Konten dari Pengguna

64 Tahun UUPA: Mafia Tanah Masih Bergentayangan

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
24 September 2024 18:23 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mafia tanah. Foto: darksoul72/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mafia tanah. Foto: darksoul72/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tanggal 24 September 2024, Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) genap berusia 64 Tahun. Lahirnya undang-undang ini untuk menggantikan undang-undang peninggalan Kolonial Belanda terkait dengan urusan agraria (bumi, air dan ruang angkasa). Hukum kolonial dianggap kapitalis oleh pembuat undang-undang.
ADVERTISEMENT
Pembuat undang-undang ingin meletakkan agar norma hukum yang terkait dengan agraria, harus bersumber dari nilai-nilai Ideologi Pancasila dan selaras dengan tujuan negara. Oleh karena itu, UUPA hendak meletakkan dasar-dasar itu dalam penyusunan hukum agraria nasional. Dasar bagi penyelenggara negara untuk mencapai kesejahteraan umum sekaligus melindungi sumber-sumber daya agraris yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jika pada masa Kolonial Belanda tanah dieksploitasi dengan pembukaan perkebunan besar dan luas yang hasilnya diangkut ke negerinya, kini posisi Kolonial Belanda itu digantikan oleh investor dalam negeri. Tak terasa rakyat yang seharusnya mendapat pelindungan dari negara akan tetapi dijajah oleh anak bangsanya sendiri.
Keberpihakan negara kepada pengusaha besar tampak dalam berbagai regulasi yang dikeluarkan Pemerintah. Payung hukum UUPA seakan-akan diabaikan. Lain lagi untuk pengusaha-pengusaha bidang property. Perusahaan-perusahaan ini tidak tampak jelas dilindungi oleh regulasi, akan tetapi mereka menggunakan lembaga peradilan sebagai sandaran untuk melegalkan tindakan mereka.
ADVERTISEMENT
Beberapa kasus yang digelar di peradilan menunjukkan adanya korelasi antara mafia tanah dengan praktik mafia peradilan. Uraian berikut ini hendak mengajak kita semua, betapa perlunya untuk membangkitkan kesadaran baru bagi mengatasi mafia tanah yang saat ini pertumbuhannya semakin masif.

