Nasi Padang 10.000-an: Cara Praktis Berbagi Kebaikan dengan Harga Ekonomis

Suzan Lesmana
Pranata Humas, ASN BRIN, ASNation
Konten dari Pengguna
8 September 2021 16:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi  Nasi dan Lauk-Pauk. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Nasi dan Lauk-Pauk. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Sudah lebih dari setahun, pandemi melanda negeri. Tentu saja situasi ini berimbas signifikan pada berbagai sektor kehidupan, khususnya bidang ekonomi. Termasuk pendapatan dan penghasilan masyarakat ikut terkena dampaknya. Termasuk penghasilan saya yang berkurang signifikan setiap bulannya akibat penghematan anggaran di beberapa bidang. Fokus penelitian dan penanganan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, jujur saja pola dan porsi makan saya tak berubah meskipun pemasukan berkurang. Begitu juga selera makan yang tetap saja tak dapat menghilangkan kebiasaan mengonsumsi makanan ternikmat sedunia, (((nasi padang))). Minimal sekali sepekan keluarga saya menu makan siangnya nasi padang—terutama akhir pekan.
Mengapa demikian? Selain lidah kami sekeluarga yang terbiasa dimanjakan bumbu rendang dan berbagai kuah pedas berkuah khas menu nasi padang, istri saya pun biasanya istirahat masak di akhir pekan—perlu me-time katanya, hmmm no problem. Maklumlah sejak saya minta dia resign dari pekerjaan di rumah sakit untuk fokus mengurus rumah tangga dan mendampingi anak, otomatis waktunya dihabiskan untuk keluarga. Terima kasih, istriku.
Nah, masalahnya 1 porsi nasi padang di daerah perumahan saya dipatok harga minimal hampir 20.000 rupiah. Dengan harga tersebut didapatkan nasi dan sepotong lauk rendang, ayam atau ikan plus bonus daun singkong rebus, sayur nangka dengan kuah kuningnya dan lado atau sambal hijau atau merah. Lumayan juga biayanya di saat pandemi jika menu makan siang dan malam nasi padang terus—meskipun sepekan sekali.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba saat mulai pandemi pada Maret 2020, muncullah warung masakan padang di perumahan saya—menggantikan penjual pempek Palembang yang pindah kontrakan. Dan istimewanya, harga yang ditawarkan pun bikin kaget dan mencerahkan, yakni 10.000 rupiah. Wooww, pikir saya saat itu. Sebuah cara praktis berbagi kebaikan dengan harga ekonomis di kala pandemi yang membuat semua meringis. Tak tunggu lama saya pun mencoba membeli nasi padang dengan lauk rendangnya tersebut.
Karena penasaran, saya pun memperhatikan saat penjual nasi padangnya membungkus lauk rendang. Pertama saya perhatikan nasinya. Nasi saya pikir sama saja, sih, kalau tampak kasat mata dengan warna yang sama umumnya. Yang beda adalah porsinya lebih sedikit dari porsi nasi di warung nasi padang biasanya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya mata saya tertuju ke lauk rendang yang dimasukkan pelan-pelan di atas nasi. Eh, sepertinya lebih kecil juga ukurannya. Akan tetapi daun singkong, kuah kuning sayur nangka dan sambal sepertinya tetap ada—sudah jadi bonus standar nasi padang sepertinya meski harganya 10.000 rupiah. Syukurlah pikir saya, kuah khas itu adalah salah satu unsur kelezatan nasi padang. Saat kuah tersebut diguyurkan ke nasi, terbayang sudah kelezatan campuran bumbu rempahnya mengalir pelan masuk kerongkongan. Bikin nagih dan nambah.
Sampai rumah, selain memang sudah lapar, saya pun buru-buru membuka bungkusan nasi padang yang baru dibeli. Istri saya pun membersamai saya makan—sambil menyuapi anak kami yang bungsu. Hahaha, istri saya kaget melihat porsi nasi padang saya saat itu. “Setengah porsi, Pah?” tanyanya tak yakin. Saya hanya mengiyakan pendek. “Pantesan kembaliannya banyak,” ujar istri saya mengomentari kembalian uang belanja nasi padang yang tak biasanya.
ADVERTISEMENT
Tak harus menunggu lama nasi padang lauk rendang sudah ludes tanpa effort lebih mengunyahnya. Meski rasanya tak ada yang berubah—tetap khas nasi padang, namun porsinya memang lebih sedikit dari porsi nasi padang yang biasanya. Yaah, setimpal dengan harganya yang 10.000 rupiah. Kalau istri saya, sih pas-pas saja katanya.
Ya, saya pikir terlepas dari porsi nasi dan ukuran lauk rendangnya yang memang lebih minimalis untuk pria seukuran saya, namun harganya memang ekonomis. Meski ekonomis, jangan ditanya kalau enaknya. Nggak kalah dari warung nasi padang umumnya yang mematok harga hingga 20 ribuan. Saya pikir nasi padang 10.000-an adalah solusi makan enak tapi ekonomis alias murah aka hemat di kantong. Sampai saat artikel ini ditulis, tercatat ada 2 warung masakan padang yang menjual nasi padang harga 10.000-an yang ramai dikunjungi pembeli di perumahan saya.
ADVERTISEMENT
Bagi yang gemar lauk kepala kakap, harganya pun cukup murah, 13.000 rupiah. Tapi ya kepala ikannya dibagi dua juga, alias hanya sebelah. Namun saya kok lebih suka yang 13.000-an ini, ya. Menurut saya bumbunya lebih meresap karena kepala ikan dibelah.
Hmm, bagaimana Saudara? Jangan kuatir pokoknya, meski makan nasi padang tapi harganya tak bikin dompet jebol. Tak hanya rendang yang 10.000 rupiah, ayam goreng, ikan goreng, harganya masih sama. Kuy, langsung aja ya, ke warung nasi padang 10.000-an. Semoga sudah ada, di daerah kalian. Kalau belum ada, kenapa nggak kalian yang buka cabang? Meski tipis-tipis keuntungannya, tapi lancar sirkulasi uangnya. Dan yang pasti meski pembeli tetap harus membayar, tapi dengan harga 10.000 rupiah, sungguh sebuah kebaikan dari pemilik usaha, terlepas ada motif ekonominya. Maka kita pun dapat memetik hikmahnya untuk teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular dengan cara masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dengan uang 500.000 rupiah misalnya, kita pun dapat berbagi kepada sesama dengan membeli nasi padang 10.000-an hingga 50 bungkus. Dan hal ini biasa dilakukan oleh salah seorang donatur yang bersedekah melalui nasi padang 10.000-an untuk para jama’ah salat Jum’at. Sangat bermanfaat sekali, bukan? Semoga kebaikannya dapat menular dan menjadi inspirasi bagi kita semua. Terutama saat masih pandemi yang belum berakhir ini. Kita pun dapat bersedekah dengan membeli nasi padang 10.000-an untuk sesama yang membutuhkan, kapan pun dan kepada siapa pun. Kalau dirasa kurang porsinya, ya minta tamboh ciek saja.
***
Suzan Lesmana - Pranata Humas BRIN