Bambang Kesowo: Bapak Hukum HKI Indonesia

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
19 Oktober 2021 13:40 WIB
·
waktu baca 19 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bambang Kesowo: Bapak Hukum HKI Indonesia
zoom-in-whitePerbesar

Pengantar

ADVERTISEMENT
Hari ini Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan seminar dengan tema "Mendorong Kreativitas dan Inovasi Bangsa dalam Ekosistem Hak Kekayaan Intelektual" yang dirangkaikan dengan peluncuran buku Dr. Bambang Kesowo, SH., LL., M.
ADVERTISEMENT
Hak Kekayaan Intelektual, telah menjadi dan selamanya akan menjadi isu strategis. Tidak ada satu sisi pun dari kehidupan manusia hari ini yang tidak terhubung dengan Hak Kekayaan Intelektual. Mulai dari masyarakat yang tinggal di pedesaan sampai pada masyarakat yang berdiam di perkotaan setiap hari berhubungan dengan HKI. Tidak hanya hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat modern, akan tetapi dalam masyarakat yang hidup dengan pola-pola tradisional pun telah dimasuki oleh HKI. Mulai dari shampo, sabun mandi, odol gigi, makanan, minuman, kacamata, buku, musik dan lagu, sinematografi, obat-obatan, sepatu, pakaian, hiburan, sendok makan, sampai, mobil, pesawat terbang, alat-alat perang, sampai pada pemanfaatan Artificial Intelligence, semuanya bermuara pada HKI.
HKI sebagai intangible capital, intangible asset, memiliki nilai ekonomi yang membawa pengaruh besar dalam lalu lintas perdagangan barang dan jasa. Masuknya aspek politik ekonomi Internasional-pun tak terhindarkan lagi. Akhirnya pasca terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada bulan April Tahun 1994 di Marrakesh, yang diikuti dengan pemberlakukan beberapa konvensi ikutannya – termasuk TRIPs Agreement – maka aspek perdagangan internasional selalu dihubungkan dengan HKI.
ADVERTISEMENT
Kehadiran sosok Dr. Bambang Kesowo, SH. LL.M, telah mewarnai banyak hal tentang keberadaan hukum HKI Indonesia, beliau tidak saja tercatat sebagai ilmuwan dan birokrat yang membidani kelahiran Peraturan Perundang-undangan HKI Modern di Indonesia, tapi beliau juga peletak dasar sendi-sendi Hukum HKI di Indonesia.

Kehadiran Pak BK pada Tataran Basic Policy Pembuatan UU HKI

Tanggal 29 April 1986, Pesawat Kepresidenan Amerika Serikat Air Force One mendarat di Ngurah Rai Bali. Waktu itu saya baru saja memulai menulis skripsi dengan judul Tinjauan terhadap UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Kaitannya dengan Bern Convention. Isu HKI yang sedang hangat-hangatnya disoroti pada waktu itu adalah terkait pembajakan lagu karya Bob Geldof "We Are The World" yang sebenarnya lagu itu diciptakan untuk sebuah konser yang dananya digunakan untuk bantuan kemanusiaan di Afrika yang sedang dilanda krisis pangan dan ancaman kelaparan.
