news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Masker Selulosa Bakteri, Solusi Alternatif Masker Medis

Suzan Lesmana
Pranata Humas, ASN BRIN, ASNation
Konten dari Pengguna
5 Januari 2021 17:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini Pesan Ibu 3M, yakni memakai masker kapanpun dan di manapun berada, mencuci tangan setiap saat dengan menggunakan sabun dan air mengalir serta menjaga jarak dengan orang lain masih terus didengungkan mengingat kurva infeksi Covid-19 belum juga melandai.
ADVERTISEMENT
Kementerian Kesehatan melalui Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Achmad Yurianto pernah mengimbau masyarakat untuk memakai masker yang baik dan bahan yang benar. Ia menjelaskan ada 3 jenis masker yang direkomendasikan, yakni masker N95, masker bedah, dan masker kain.
Rupanya memakai masker memang masih menjadi ikhtiar dan upaya utama mencegah penularan Covid-19 yang efektif. Seperti yang kita tahu, Covid-19 menyebar secara cepat melalui percikan droplet baik saat bersin maupun batuk. Memakai masker adalah salah satu cara efektif untuk menahan droplet tersebut menyebar. Yang perlu diperhatikan betul adalah pemilihan dan pemakaian masker menjadi prioritas, terutama diperhatikan tingkat kerapatan pori-pori masker.
Kualitas masker N-95 dan masker medis (surgical mask) memang mnasih memiliki tingkat efisiensi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masker kain karena ukuran pori masker N95 adalah 0,1 -0,3 mikron.
ADVERTISEMENT
Namun penggunaan masker kain sampai saat ini masih dominan pula dipakai masyarakat. Bahkan sempat jadi pilihan dengan berbagai warna dan motif menarik di saat awal-awal pandemi seiring dengan melejitnya harga masker medis dipasaran kala itu.
Yang perlu diperhatikan adalah jenis masker kainnya. “Masker kain memiliki tingkat perlindungan berbeda beda terhadap virus hal ini disebabkan karena adanya perbedaan besar TPI (thread per inch). TPI merupakan satuan untuk jumlah benang per inchi dimana 1 inci adalah 2,54 cm,” terang Dian Burhani, Peneliti Pusat Penelitian Biomaterial LIPI.
Masker kain berbahan katun atau scuba yang memiliki pori cukup besar, yaitu sekitar 30-40 mikron. Selain itu masker scuba biasanya hanya terdiri dari satu lapis sehingga efektivitasnya dalam menahan virus sangat diragukan,” papar Dian. “Kalau maskernya hanya satu lapis, di khawatirkan droplet yang menempel pada bagian luar masker scuba dapat meresap melalui pori masker sehingga virus Covid-19 dapat langsung mengenai mulut dan hidung kita,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk bahan kain sifon dan sutra, didapatkan data bahwa kedua bahan ini lebih efektif dalam menyaring partikel berukuran nano (~<100 nm). Hal ini disebabkan karena adanya gaya elekstrostatik antara sutra dan partikel yang memiliki muatan partikel berbeda. Masker yang terdiri dari empat lapisan sutra yang biasa digunakan untuk scarf memilki efisiensi penyaringan diatas 85% untuk partikel dengan ukuran 10 nm hingga 6 µm.
“Maka jika kita menggabungkan kain katun TPI tinggi dan sutra, kita bisa mendapatkan efisiensi penyaringan yang lebih tinggi hingga mencapai lebih dari 95%. Untuk diketahui, ukuran virus COVID-19 adalah 70 hingga 90 nm dengan droplet yang berukuran beragam mulai dari nano hingga ukuran mikron meter,” rinci Dian.
ADVERTISEMENT
***
Di sisi lain, terus meningkatnya kurva infeksi pandemi COVID-19 di Indonesia, membuat permintaan masker medis meningkat dan mengancam kuantitas pasokannya. Selain itu, limbah dari masker medis juga menimbulkan ancaman terhadap lingkungan.
