Sirkuit 'Kuda Lumping' dalam Menghadapi Krisis Iklim

Fahed Syauqi
Akademisi yang berfokus pada isu lingkungan dan kemanusiaan. Saat ini, sedang menempuh pendidikan magister di Ilmu Hubungan Internasional UGM
Konten dari Pengguna
10 Juni 2022 16:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahed Syauqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah pebalap memacu kecepatan pada balapan Formula E seri kesembilan di Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC), Jakarta, Sabtu (4/6/2022).

 Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pebalap memacu kecepatan pada balapan Formula E seri kesembilan di Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC), Jakarta, Sabtu (4/6/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Krisis Iklim telah menjadi perhatian global. Seluruh negara melihat permasalahan iklim semakin memprihatinkan setiap dekade. Hal ini menjadikan isu prioritas dalam perbincangan global dalam penanganan perubahan iklim. Dalam merespon perubahan iklim, Setiap negara saling memberikan kontribusi untuk mencegah suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat celcius pada tahun 2030. Ketika suhu bumi terus meningkat, hal ini mengakibatkan keamanan manusia yang semakin rumit seperti halnya kekeringan hingga tenggelamnya suatu negara. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak akan pernah lepas dari saling ketergantungan. Dalam perjalanannya, manusia selalu dihadapkan dengan beberapa masalah yang datang silih berganti.
ADVERTISEMENT
Permasalahan yang dihadapi pun semakin beragam karena dunia bersifat sangat dinamis dalam menyikapi perkembangan zaman. Globalisasi telah memaksa manusia untuk saling adaptasi dengan begitu banyak fase kehidupan yang semakin tak menentu. Peluang dan tantangan selalu mengikuti manusia dalam indahnya kehidupan yang penuh fragmentasi antar negara, termasuk relasi antara negara bagian utara dan selatan. Setiap negara mencoba untuk menghadirkan terobosan baru dalam mengajak warganya dalam menanggulangi krisis iklim, salah satunya ialah menghadirkan terobosan acara-acara yang mengarah terhadap Energi Baru Terbarukan (EBT).
Hal ini perlu dilihat dari perjalanan Formula E sejak tahun 2014 hingga sekarang. Sehingga kita dapat menakar bagaimana perubahan perilaku masyarakat dunia dalam mengatasi perubahan iklim, khususnya pengurangan emisi karbon agar terciptanya smart city atau kota yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, Formula E pernah diselenggarakan di London dengan bertajuk acara yang dapat mengurangi emisi karbon sehingga dapat menimbulkan efek ekonomi dan ekologis yang lebih baik. Acara Formula E diselenggarakan di Battersea Park pada tahun 2015. Namun, acara Formula E yang menargetkan 40.000-60.000 penonton tersebut menuai banyak kritik terkait aksesibilitas dan potensi kerusakan lingkungan sehingga banyak warga mempertanyakan nilai keberlanjutan acara tersebut.
Hal ini dapat menjadikan pertimbangan bahwa setiap langkah yang diambil seharusnya dapat memperhatikan kelanjutan lingkungan. Taylor juga menjelaskan bahwa terdapat 400 warga yang mengirimkan langsung protes kepada dewan penyelenggara dan sekiranya 2576 mengisi petisi online bertajuk “Save Battersea Park”. Hal ini menimbulkan kontroversi antara konservasi lingkungan dengan acara bertajuk “green event” karena dapat merusak pohon dan mengganggu habitat hewan sekitar. Kontroversi terkait penyelenggaraan Formula E pun tidak hanya berhenti di London, Miami pun mengalami penyelenggaraan Formula E yang bertajuk teknologi berkelanjutan. Tepatnya pada bulan Maret 2015, 10.000 pasang mata melihat keseruan dari Formula E. Hal ini lantas menuai kritik dari para pengamat lingkungan.
ADVERTISEMENT
Namun hal ini menjadi menarik bahwa politisi Miami sangat menyukai acara tersebut sehingga acara tersebut mendapat dukungan dari para politisi di Miami. Selanjutnya, Peter pun menjelaskan bahwa acara tersebut telah merusak tepi laut seluas lima hektar. Apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai “green event”?
Indonesia menyelenggarakan Formula E penuh akan intrik politik. Setiap pengambilan keputusan diwarnai dengan perdebatan terkait analisis kelayakan lingkungan. Euforia penonton dalam acara tersebut dapat dilihat dari bagaimana penonton merasa bangga bahwa Indonesia dapat menyelenggarakan acara internasional yang bertajuk ramah lingkungan. Penyelenggaran balap Formula E di Monas terpaksa diberhentikan karena akan merusak cagar budaya monas (Diah Ayu Wardani, 2020). Kita melihat bahwa pemerintah Indonesia tidak belajar dari pengalaman Miami yang telah mendapatkan banyak protes seperti rusaknya tepi pantai seluas 5 hektar.
ADVERTISEMENT
Permasalahan tersebut menuai banyak kontroversi dari berbagai pemangku kebijakan sehingga Formula E dipindahkan ke Ancol. Pemerintah seharusnya melihat persiapan dalam mengurangi emisi karbon tidak hanya dengan menyelenggarakan “Green Event”, namun pemerintah harus mempertimbangkan bagaimana akses menuju “Green Event" tersebut. Kompas mencatat bahwa 8,8 juta penduduk di Jabodetabek tidak dapat mengakses transportasi umum dengan baik (Satrio Pangarso Wisanggeni, 2022). Hal ini menandakan bahwa pemerintah belum menjadikan transportasi umum sebagai langkah pengurangan emisi gas. Dana yang digelontorkan untuk Commitment Fee terhadap pergelaran Formula E sebanyak tiga musim sebesar 560 miliar rupiah menjadikan ambigu ketika banyak masyarakat pun berada dalam kubangan permasalahan lingkungan yang begitu mengkhawatirkan.
Ketika melihat perubahan iklim, maka pengurangan emisi gas kendaraan yang dilakukan oleh masyarakat harus dapat beralih ke transportasi umum agar dapat menekan laju perubahan iklim. Pergelaran Formula E dilihat kurang tepat ketika ingin mengajak masyarakat untuk mengurangi emisi gas kendaraaan. Hal ini melihat dari kurangnya akses kendaraan umum untuk masyarakat sehingga menjadikan faktor utama dalam lambatnya pengurangan emisi gas di Jabodetabek.
ADVERTISEMENT
Referensi
Bach, T. (2015, July 17). Formula E Won't Return To Miami, Where Environmentalists Clashed With Race. Diambil kembali dari Miami New Times: https://www.miaminewtimes.com/news/formula-e-wont-return-to-miami-where-environmentalists-clashed-with-race-7759532
Diah Ayu Wardani, B. S. (2020, Februari 26). Menganalisis Dampak Kerusakan Akibat Revitaliasasi Monas dan Penyelenggaraan Formula E. Diambil kembali dari Voice of Indonesia: https://voi.id/berita/3176/menganalisis-dampak-kerusakan-akibat-revitaliasasi-monas-dan-penyelenggaraan-formula-e
Monica den Boer, J. d. (2008). The Viability of Human Security. Amsterdam University Press, 6-7.
Satrio Pangarso Wisanggeni, A. K. (2022, Februari 3). 8,8 Juta Warga Jabodetabek Sulit Akses Transportasi Publik. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/metro/2022/02/02/88-juta-warga-jabodetabek-sulit-akses-transportasi-publik