Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menuntut Ilmu Hukumnya Wajib
24 Oktober 2020 16:36 WIB
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sejak kecil kita sudah sangat hafal kata-kata dari guru agama kita bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Seperti apa yang disebut dalam sebuah pantun: “Minum jamu rasanya ajib, itu obat bukan air keramat. Menuntut ilmu hukumnya wajib, bagi muslimin dan muslimat”.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana kita fahami, bahwa tujuan diciptakan jin dan manusia semata-mata untuk beribadah kepada RabbNya. “Wamaa khalaqtul jinna waal-insa illaa liya’buduun” , yang artinya “Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Beribadah pada Allah jika tidak didasari ilmu atau tanpa tuntunan maka akan jadi amalan yang sia-sia, terutama ibadah mahdhah. Karena jika tanpa ilmu, maka mengerjakan shalat bisa jadi tidak sah jika rukun-rukunnya terlewat.
Pentingnya Ilmu
Betapa pentingnya ilmu, makanya Nabi Muhammad SAW tegaskan dalam haditsnya :“Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘alaa kulli muslimin wal muslimat”, yang artinya “ Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat”. (H.R. Ibnu Majah)
Dari hadits tersebut menuntut ilmu diwajibkan bukan saja bagi laki-laki tetapi bagi perempuan juga. Tidak ada perbedaan keduanya dalam menuntut ilmu. Hanya saja dalam menuntut ilmu harus tetap sesuai dengan syari’at-syari’at Islam. Jadi, hukum menuntut ilmu adalah wajib/Fardhu.
ADVERTISEMENT
Fardhu sendiri dibagi menjadi Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah. Fardhu ‘Ain adalah mempelajari ilmu agama seperti Aqidah, Fiqh, Adab, Akhlak, Al Quran yang berlaku untuk setiap muslim baik laki-laki atau peremuan wajib mempelajarinya. Sedangkan Fardhu Kifayah adalah mempelajari ilmu bidang pengetahuan umum di masyarakat seperti politik, ekonomi, sosial dan lain-lain. Jadi, tak setiap orang dituntut mempelajarinya.
Waktu Menuntut Ilmu
Dalam menuntut ilmu, waktunya tidak ditentukan sebagaimana waktu Shalat. Setiap ada waktu dan kesempatan dapat digunakan untuk menuntut ilmu sebaik-baiknya. Menuntut ilmu juga tidak harus di lembaga formal seperti sekolah, pesantren, tetapi dapat juga di lembaga non formal seperti Majlis Taklim dari usia anak-anak hingga kakek-nenek. Karena menuntut ilmu tak kenal batas usia.
ADVERTISEMENT
Orang Betawi menyebut menuntut ilmu itu dari dibedong ampe dibedong lagi. Maksudnya sejak dibedong (bayi) hingga dibedong (jenazah yang dikafani), sebagaimana disebut dalam mahfuzhat (pepatah) “Uthlubil 'ilma minal mahdi ilal lahdi” yang artinya “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian sampai liang lahat”. Begitu pula jargon Inggris “Long Life Education” yang artinya kurang lebih sama.
Dari dua pepatah beda asalnya tersebut menekankan hal yang sama seperti hadits Nabi, betapa menuntut ilmu ditanamkan sejak dini. Grup Qasidah Nasida Ria yang terkenal era tahun 70-80an pernah mengeluarkan lagu terkait menuntut ilmu sejak kecil ini. “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Belajar sesudah dewasa, laksana mengukir di atas air”.
Betapa penting menuntut ilmu sedari kecil menjadi masuk akal jika kita bandingkan dengan orang tua yang lebih tua umurnya namun dalam fikiran dan hatinya sudah ada “lapak” atau “folder” macam-macam hal dalam kehidupan sehingga ilmu sulit masuk baik dalam menghafal maupun memahami.
ADVERTISEMENT
Sudah susah menghafal belum lagi akan terjadi dialektika dalam hatinya ketika sebuah ilmu akan masuk. Jika ia masih ragu maka tidak akan yakin sebelum dia nanya balik, sebagaimana kaidah fiqh “Al Yaqin la yuzalu bil syak”, yang artinya “Keyakinan tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan”. Berbeda sama anak-anak kecil yang langsung masuk tanpa halangan dan lebih awet.
Tuntut Ilmu Sampai Ke Negeri Cina
Nabi Muhammad pun menganjurkan menuntut ilmu sampai ke Negeri Cina, “Uthlubul ‘ilma walau bishshiin”. Sebuah hadits yang secara implisit dimaknai sebagai perintah Nabi kepada umatnya untuk menuntut ilmu sampai jauh dari negerinya.
Zaman dahulu jarak dari Makkah atau Madinah ke Cina begitu jauh. Apalagi kalau ngajinya dekat-dekat, kepeleset nyampe kata orang Betawi mah. Terkadang kita terlalu banyak alasan tidak mau belajar agama dan hadir di majelis ilmu. Kebangetan banget deh kalau sampai malas-malasan berangkat ngaji dengan alasan ngantuk, misalnya. Atau alasan hujan, walaupun rintik-rintik saja.
ADVERTISEMENT
Saat mau berangkat ngaji dan hujan gemericik, tangannya pun dijulurkan duluan ke teras rumah. “Yaaach..Hujaan,” ujarnya sambil tangannya ditarik. Giliran pergi kondangan yang ada hiburan organ tunggalnya, ia penuh semangat saat hujan. “Aaach, bentar lagi juga berhenti hujannya,” harapnya.
Kadangkala kalau lihat kelakuan yang ngaji kadang-kadang lucu sekaligus miris. Murid ada 10 orang. Dua murid ngantuk sehingga tidur-tidur ayam alias nundutan kata orang Sunda. Dua lainnya kepalanya kliyengan alias pusing. Dua lainnya main hape. Dua lagi pada ngobrol. Dua lainnya “jiler” alias ngaji ngiler alias tidur.
Atmosfir Pengajian Ibu-Ibu
Yang menggembirakan kalau melihat atmosfir pengajian ibu-ibu. Kalau ibu-ibu paling getol ke pengajian. Dimana-mana pengajian ibu-ibu selalu ramai. Saat tengah hari buta, ibu-ibu sudah sampai duluan ke majelis. Mic dinyalain, speaker dicolokin, teman-teman pengajiannya dipanggil satu demi satu. “Romlaahh, Ipeeh,….Nihayee”. Kadang sambil nyanyi: “Ibu-ibu sekalian, hari ini pengajian. Janganlah kita lupakan, sebab itu kewajiban”.
ADVERTISEMENT
Jangan lupa, shalawatnya pengajian ibu-ibu sangat variatif untuk menarik minat cinta shalawat. Misalnya lagu Cindai (Melayu) dinyanyiin: “Yaa Nabi Salaam, Salam ‘alaika, Yaa Rasul Salaam , Salam ‘Alaika. Ya Habib Salaam, Salam ‘Alaika, Shalawatullah ‘Alaika”.
Adapula shalawatan dengan langgam lagu dangdut Iwak Peyek: “Muhammadun-Muhammadun, Muhammadun Nabiyyuna. Muhammadun-Muhammadun Habibuna”.
Sampai lagu India Kabi Kushi Kabhi Gham pun jadi langgam shalawatan. “Dzoharuddinul Mu’ayyad, Bidzuhuri Nabi Ahmad. Ya Hanaana Nabi Muhammad, Dzalikal Fadhlu Minallaah…Kabi Khushi Kabhi Gham.
Bagaimana? Patut dicontoh ya semangatnya para ibu-ibu shalehah tersebut? Yuks, Ngaji!