Konten dari Pengguna

Keutamaan Ngaji (1): Seribu Pahala

Suzan Lesmana
Pranata Humas, ASN BRIN, ASNation
24 Oktober 2020 18:51 WIB
clock
Diperbarui 14 April 2021 6:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kitab Ngaji. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kitab Ngaji. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Mendengar kata Ngaji pasti sudah tak asing di telinga kita orang Indonesia. Umumnya kata ngaji identik dengan membaca Al Quran sebagaimana definisi mengaji menurut KBBI, yakni mendaras (membaca) Alquran. Makna lebih luas dari ngaji adalah belajar seluruh ilmu agama Islam. Dalam konteks hadits, istilah ngaji disebut dengan “Tholabul ‘Ilmi” atau menuntut ilmu. Selanjutnya penulis akan menggunakan kata Ngaji di tulisan ini untuk menggantikan kata menuntut ilmu.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya selain sifatnya kewajiban seorang muslim dan merupakan kategori fardhu ‘ain atau kewajiban per individu yang harus dilakukan oleh setiap individu seperti halnya sholat lima waktu, puasa Ramadhan. Zakat, dan pergi haji ke Mekkah sekali seumur hidup, banyak manfaat dari kebiasaan Ngaji. Mari kita ambil lima saja Keutamaan Ngaji dalam artikel ini dari sekian banyak keutamaan dan keberkahan Ngaji sebagaimana termaktub dalam Al Quran, Hadits maupun kitab-kitab ulama salafunashsholih.
Seribu Pahala Utama
Orang yang Ngaji di majelis ‘ilmu pahalanya dicatat Allah lebih utama dari seribu raka’at shalat sunnah, ziarah seribu orang sakit, dan mengantar seribu jenazah. Sabda Nabi SAW dari riwayar Abu Dzar: “Hudhuro majalis ‘ilmi afdhalu min shalatin alfi raka’atin, wa ‘iyadatil alfi mariid, wa hudhuri alfi janazah”, yang artinya "Hadirnya seseorang di majlisnya orang alim adalah lebih utama dari seribu rakaat (sunnah), lebih utama pula dari menjenguk seribu orang sakit & lebih utama pula dari menyaksikan (mengantarkan) seribu jenazah."
ADVERTISEMENT
Ada tidak bapak ibu yang pernah shalat sunnah seribu raka’at? Shalat tarawih saja kadang-kadang cek-ricek jadwal imamnya. “Lama dia mah!,” kata seorang jama’ah. Imam yang jadi favorit biasanya yang pendek bacaaan suratnya. Belum lagi siapa orang yang pernah menjenguk seribu orang sakit? Apalagi lagi musim Corona sekarang, pada tidak berani ke rumah sakit atau nengok orang sakit.
Yang lebih luar biasa lagi lebih besar pahalanya dari mengantar seribu jenazah. Taukah bagaimana pahala mengantarkan satu jenazah muslim? Nabi SAW pernah katakan mendapatkan satu qirodh yang nilainya sama seperti sedekah satu gunung emas. Itu baru satu jenazah muslim yang kita antar, sedangkan menghadiri majelis ilmu adalah lebih besar pahalanya dari mengantarkan seribu jenazah.
ADVERTISEMENT
Semangat Ngaji
Kadang kala saat kita ngaji tidak semua dapat kita fahami karena waktu kita habis dari pagi hingga sore harinya bekerja mencari nafkah. Malam hari baru kita sempat Ngaji. Tetap semangat sebagaimana hadits Nabi: “Kun ‘aliman, aw muta’alliman, aw mustami’an, aw muhibban, a la takun khamisan”, yang artinya “Jadilah orang yang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkan, atau orang yang mencintai (ilmu), janganlah menjadi orang kelima” (H.R. Baihaqi).
Penulis mempunyai seorang teman yang sangat rajin Ngaji. Guru belum datang ke majelis, dia sudah datang. Speaker dia colokin, mic dinyalain dan dicobain bagus tidaknya. Karpet dia gelar, nyeduh kopi dan the buat guru dan jama’ah. Kopi diseduh, teh manis diaduk. Gorengan ditarok di piring, plus kue-kue ringan. Beres semua, dia shalawatan.
ADVERTISEMENT
Pas mulai ngaji, guru baca kitab, dia juga buka kitab, guru suruh tutup dia tutup. Eeeh, pas ada yang telat datang duduk di belakangnya nanya,” halaman berapa bang?”. “Gak tau ya, saya juga bingung,” katanya. Laaah, ternyata dia bingung tidak bisa baca arab gundul karena kitab kuning khas pesantren.
Pokoknya datang sajalah meski kata orang Betawi “Jiping” alias Ngaji Nguping, atau “Jider” (Ngaji Nyender), “Jiler” (Ngaji Ngiler) sekalipun. Duduk hadir Ngaji bersama para orang-orang sholeh diajar guru yang akan menunjukkan kebaikan-kebaikan untuk keselamatan kita dunia dan akhirat. Karena jika tak ada guru (agama) maka tak kenal kita akan Tuhan kita, seperti pepatah Arab “Lawla murabbi, ma 'araftu Rabbi’.
Jangan under estimate diri sendiri, “aah gua mah ‘gak bakat ngaji, gak ada turunan gua dari bapak dan engkong, gak ada yang ustadz”. Nggak boleh begitu. Ingat “Man jadda wa jada”. Lihat Muallim Syafi’i Hadzami, walaupun dalam tradisi keluarganya, tidak ada yang mempunyai kecenderungan menjadi ulama atau kiai. Namun, berkat didikan kakeknya yang sering menyuruh Muhammad Syafi’i Hadzami untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat-tempat para ulama, membuat beliau ingin menyamai mereka. Berangkat dari keinginan inilah yang menjadikannya selalu bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan perjalanan intelektual ulama lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat, Muhammad Syafi’i Hadzami hanya mencari ilmu-ilmu agama di sekitar Jakarta. Beliau tidak pernah belajar di pesantren atau madrasah, apalagi di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang ini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi beliau. Sebab dari sinilah beliau belajar ilmu-ilmu agama.
Adapun salah satu guru utama Muhammad Syafi’i Hadzami yang lain adalah Habib Ali bin Husein al-Attas yang lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Beliau membaca kitab di hadapan Habib Ali yang sering disebut dengan istilah sorogan selama kurang lebih 18 tahun.
Meskipun Muhammad Syafi’i Hadzami hanya belajar ilmu agama kepada ulama-ulama yang berada di sekitar Jakarta. Namun tingkat keilmuan yang dimilikinya tidak kalah hebat dengan ulama-ulama lainnya yang hidup pada abad ke-20. Hal ini disebabkan karena kemantapan hati, ketekunan, dan usaha keras yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlak, dan kecerdasannya.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu apa lagi yang ditunggu. Yuks ngaji. Mumpung masing banyak majelis ‘ilmu yang diajarkan para guru-guru agama yang menjadi pewarisnya para Nabi, yakni para ulama, kyai, habaib, ustadz-ustadzah yang rela dan ikhlas mengajarkan ilmu agama penuntun kehidupan dunia dan akhirat kita.