Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Banjir Jakarta Dalam Dialektika Publik
27 Februari 2021 7:50 WIB
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar kata banjir maka terbayang sudah kerepotan yang akan dihadapi. Dan kerepotan tersebut pekan lalu melanda Ibu Kota Jakarta yang mengalami banjir untuk kesekian kalinya. Beberapa titik di Jakarta khususnya Jakarta Timur seperti Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar dan sekitarnya dilaporkan ikut terdampak. Akibatnya ratusan jiwa harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi dan kering. Dalam situasi demikian, jangan ditanya bagaimana menjaga prokes di kalangan pengungsi. Sungguh sulit dan dilematis pastinya.
ADVERTISEMENT
Membicarakan banjir memang tak akan ada habisnya. Karena memang bukan untuk dibicarakan berlarut-larut. Air tidak menunggu kita selesai berdialektika. Pengungsi lebih butuh selimut, pakaian, dan makanan alih-alih dialektika banjir yang kadang dibawa ke ranah politik. Sudah diduga bakal jadi ramai kalau masuk ke wilayah ini.
Namun memang tak dapat dielakkan juga ketika beberapa waktu lalu mantan vokalis band tanah air idola anak muda tahun 2000-an dan sekarang sudah menjadi politisi “menyanyikan” banjir Jakarta dalam akun medsosnya. Dan dibalas kembali oleh seorang mantan vokalis band seangkatannya pula yang juga sudah menjadi pemimpin sebuah daerah di Indonesia.
Ramai? Viral? Ya, sempat viral. Tentu saja karena memang dua-duanya mantan vokalis band ternama di negeri kita. Followernya signifikan jumlahnya. Di dalamnya berkumpul tidak hanya follower, hater pun ada. Ini konsekuensi logis seorang public figure. Apa pun bisa jadi viral kalau terkait para pesohor tersebut.
ADVERTISEMENT
***
Sesungguhnya memang banjir merupakan salah satu bencana rutin yang selalu melanda berbagai daerah di tanah air. Dalam sebuah laporannya tahun 2020 lalu, Badan Nasional Penanggulan Bencana (BPNB), menyebutkan bencana alam yang mendominasi Indonesia selama tahun 2020 adalah banjir, diikuti berturut-turut puting beliung dan tanah longsor.
Maka, bukan sebuah kebetulan Indonesia khususnya Jakarta menjadi langganan banjir karena Indonesia memang memiliki 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya berpotensi menimbulkan banjir. “Daerah rawan banjir yang mencakup sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektar,” ungkap Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Laksana Tri Handoko, pada sebuah Webinar Banjir di Masa COVID-19, Rabu, 9 September 2020.
Saya jadi teringat kembali lagu ‘Kompor Meleduk’ Benyamin Sueb, seniman serba bisa Indonesia asal Jakarta. Begini liriknya:
ADVERTISEMENT
“Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk”
“Rumah ane kebakaran gare-gare kompor mleduk”
“Ane jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet”
“Rumah ane kebanjiran gara-gara got mampet”
Penggalan lirik lagu tahun 1970 tersebut menjadi pengingat saya kembali bahwa Jakarta bukan kali ini saja mengalami banjir. Jadi meski para gubernur telah berganti namun faktanya Jakarta belum lepas dari pelukan banjir yang datang kadang tak terduga ibarat Bang Benyamin yang kaget banjir datang saat kompornya lagi meleduk, hehehe.
Artinya, Saudara, jangan terlalu mengeluh dan saling menyalahkan dalam kondisi banjir yang memang sudah sedari dulu menerpa Jakarta. Kalau kata Budayawan Betawi Babeh Ridwan Saidi,” Nih gue orang Betawi, shohibul bait-nye Jakarta. Gue bilangin ame eluh yang baru engeh ame Jakarta. Jakarta mah emang kampung aer, ada rawa sari, rawa bunga, rawa bokor ame rawa rawa laen nye dah...yang nama nye rawa mah emang tempat aer. Sekarang di tempatin orang... yaa kalo banjir jangan ngeluh, tempat aer di tempatin...dari zaman kumpeni Jakarta udeh langganan banjir.”