ADVERTISEMENT
Kunjungan Reagan ke Indonesia sebenarnya adalah kunjungan tak resmi. Reagan mengambil waktu untuk mampir ke Bali, dalam rangkaian perjalananya menuju Tokyo, untuk menghadiri KTT ASEAN. Selama empat hari di Bali, Reagan menginap di Hotel Nusa Dua Beach Hotel. Dari Jakarta Pak Harto terbang ke Bali dan bertemu dengan Ronald Reagan. Acara penyambutan dan jamuan makan malam diselenggarakan. Pak Harto didampingi Ibu Tien dan Reagan didampingi Nyonya Nancy dan kedua Kepala Negara itu pada malam itu mengenakan pakaian batik.
Perbincangan tak resmi itu membahas berbagai hal. Mulai dari penguatan posisi Indonesia sebagai pilar stabilitas politik di Asia Tenggara sampai pada peluang investasi ekspor hasil perkebunan dan kerja sama dalam bidang teknologi (Pikiran Rakyat.com). Pertemuan kedua kepala Negara itu akhirnya sampai juga pada perbincangan tentang banyaknya pelanggaran Hak Cipta milik warga Amerika yang dilanggar oleh pihak Indonesia. Opini yang terbangun waktu itu, Indonesia berada posisi Negara kedua sebagai Negara pembajak Hak Cipta setelah China. Tentu saja dunia Internasional bereaksi dan posisi Indonesia terancam pembatalan GSP (General System of Preference).
ADVERTISEMENT
Saya tak dapat catatan tentang kegelisahan Pak Harto tentang perbincangan terakhir pada malam itu. Tapi saya yakin Pak BK mengetahui suasana kebatinan yang dialami Pak Harto ketika itu. Itulah sebabnya selepas dari pertemuan Presiden Soeharto dengan Ronald Reagan, Presiden Soeharto bergegas untuk membentuk Tim Kerja yang khusus untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan undang-undang hak cipta dan Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Tim Kerja itu dituangkan dalam Keppres No. 34 Tahun 1986. Tim Kerja itulah yang dikemudian hari melibatkan tokoh yang bernama Bambang Kesowo yang akrab kita sapa dengan Pak BK dalam berbagai aktivitas terkait perubahan peraturan perundang-undangan HKI, walaupun sebenarnya semula dibatasi dalam bidang Hak Cipta dan Merek.
ADVERTISEMENT
Pak BK oleh Pemerintah ditugasi untuk menyempurnakan UU Hak Cipta No. 6 Tahun 1982 dan UU Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan No. 21 Tahun 1961. Undang-undang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan, memang saat itu belum diprioritaskan. Tapi UU Hak Cipta memang dipandang sangat mendesak. Tak sampai setahun selesailah Revisi UU Hak Cipta No.6 Tahun 1982 dan digantikan dengan UU No.7 Tahun 1987.

