Menyoal Praktik Human Traffic dan Perbudakan di Kapal Perikanan

Konten Media Partner
24 April 2018 6:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi korban perdagangan manusia (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korban perdagangan manusia (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia masih terus menyelidiki praktik perdagangan manusia dan perbudakan terhadap 20 orang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berprofesi sebagai anak buah kapal (ABK) pada kapal perikanan yang diduga kuat telah berlangsung sejak 25 Mei 2017. Praktik tersebut melibatkan kapal yang diduga berasal dari Rusia dan menggunakan delapan bendera negara.
ADVERTISEMENT
Kapal ikan asing (KIA) bernama STS-50 itu, saat ditangkap di perairan sekitar 60 mil dari sisi tenggara Pulau Weh, Aceh pada Jumat (16/4/2018) diketahui sedang menggunakan bendera Kamboja, salah satu negara di Asia Tenggara. Selain negara tersebut, STS-50 diketahui juga biasa menggunakan tujuh bendera negara dunia lain, yakni Sierra Leone, Togo, Korea Selatan, Jepang, Mikronesia, Filipina, dan Nambia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta pekan lalu mengatakan, meski berbendera Kamboja saat ditangkap dan diduga berasal dari Rusia, tetapi kapal tersebut dipastikan sebagi kapal tak bernegara (stateless). Dengan demikian, kapal tersebut adalah kapal ilegal yang telah melanggar hukum negara yang dilewatinya, termasuk Indonesia.
“Selain melakukan illegal fishing, kapal STS-50 juga diduga melakukan pemalsuan dokumen kebangsaan kapal untuk menghindari pengawasan dan penegakan hukum,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Menyoal Praktik Human Traffic dan Perbudakan di Kapal Perikanan (1)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti didampingi Wakil Kepala Staf TNI AL Achmad Taufiqoerrochman, Plt. Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Nilanto Perbowo, Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa, dan Direktur Operasi Satgas 115 Wahyudi HD saat menyampaikan konferensi pers tentang kelanjutan kasus kapal STS-50 di Kantor KKP, Jakarta, Rabu (18/4). Foto : Humas KKP/Regina Safri/Mongabay Indonesia
Susi menjelaskan, dalam waktu yang cukup lama STS-50 diduga kuat sudah melakukan kejahatan lintas negara dengan terorganisir sangat baik. Kapal tersebut, bisa bebas berlayar ke berbagai negara, karena menggunakan modus operandi sebagai kapal lokal yang masih berhubungan dengan perusahaan pemilik kapal berbendera asing.
“Masyarakat harus waspada, karena sekarang modus yang dipakai bukan lagi kapal asing masuk ke Indonesia dan tangkap ikan. Tapi, sebagai kapal lokal yang terafiliasi dengan kapal asing. Tak hanya itu, mereka juga melakukan transshipment di tengah laut, itu dilarang di Indonesia,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Sebelum masuk perairan Indonesia, Susi menyebutkan, kapal STS-50 diketahui sudah sering melakukan pelanggaran di negara lain. Pada 22 Oktober 2017, kapal tersebut pernah ditahan dan diperiksa oleh Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di pelabuhan Dalian, tapi kemudian melarikan diri pada hari yang sama.
Dari keterangan para ABK di depan Susi, diketahui kalau dokumen milik awak kapal seperti paspor, buku pelaut, dan dokumen kapal diambil oleh petugas pemeriksa di Tiongkok. Akan tetapi, saat masih dalam proses pemeriksaan, kapal kemudian melarikan diri dengan meningalkan dokumen yang sedang diperiksa.
Menyoal Praktik Human Traffic dan Perbudakan di Kapal Perikanan (2)
zoom-in-whitePerbesar
Kapal ilegal perikanan STS-50 yang ditangkap pemerintah Indonesia. Foto : KKP/Mongabay Indonesia
Dokumen Baru
Setelah melarikan diri, kapal kemudian singgah di Tiongkok lagi pada 12 Desember 2017 dengan tujuan untuk menaikkan enam orang ABK asal Indonesia dan masuk dalam kelompok ketiga yang masuk ke kapal. Bersama dengan mereka, pada kesempatan tersebut turut dibawa juga dokumen perjalanan para awak kapal yang baru.
ADVERTISEMENT
“Setelah mendapatkan dokumen baru, kapal STS-50 kembali melanjutkan operasinya. Dokumen-dokumen tersebut diduga merupakan dokumen palsu,” jelas Susi.
Lepas dari kejaran hukum Pemerintah RRT, kapal sempat merasakan kebebasan dengan berlayar di atas laut. Namun, kebebasan tersebut tidak berlangsung lama, karena pada 18 Februari lalu kapal tersebut kemudian ditahan dan diperiksa oleh Pemerintah Mozambik. Proses tersebut diketahui berlangsung di pelabuhan Maputo.
“Tetapi, kemudian mereka juga berhasil melarikan diri. Jadi, itu adalah kali kedua kapal berhasil kabur dari dua negara berbeda,” tutur Susi.
Seperti halnya saat di Tiongkok, kapal juga mendapatkan perlakuan hampir sama saat ada di Mozambik. Di negara benua Afrika itu, petugas memeriksa seluruh dokumen yang berkaitan dengan kapal, termasuk paspor dan buku pelaut yang dimiliki ABK. Semua dokumen tersebut kemudian diambil oleh petugas untuk diperiksa lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
“Kapal STS-50 kembali melarikan diri tanpa membawa dokumen perjalanan apapun,” tambah dia.