Kasus di Sumatera Utara

Sumatera Utara menjadi kasus yang menarik, terutama karena banyaknya perkebunan besar yang dibuka pada masa-masa Kolonial Belanda. Hampir sebagaian besar lahan-lahan pertanian yang subur terhampar perkebunan kelapa sawit, karet (yang sebelumnya tembakau), kopi, dan perkebunan teh.
Adalah Jacobus Nienhuys (1836-1927) orang Belanda pertama yang datang ke Sumatera Timur (Pesisir Pantai Sumatera Utara) pada tahun 1863 membuka perkebunan tembakau yang luas. Tanah yang subur diapit Sungai Wampu di Langkat dan Sungai Ular di Deli Serdang menjadi incaran siapa pun yang tertarik dalam bisnis tembakau.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, tembakau telah membawa “nama harum” wilayah ini ke seantero Eropa. Sebagaian dari wilayah yang menghasilkan tembakau berkualitas baik adalah di wilayah Kesultanan Negeri Deli yang berbatasan dengan Kesultanan Negeri Serdang di sebelah timur dan Kesultanan Negeri Langkat di sebelah barat.
Hasilnya menjadikan tembakau Deli menjadi primadona perkebunan pada masa itu yang kemudian dijuluki sebagai “Golden Leaf”. Setiap lembaran daun tembakau yang tumbuh adalah emas yang bernilai ribuan Gulden (mata uang Belanda ketika itu). Prof.A.P Parlindungan (Pakar Hukum Agraria) menyebutkan satu bal tembakau sama nilainya dengan satu mobil sedan Mercedes.
Tengku M. Lah Husny seorang sastrawan, budayawan dan sejarawan Melayu, mengatakan daun Emas dari Sumatera Timur tidak saja menjadi titik awal kebangkitan ekonomi tanah Melayu akan tetapi di kemudian hari menjadi cikal bakal konflik yang menuai derita dan pertumpahan darah yang diiringi dengan derai tangis dan air mata. Itu juga di kemudian hari menenggelamkan peradaban Puak Melayu di Sumatera Timur pasca pembantaian keji terhadap Etnik dan Raja-Raja Sumatera Timur pada bulan Maret 1946.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Nienhuys mengundang para investor Belgia, Jerman dan Amerika dalam bidang perkebunan berdatangan ke Sumatera Timur. Seiring dengan itu terbukalah perkebunan-perkebunan luas selain tembakau, yakni; kelapa sawit, karet, kopi dan teh. Perkebunan luas terhampar mulai dari pinggiran pantai pesisir Timur Sumatera Utara berjejer sampai ke kaki bukit di Simalungun.
Seiring dengan itu dibangunlah infrastruktur seperti jalur kereta api (Deli Spoorweg Maatschappij), telepon (Telefonken Maatschappij) dan air bersih (Ajer Bersih Maatschappij). Rumah Sakit, dan sekolah yang terpusat di Kota Medan. Medan yang menjadi Pusat Kesultanan Deli dijuluki sebagai “Parisj van Sumatra”.
Kini sebagian besar perkebunan itu masih eksis. Akan tetapi khusus di wilayah-wilayah yang bersebelahan dengan wilayah perkotaan, seperti; Medan, Binjai, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Kisaran, Pematang Siantar dan Lima Puluh (di Kabupaten Batu Bara) muncul persoalan baru.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perluasan Kabupaten Kota dan tingginya angka pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat. Lahan-lahan pertanian dan pemukiman yang terbatas menyebabkan sebagaian besar tanah-tanah yang dulunya termasuk aset perkebunan, kini terdesak oleh kebutuhan tersebut.
Berbagai kebijakan dan regulasi dikeluarkan oleh pemerintah. Khusus untuk PT. Perkebunan Nusantara II Persero Tanjung Morawa (sekarang PTPN I) tahun 2002 dan 2004 lahan seluas 5.873 Ha dikeluarkan dan tidak lagi diperpanjang Hak Guna Usahahnya untuk kepentingan perluasan Kota dan Kabupaten serta memenuhi tuntutan rakyat dan masyarakat meliputi juga kebutuhan perkantoran dan gedung-gedung Pemerintah. Akan tetapi diluar dugaan para pembuat kebijakan langkah ini justru menimbulkan persoalan baru.
Sebagian besar lahan tersebut kemudian diduduki oleh penggarap yang dulunya tak termasuk sebagai pihak yang akan memperoleh distribusi dari objek seluas 5,973 Ha tersebut. Sampai saat ini lebih dari 22 tahun distribusi untuk tanah seluas 5.873 Ha itu belum terlaksana 30 %, akan tetapi seluruh lahan itu telah digarap oleh warga masyarakat. Tentu saja di kemudian hari akan menjadi sumber konflik yang baru.
ADVERTISEMENT
Beberapa penelitian mahasiswa (skripsi dan tesis) membuktikan di belakang para penggarap itu berjejer para mafia tanah yang mendanai kegiatan tersebut. Mulai dari urusan memobilisasi massa jika berhadapan dengan lembaga pemerintah (kantor pertanahan, Kantor DPR, pengadilan, kantor kepolisian, kantor gubernur, bupati, dan lain-lain) sampai pada urusan “mengatur” jalannya persidangan di Pengadilan, jika sengketa ini digulirkan di Pengadilan. Yang disebut terakhir ini akan memunculkan “persekongkolan” antara para mafia tanah dengan mafia peradilan.
Para pencari keadilan yang memiliki kebenaran materil sesungguhnya, ketika berhadapan di Pengadilan, sebelum sengketa diputus sudah dapat memprediksi posisinya. Bahkan para “calo” di pengadilan itu mengatakan, “Bapak mau menang, di N.O kan, atau kalah.” N.O (Ontvankelijke Verklaard) adalah istilah peradilan untuk menyebutkan putusan hakim yang menyatakan gugatan tak dapat diterima. Pilihan-pilihan dalam putusan itu tentu berujung dengan gratifikasi.
ADVERTISEMENT