Bidan dan Peletak Dasar Sendi-Sendi Hukum HKI Modern di Indonesia

Pak BK membidani penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan terkait HKI modern. Peraturan perundang-undangan HKI yang adaptif dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Termasuk tuntutan globalisasi, khususnya dalam menyongsong perekonomian dunia yang terbuka atau pasar bebas.
Pak BK terus memimpin delegasi dalam berbagai pertemuan Internasional yang diprakarsai WIPO (World Intellectual Property Organization). Pak BK juga yang memimpin Delegasi RI dalam perundingan The General Agreement Tariff and Trade (GATT) pada bulan April 1994 di Marrakesh – rangkaian Uruguay Round 1987 sd 1994 - dengan capaiannya berupa kesepakatan pembentukan World Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia dan berbagai kesepakatan lainnya yang disebutkan pada lampiran keputusan kesepakatan The Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) yang dikenal dengan Marrakesh Convention yang salah satu dari rangkaian konvensi ikutannya antara lain The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement).
ADVERTISEMENT
Indonesia meratifikasi Konvensi itu melalui UU No.7 Tahun 1994. Inilah yang kemudian mengubah wajah hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Bidang-bidang perlindungan yang sebelumnya hanya kita kenal seperti Hak Cipta, Paten dan Merek, pasca ratifikasi Marrakesh Convention tahun 1994, merambah pada perlindungan jenis-jenis HKI yang lain.
Pada tahun-tahun pasca ratifikasi Marrakesh Convention tahun 1994 muncullah:
1. UU No. 12 Tahun 1997 yang mengubah UU Hak Cipta No. 7 Tahun 1987, kemudian secara berturut-turut diubah lagi dengan UU No.19 Tahun 2002 dan terakhir diubah lagi melalui UU No. 28 Tahun 2014 (semuanya mengacu pada TRIPs Agreement)
2. UU No. 13 Tahun 1997 tentang Paten, mengubah UU No.6 Tahun 1989, dan kemudian diubah lagi melalui UU Nomor 14 Tahun 2001, terakhir digantikan oleh UU No. 13 Tahun 2016.
ADVERTISEMENT
3. UU No.15 tahun 2001 tentang Merek, mengubah UU No.19 Tahun 1992 dan kemudian diubah melalui UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
4. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Baru Tanaman.
5. UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
6. UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
7. UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Tentu saja kemunculan undang-undang yang baru itu, tak lepas dari peranan dan campur tangan Pak BK. Oleh karena itu benar apa yang yang Pak BK sampaikan bahwa, HKI tidak hanya harus diajarkan pada Fakultas Hukum saja, tapi perlu diajarkan pada fakultas-fakultas lain yang memiliki keterkaitan dengan HKI, seperti Fakultas Seni dan Budaya, Biologi, Farmasi, Teknik, Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kedokteran, sebagai Fakultas "pabrik" dari HKI.
ADVERTISEMENT
Demikian juga ketika HKI ditempatkan sebagai aset, sebagai harta kekayaan atas benda tidak berwujud (intangible capital), maka HKI pun sudah saatnya diajarkan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Ketika HKI dijadikan sebagai alat politik kebijakan ekonomi Negara maju terhadap negara berkembang, tampaknya HKI pun harus diajarkan juga pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Oleh karena itu tidak terlalu berlebihan kalau saya katakan Pak BK pantas mendapatkan julukan "Bapak HKI Indonesia," sebab beliaulah pelaku sejarah yang tampil pada masa-masa awal dan dalam proses pembentukan perundang-undangan HKI Indonesia yang lebih modern, yakni peraturan perundang-undangan HKI yang adaptif dengan perubahan. Adaptif dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adaptif dengan tuntutan globalisasi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Tak mudah untuk merumuskan peraturan Perundang-undangan HKI Indonesia, yang berlatar belakang tradisi Civil Law System. Sementara di sisi lain peraturan perundang-undangan HKI yang hendak ditawarkan oleh TRIPs Agreement lebih banyak yang dilatar belakangi oleh tradisi Common Law System. Tapi tantangan itu tampaknya dapat juga diatasi Pak BK.
Meskipun tampaknya tantangan itu belum berakhir semuanya sampai hari ini, terutama jika dihubungkan dengan tujuan Negara yang dirumuskan dalam pembukaan UUD Republik Indonesia Tahun 1945 dan nilai-nilai Filosofis bangsa Indonesia, yakni Pancasila, akan tetapi Pak BK telah meletakkan dasar-dasar tentang sistem hukum HKI Indonesia. (Bambang Kesowo, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), Sinar Grafika, 2021, hlm 79 sd 87). Pak BK telah meletakkan prinsip keseimbangan itu yang tampak dalam peraturan Perundang-undangan HKI yang beliau ikut membidaninya. Beliau adalah peletak dasar sendi-sendi Hukum HKI modern.
ADVERTISEMENT
Paling tidak usaha‑usaha pemerintah dalam rangka pembangunan di bidang hukum sebagaimana diisyaratkan oleh Garis‑Garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP No. II/MPR/1983, TAP MPR II/MPR/1988, dan TAP MPR II/MPR/1993, terakhir dengan TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok‑pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara yang diupayakan untuk menuju penyusunan kodifikasi hukum nasional yang didasarkan kepada landasan sumber tertib hukum yang bersumber dari Pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945, oleh Pak BK telah beliau tunaikan, khususnya dalam lapangan hukum hak kekayaan intelektual.

