan positif. Apalagi kalau mereka merasa dipaksa menjalani pendidikan yang keras tanpa memahami alasannya.
ADVERTISEMENT
Pendidikan ala militer sejatinya bukan hal baru. Beberapa sekolah semi-militer atau pesantren modern juga mengadopsi model yang mirip: bangun pagi, disiplin ketat, aturan jelas, dan pembiasaan hidup mandiri. Namun, perbedaan utamanya adalah pada pendekatan. Ketika pendekatan dilakukan dengan kasih sayang dan komunikasi yang sehat, hasilnya bisa sangat positif. Anak belajar disiplin tanpa merasa ditekan, belajar mandiri tanpa merasa ditinggalkan, dan belajar patuh tanpa kehilangan jati diri.
Masalahnya, ketika metode militer diterapkan dengan cara yang terlalu kaku, dengan tekanan fisik dan emosional, di situlah bahayanya. Kita harus ingat bahwa anak-anak sedang berada dalam masa pertumbuhan, di mana perasaan mereka masih rapuh, dan cara mereka menanggapi tekanan bisa sangat berbeda. Alih-alih berubah menjadi pribadi yang lebih baik, mereka bisa jadi justru membangun “topeng” agar terlihat patuh, tapi sebenarnya menyimpan luka dalam diam.
ADVERTISEMENT
Jadi, apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak-anak yang disebut “nakal” ini?
Mereka butuh perhatian, bukan hanya aturan. Mereka butuh didengarkan, bukan hanya diperintah. Mereka butuh role model, bukan sekadar hukuman. Banyak kasus kenakalan remaja justru bisa diatasi dengan pendekatan emosional yang sehat—komunikasi terbuka, keterlibatan orang tua, dan lingkungan yang mendukung pertumbuhan karakter.
Kita perlu mengubah cara pandang: bahwa anak yang bandel bukan berarti anak yang rusak. Bisa jadi mereka justru punya potensi besar yang belum tersalurkan. Tugas kita bukan menghukum, tapi mengarahkan. Bukan menekan, tapi menuntun.
Jika program ala militer seperti yang dicetuskan Dedi Mulyadi ingin benar-benar berdampak baik, maka pendekatannya perlu dikaji ulang. Jangan hanya meniru kerasnya sistem, tapi hadirkan juga ruang untuk dialog, empati, dan pendampingan psikologis. Kedisiplinan itu penting, tapi harus dibarengi dengan pemahaman dan kasih sayang. Karena tidak semua anak berubah karena bentakan, kadang mereka berubah karena pelukan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlu ada pelibatan orang tua dalam prosesnya. Banyak anak yang berperilaku menyimpang justru berakar dari relasi yang tidak sehat di rumah. Maka jika hanya anak yang “dibentuk,” tanpa melibatkan orang tua, proses pembinaan bisa timpang. Rumah dan sekolah, atau dalam hal ini lembaga pembinaan, harus berjalan beriringan.
Masyarakat pun perlu lebih bijak dalam menyikapi isu ini. Tidak perlu terburu-buru menyalahkan anak atau sistem. Ajak duduk bersama, diskusikan apa yang terbaik. Jangan sampai kita terjebak dalam romantisme masa lalu—“zaman saya dulu dihukum, jadi disiplin!”—karena konteks zaman, lingkungan, dan cara berpikir anak sekarang sudah jauh berbeda.
Intinya, pendidikan itu seni. Ia bukan tentang siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling bisa menyentuh hati. Pendidikan ala militer mungkin bisa jadi solusi dalam kondisi tertentu, untuk anak dengan latar belakang tertentu, dan dengan pengawasan yang benar. Tapi jika dipaksakan secara umum, apalagi tanpa pendekatan psikologis, risikonya bisa besar.
ADVERTISEMENT
Anak-anak bukan mesin yang bisa dibentuk lewat cetakan. Mereka jiwa-jiwa yang tumbuh, dan setiap jiwa punya jalan sendiri menuju kebaikan. Tugas kita adalah menemani, bukan menghakimi. Membina, bukan menaklukkan.
Jadi, apakah pendidikan ala militer penting? Bisa jadi, asal dilakukan dengan bijak. Tapi jangan lupa, disiplin yang lahir dari pengertian akan bertahan lebih lama daripada disiplin yang lahir dari ketakutan.