Menyoal Praktik Human Traffic dan Perbudakan di Kapal Perikanan (3)
zoom-in-whitePerbesar
Kapal ilegal perikanan STS-50 yang ditangkap pemerintah Indonesia. Foto : KKP/Mongabay Indonesia
Susi mengatakan, sebelum tertangkap di Mozambik, para awak kapal sudah meminta untuk berhenti kerja dan meminta untuk pulang ke negara masing-masing. Aksi para ABK itu bahkan diketahui dengan melakukan mogok kerja. Tetapi, permohonan tersebut ditolak oleh manajemen kapal dan memaksa para ABK untuk kembali bekerja.
Saat itu, para ABK yang berasal dari Indonesia kemudian berusaha menghubungi agen penyalur TKI, yakni PT GSJ dan meminta untuk segera memulangkan mereka dari atas kapal. Tetapi, agen penyalur ternyata memberikan jawaban mengejutkan dengan menyebut bahwa para ABK akan dikenai denda sebesar Rp6 juta karena telah membatalkan kontrak kerja.
ADVERTISEMENT
“Kapten kapal juga mengatakan bahwa apabila para ABK menolak bekerja, maka status mereka berubah menjadi penumpang dan harus membayar 25 dolar AS per hari selama tinggal dan berada di atas kapal,” jelas Susi menirukan keterangan para ABK.
Jaminan Gaji
Setelah berada di atas kapal sebagai ABK, para pekerja Indonesia mulai mendapatkan perlakuan tidak nyaman, salah satunya adalah soal penerimaan gaji. Saat menandatangani kontrak, para ABK dijanjikan gaji berdasarkan pengalaman atau lama kontrak yang nilainya antara USD350 atau USD380 per orang. Akan tetapi, janji tersebut kemudian tak ditepati karena selama dua bulan pertama gaji tidak diberikan kepada para ABK.
“Alasannya, gaji ditahan sebagai jaminan penyelesaian kontrak. Akan tetapi, saat gaji sudah diberikan, nominalnya pun tidak sesuai dengan perjanjian. Para ABK mengetahui kalau gaji dalam rupiah yang diterima keluarga mereka besarnya rerata antara Rp4,1 juta hingga Rp4,5 juta,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Tak cukup disitu, Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa menambahkan, saat kapal mendapatkan tangkapan, waktu kerja akan dibagi menjadi dua bagian (shift) dan para ABK terkadang harus bekerja hingga 20-22 jam per hari. Jika ketentuan tersebut tidak diikuti, maka ancaman potong gaji antara USD20 hingga USD30 akan didapatkan.
“Kemudian, para ABK juga mendapat beban biaya administrasi hingga sebesar Rp2,5 juta dan harus dibayar selama lima bulan atau dipotong setiap bulan sebesar 500 ribu hingga lima kali. Tetapi, ABK mengaku tidak ada yang mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual selama ada di atas kapal,” jelasnya.
Untuk menyelesaikan kasus tersebut hingga tuntas, Susi Pudjiastuti berjanji akan melakukan investigasi bersama dengan International Organization of Migration (IOM) untuk mengungkap lebih jauh dugaan praktik kejahatan yang dilakukan STS-50. Jika memang terbukti melakukan, maka agen penyalur akan diproses secara hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Dari wawancara yang dilakukan dengan para ABK, diketahui kalau seluruh ABK STS-50 adalah berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Dari pengakuan ABK, mereka tidak tahu kalau kapal tersebut adalah ilegal, dan baru mengetahuinya setelah berada di atas kapal. Meski demikian, mereka mengaku mendapatkan perlakuan tidak adil, dari agen penyalur saja dan bukan dari pimpinan kapal.
Menurut Susi, agen penyalur ini diduga mengetahui sejarah operasi ilegal kapal STS-50, sehingga mereka mempersulit para ABK. Sebelum para ABK diberangkatkan, mereka diwajibkan menandatangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Inggris. Tetapi, para ABK tidak diizinkan membaca seutuhnya isi dari PKL tersebut dan diminta untuk segera menandatanganinya.
“Selain itu, PT GSJ tidak memberikan informasi secara benar kepada para ABK karena sebelumnya dijanjikan akan dikirim ke kapal Korea, namun pada kenyataannya dikirim ke kapal tidak berkebangsaan atau stateless vessel,” ungkap Susi.
ADVERTISEMENT
Ke-20 orang ABK tersebut, diketahui naik ke atas kapal setelah dikirim oleh agen penyalur dalam tiga kelompok. Kelompok pertama sebanyak 4 orang dikirim pada 25 Mei 2017, kemudian sebanyak 10 orang pada 5 Agustus 2017 diberangkatkan ke Vietnam, dan terakhir, sebanyak 6 orang diberangkatkan ke Tiongkok pada 12 Desember 2017.
Saat tiba di Vietnam, setelah naik ke atas kapal para ABK menemukan palka kapal sudah berisi ikan dengan perkiraan volume mencapai 250 ton. Kemudian, ikan-ikan tersebut dibongkar muat dan dikirimkan ke pembeli (buyer) dan ternyata dikembalikan dengan dugaan karena tidak ada sertifikat atau izin penangkapan.
***
Ditulis oleh M Ambari untuk Mongabay Indonesia