Sulitnya Mencari Keadilan

Kasus yang sedang bergulir hari ini adalah kasus yang sedang ditangani oleh Mahkamah Agung yakni pengajuan Penijauan Kembali oleh mafia tanah yang dikalahkan oleh penggugat melalui Keputusan PN.Medan Nomor 205/Pdt.G/2023/PN-Medan, Tanggal 11 Juli 2023. Setelah kalah Sang Mafia langsung mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dengan mengganti direktur perusahaan melalui RUPS yang berlaku mundur, seolah-olah nama direktur yang kalah dalam perkara itu bukanlah subjek yang memiliki kapasitas mewakili perusahaan tersebut sebagai direktur utama.
RUPS dibuat bertanggal mundur, bahkan ketika kasus itu masuk dalam pengaduan pidana Sang Mafia sempat mengganti meterai bertanggal mundur di atas surat Berita Acara RUPS yang diketahuinya kemudian bahwa meterai yang terpasang adalah meterai baru yang belum berlaku pada saat RUPS bertanggal mundur itu diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Belum lagi berdasarkan ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas, RUPS harus dicatatkan di Kementerian Hukum dan HAM-RI paling lambat 30 hari setelah RUPS dilakukan. Ini penting untuk mengetahui siapa subjek hukum yang memiliki kapasitas mewakili perusahaan di dalam dan di luar sidang pengadilan.
Menurut penggugat, proses Gugatan Perdata dalam perkara tersebut telah dilakukan menurut ketentuan Hukum Acara Perdata dan etik dalam penyelesaian sengketa perdata. Sebelum gugatan dicatatkan di Kantor Kepaniteraan di Pengadilan Negeri setempat pihak penggugat mengundang pihak tergugat untuk bernegosiasi.
Setelah dua kali pertemuan tak terjadi kesepakatan, karena komisaris perusahaan pihak tergugat tersebut sedang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Akan tetapi, pihak direktur utama yang merasa memiliki kapasitas mewakili perusahaan mengatakan dia berkeyakinan berada pada pihak yang benar berdasarkan alas hak yang ia miliki. Pihak penggugat juga memiliki keyakinan yang sama.
ADVERTISEMENT
Akhirnya dicapailah kesepakatan agar perkara ini diselesaikan melalui jalur peradilan formal. Kesepakatan itu dituangkan dalam perjanjian di bawah tangan, tanggal 15 Maret 2023 dan dicatatkan di kantor notaris dengan melibatkan pihak-pihak yang semula ikut dalam bernegosiasi.
Pihak penggugat menawarkan jika perkara ini dimenangkan oleh pihak penggugat, pihak tergugat diberikan bagian 30 % jika perkara ini dimenangkan pihak Penggugat pada peradilan tingkat pertama. Penggugat bermaksud agar jangan terlalu panjang untuk mengungkapkan sebuah kebenaran dan cukuplah kebenaran itu dibuktikan pada peradilan tingkat pertama. Jika tergugat menyetujui tawaran itu maka syaratnya jika penggugat menang pihak tergugat jangan melakukan upaya hukum setelahnya.
Kesepakatan ditandatangani dan menjadi undang-undang yang mengikat bagai para pihak yang membuatnya (vide Pasal 1338 KUH Perdata). Tak ada norma dan asas hukum yang dilanggar dalam pembuatan perjanjian itu. Apalagi dalam sidang pertama pengadilan juga meminta kepada para pihak untuk menyelesaikan sendiri sengketa ini.
ADVERTISEMENT
Proses hukum bergulir dan dengan cermat Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini memenangkan pihak penggugat. Melalui Putusan Pengadilan PN.Medan Nomor 205/Pdt.G/2023/PN-Medan, Tanggal 11 Juli 2023.
Setelah penggugat memenangkan perkara ini ternyata, tergugat ingkar janji. tergugat melakukan upaya hukum peninjauan kembali, dengan alasan yang dulu menjadi tergugat bukanlah Direktur PT. Sunggal yang dulu mewakili Perusahaan dalam perkara itu, tetapi memunculkan nama direktur utama yang baru yang diubah secara sepihak oleh Sang Komisaris yang sedang masuk dalam Daftar DPO tetapi yang diangkat dengan mekanisme yang tak sesuai dengan AD-ART PT. Sunggal dan UU Perseroan Terbatas, dibuat berlaku surut dan Perubahan Susunan Direksi itu tak pernah dicatatkan di Kementerian Hukum dan HAM-RI).
Atas tindakan itu penggugat membatalkan perjanjian tanggal 15 Maret 2023 itu pada tanggal 16 Februari 2024 yang juga dicatatkan di Kantor Notaris. Saat ini penggugat sedang menunggu keadilan melalui Keputusan Peninjauan Kembali dari Majelis Hakim di Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, pada bulan Januari pada saat Keputusan eksekusi telah diterbitkan oleh Pengadilan setempat, datang “utusan” dari Mahkamah Agung untuk menunda proses eksekusi. Majelis Hakim yang sudah disiapkan sejak bulan Februari-Maret susunannya dirombak dan pada bulan-bulan berikutnya majelis hakim yang semula akan memeriksa perkara itu telah diubah.
Itulah informasi yang “bocor” kepada penggugat. Setelah itu muncul tawaran kepada pihak penggugat, apakah perkara ini mau di NO kan atau dibiarkan kalah. Untuk memenangkan perkara ini sepertinya tak dimungkinkan lagi. Tampaknya kuku para mafia tanah sudah tertanam di Lembaga yang sangat terhormat ini.
Oleh karena itu, Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus mengambil perhatian khusus untuk memantau jalannya perkara ini, agar dapat memberikan keputusan seadil-adilnya, karena sejak awal permohonan PK ini diajukan sudah ada tanda-tanda bekerjanya para mafia tanah dan mafia peradilan melalui “utusan khusus” yang turun ke PN setempat.
ADVERTISEMENT
Hari ini perkara belum diputus, tapi penggugat sudah meyakini bahwa dia akan dikalahkan. Inilah modus yang sudah terjadi selama bertahun-tahun dalam proses peradilan yang berkaitan dengan tanah.