Salah seorang Tim Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Oseanografi, Reza Cordova merilis hasil monitoring sampah APD semasa pandemi dalam jurnal Chemosphere (2020). Ia mengungkapkan bahwa riset monitoring sampah di muara sungai menemukan sampah APD, salah satunya adalah masker medis selain sarung tangan medis, pakaian hazmat, pelindung wajah, jas hujan, yang sangat mencolok dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Memperhatikan krusialnya masker medis, maka para peneliti di LIPI melalui Pusat Penelitian Biomaterial terus berupaya untuk berinovasi dalam membuat masker dari bahan alam yang ramah lingkungan, salah satunya yaitu dari selulosa bakteri (BC). BC telah mendapatkan perhatian sebagai biofabric alami dalam bentuk non-tenun dan non-jahitan untuk industri biocouture. Karena karakteristik fisikokimia dan biologisnya, penerapannya telah diperhatikan untuk pakaian medis.
Ilustrasi Bahan Selulosa Bakteri. Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Bacterial_cellulose
“Kita semua tahu bahwa selulosa bakteri atau BC telah ada sejak lama. Di Indonesia dan negara Asia lainnya, BC dikenal sebagai nata de coco. Namun, dengan sifat unik BC, termasuk kemurniannya yang tinggi, kristalinitas tinggi, ringan, morfologi jaringan, kekuatan serat, biokompatibilitas yang sangat baik, polimerisasi tinggi, dan kemampuan cetakan yang baik, BC dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang tidak hanya dalam makanan,” ungkap Dian lebih jauh.
ADVERTISEMENT
Dian menyatakan ada lima parameter yang umumnya digunakan untuk mengukur apakah bahan memenuhi persyaratan masker medis atau tidak. “Parameternya adalah efisiensi infiltrasi bakteri, tekanan diferensial, efisiensi filtrasi partikulat sub-mikron pada 0,1 mikron, ketahanan percikan, penyebaran api dan kebersihan mikroba.
Sementara itu, BC memiliki porositas yang tinggi 92 - 99 persen dan ukuran pori kecil antara 5 - 400 mikron, dengan ketebalan basah dan kering masing-masing 11,60 mm dan 0,1 mm. BC lebih efektif jika dibandingkan dengan masker medis komersial yang memiliki ketebalan 0.4417 mm dengan berat 95.775 g/cm3 dengan ukuran pori 16.90 mikron.
“Oleh karena itu, secara analogi, dalam hal Efisiensi Penyaringan Bakteri atau BFE, ketahanan percikan dan efisiensi penyaringan partikulat sub-mikron dengan sifat-sifat yang dimiliki BC, kita dapat menganggap bahwa BC juga dapat digunakan untuk masker medis,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, meskipun tidak ada penelitian saat ini yang melihat pemanfaatan BC sebagai bahan untuk masker medis, dilihat dari karakteristiknya dan membandingkannya dengan masker medis komersial, BC memiliki peluang untuk mencapai hasil yang sebanding. “Namun, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencapai semua persyaratan tersebut. Dalam aplikasi nonmedis, BC yang menyerupai kulit memiliki kinerja yang baik dibandingkan dengan masker kain dari serat alami dan sintetis,” tegasnya.
Dian menyatakan masih ada beberapa masalah signifikan perlu diatasi, termasuk ketahanan mekanis dan kenyamanan. Secara ekonomi, pemanfaatan BC masih dipertanyakan. Namun, penelitian telah dilakukan untuk menurunkan biaya produksi dalam hal regangan, media dan proses fermentasi agar BC layak secara komersial. BC memberikan harapan untuk biofabric yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Sambil menunggu perkembangan masker dari BC, yuks tetap konsisten memakai masker seperti yang pernah diimbau manfaatnya oleh Kemenkes, yakni:
Pertama, apabila seseorang yang membawa virus tidak menggunakan masker dan melakukan kontak dekat dengan orang rentan maka kemungkinan penularan mencapai 100 %.
Kedua, orang yang sakit pakai masker, sementara kelompok rentan tidak memakai masker maka potensi penularan mencapai 70%,
Ketiga, orang sakit pakai masker, sementara orang sehat tidak pakai masker maka tingkat penularannya hanya 5 persen.
Keempat, jika keduanya pakai masker, maka potensi penularan hanya 1,5%.
***
Suzan Lesmana (Pranata Humas LIPI)