ADVERTISEMENT
Dan jangan lupa pula selain kata Babeh Ridwan Saidi bahwa Jakarta selain banyak rawa, juga banyak kali. Ada 13 kali yang membelah Jakarta. Ada Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Grogol, Krukut, Kali Pesanggarahan, Kali Baru Barat dan Timur, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.
Maka tak heran memang Jakarta menjadi langganan banjir. Jadi, tak elok juga mengarahkan telunjuk jari hanya kepada satu orang yang harus menanggung banjir Jakarta. Mari bahu membahu mengatasi banjir seperti kita bahu membahu mengatasi pandemi COVID-19. Dapat pula melibatkan peran lembaga riset misalnya LIPI, BMKG, BPPT atau BNPB untuk mendapatkan alternatif pertimbangan sebagai rekomendasi atau solusi menciptakan masyarakat siap siaga bencana khususnya mitigasi bencana banjir.
ADVERTISEMENT
Salah satunya kita simak kembali penjelasan Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Prof. Dr. Ignasius Dwi Atmana Sutapa tentang penyebab terjadinya banjir dalam webinar yang sama bersama Kepala LIPI. “Berkurangnya daerah tangkapan air, perubahan tata guna lahan, saluran air yang tidak memadai serta perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan, dan curah hujan tinggi akibat perubahan iklim,” ungkapnya dalam webinar yang sama pada 9 September 2020.
Hal senada diungkapkan Gunawan Budiyanto dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Lahan (2014) yang menyatakan hilangnya kawasan resapan air yang beralih fungsi menjadi sebuah bangunan baik itu pemukiman ataupun bahu jalan ikut mempengaruhi daya resap air tanah. Menurut Data Forest Watch Indonesia sekitar 5700 hektare hutan di puncak, Bogor hilang dalam kurun waktu 16 tahun terhitung sejak 2000-2016 bahkan alih fungsi lahan tersebut hingga ke daerah aliran sungai Ciliwung. Maka menjadi logis jika akhirnya kawasan puncak yang seharusnya menjadi kawasan lindung terhadap kawasan di bawahnya yakni kawasan penyangga dan kawasan budidaya disebut menjadi salah satu faktor munculnya banjir di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Saat saya menanyakan langsung kepada Prof. Ignasius yang juga Direktur Eksekutif Asia Pacific Centre for Ecohydrology – UNESCO Category II Centre (APCE – UNESCO C2C), pada Rabu (24/2), ia menitipkan pesan untuk mitigasi banjir, “Sesungguhnya semua informasi sudah ada untuk dihitung dan diperkirakan, berapa jumlah air yang akan datang, apakah daya tampung air cukup atau tidak, kalau tidak pasti sungai akan meluap. Maka perlu upaya-upaya terukur dan komprehensif untuk mengatasinya bersama.”
Di sisi lain, menurut saya tak elok juga menyalahkan curah hujan penyebab banjir. Bukankah hujan rahmatnya Allah? Kalau meminjam istilah judul buku antologi esai karya esais Iqbal Aji Daryono.”Jangan Mengutuk Hujan”, dan memang tak perlu dirasionalkan pelarangan jangan memaki hujan,” tuturnya. Bukankah selalu ada hikmah terselubung di balik suatu kejadian, termasuk banjir, baik hikmah personal maupun komunal dalam penanggulangan banjir. Misalnya yang luput dari pantauan kita antara lain semakin larisnya jualan pedagang jas hujan, pedagang gorengan, pedagang perahu, tukang bersih-bersih got mampet, atau terjalinnya kembali rasa sosial dan kemanusiaan masyarakat saling bahu membahu membantu korban banjir.
ADVERTISEMENT
Jadi Saudara, memang dalam hidup kadang kala tidak semua dapat dirasionalkan, ada area yang memang sebaiknya kita biarkan dalam gua misterinya alih-alih kita gali lebih jauh namun tentunya dapat kita petik hikmahnya saja. Itu.
***
Suzan Lesmana – Pranata Humas LIPI