Penutup

Tanah sebagai tempat rakyat lahir, bermain, bekerja dan bahkan tempat ia terkubur harus dilindungi oleh negara. Bumi. Air dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah tumpah darah Rakyat Indonesia, rakyat yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara.
Tanah dan air adalah jiwa dari kehidupan rakyat Indonesia. Itulah roh perjuangan kemerdekaan yakni mempertahankan tanah dan air, mempertahankan seluruh kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia dari eksplorasi dan eksploitasi penjajah ketika itu. Itulah yang kemudian dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai salah satu dari tujuan negara.
ADVERTISEMENT
Saat ini perkara perdata yang paling banyak menumpuk di berbagai tingkat peradilan di Indonesia termasuk di Mahkamah Agung adalah persoalan sengketa tanah. Persoalan sengketa tanah yang terus menyeruak sampai hari ini, telah menyuburkan praktik mafia tanah yang berkolaborasi dengan media peradilan. Mata rantai ini harus segera diputus.
Oleh karena itu, mendesak untuk didirikan peradilan khusus yang menyelesaikan persoalan sengketa tanah. Semoga usia UUPA yang ke 64 ini dapat membawa titik pencerahan baru dan semangat baru bagi pencapaian tujuan negara yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan menjadikan tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai sumber kehidupan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.