Pekerjaan Legislasi yang Masih Tersisa

Saat ini dunia telah memasuki Revolusi Industri 4.0 dan sedang menuju Revolusi Industri 5.0. Tantangan Indonesia ke depan adalah, bagaimana agar bangsa ini dapat eksis mempertahankan nilai-nilai ideologis dan filsafati yang telah kita sepakati. Secara filosofis kelahiran TRIPs Agreement diwarnai oleh kepentingan negara-negara industri maju yang sebagian besar dilatarbelakangi oleh pandangan filosofi kapitalis. Landasan filosofis ini telah mewarnai hukum HKI Indonesia yang kerap kali harus berhadapan dengan filosofi Pancasila.
ADVERTISEMENT
Falsafah hidup masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh pandangan filosofis bangsa-bangsa di Asia. Falsafah hidup berbagi dan mendistribusikan sumber kekayaan adalah sesuatu yang sudah terpatri dalam hati sanubari tiap-tiap individu rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia terbiasa memanfaatkan dan mengambil secukupnya apa yang disediakan alam.
Itu sangat berbeda dengan Falsafah hidup bangsa-bangsa "Barat", Eropa dan Amerika. Kondisi geografis dengan berbagai perubahan cuaca yang terkadang ekstrem membuat Barat (Eropa) tumbuh dalam budaya “menabung” dan persiapan bekal makanan untuk ”hari esok”. Tradisi ini tak lazim dan tak dikenal pada masyarakat Asia pada umumnya, karena makanan cukup tersedia dari alam setiap waktu. Munculnya keinginan untuk "mengumpul" dan menguasai wilayah yang kaya akan sumber “hari esok” itu pada akhirnya menimbulkan budaya eksploitasi yang diiringi dengan tindakan imperialism. Itu yang terjadi selama bertahun-tahun yang memunculkan Perang Dunia I dan disusul dengan Perang Dunia II. Inti dari peperangan itu adalah kerakusan manusia yang dibungkus dengan nafsu kekuasaan yang berujung pada penguasaan sumber daya alam sebagai cadangan “hari esok” itu.
ADVERTISEMENT
Perlindungan HKI-pun mengikut pada prinsip kapitalis. Semuanya harus merujuk pada hak-hak ekonomi yang dilekatkan pada kepentingan individu. Hak-hak dan kepentingan individu lebih mengemuka. Kepentingan itu terlihat juga dalam TRIPs Agreement sebagai hasil capaian Uruguay Round yang melahirkan kesepakatan WTO dan instrumen hukum ikutannya.
Pengalaman selama ini ideologi Pancasila kalah bertarung ketika dihadapkan dengan ideologi kapitalis. Hampir semua peraturan perundang-undangan HKI Indonesia bernuansa kapitalis. Dalam kasus perlindungan pengetahuan budaya tradisionalnya misalnya, belum ada aturan tegas yang melindungi pengetahuan tradisional. Itulah yang menurut Prof. Hawin (Muhammad Hawin, 2006) semakin membuka peluang bagi negara maju untuk mematenkan pengetahuan tradisional yang diambil dari negara berkembang, termasuk Indonesia, seperti yang disyaratkan oleh TRIPs Agreement.
Ketentuan itu menggunakan kata “may” bukan “must” jadi tidak ada kewajiban negara maju untuk mengikuti kehendak negara-negara dalam kasus kepemilikan pengetahuan budaya tradisional. Begitu juga tentang dominasi Amerika dalam law enforcement terkait produk yang dilindungi HKI dalam lalu lintas perdagangan dunia. Gerakan sepihak Amerika untuk mendapatkan perlindungan optimal atas kekayaan intelektual Amerika di berbagai negara terutama di negara-negara berkembang disertai dengan penerapan kebijakan politik perdagangannya terhadap negara-negara yang tidak menyelaraskan peraturan perundang-undangan HKI-nya dengan tuntutan Amerika, memberi kewenangan negara adikuasa itu dapat menerapkan sanksi ekonomi secara sepihak. Paling tidak, itulah yang dibenarkan oleh ”Section 301 of the Trade Act of 1974”.
ADVERTISEMENT
Keinginan pihak Amerika ini kemudian ditampung dengan baik pada Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang menghasilkan kesepakatan tarif dan perdagangan internasional (General Agreement of Tariffs and Trade). Dalam kesepakatan itu, pihak Amerika-pun menekankan agar diberikan perlindungan yang lebih ketat atas hak kekayaan intelektual (Dylan A. Mc Leod, 2007:365).
Inilah yang menjadi tantangan Indonesia ke depan. Sekarang inipun Indonesia sedang dihadapi dalam rencana penyempurnaan UU Paten dan UU Merek yang baru. Semuanya bermuara kepada TRIPs Agreement dan kepentingan perdagangan global. Fenomena yang tampak nyata hari ini Indonesia sudah mengubah ketentuan Pasal 20 UU Paten melalui Pasal 107 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan mengubah juga ketentuan Pasal 20 UU Merek melalui Pasal 108 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Tampaknya, dalam perubahan itu Indonesia harus ikut pada keinginan pihak asing yang sepenuhnya ingin "mengamankan" keberadaan HKI mereka.

Peran HKI dalam Mendorong Kreativitas dan Inovasi Anak Bangsa

Perlindungan HKI memiliki keterkaitan dengan kemunculan kreativitas dan inovasi anak bangsa. Terbangunnya ekonomi masyarakat berpangkal pada pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia. UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif dalam konsideransnya meletakkan dasar pengembangan ekonomi kreatif yang bertumpu pada ketersediaan kekayaan warisan budaya yang perlu dimanfaatkan secara optimal untuk memberi nilai tambah (Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019, tentang Ekonomi Kreatif, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 No 212, tanggal 24 Oktober 2019 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor, 6414, Konsiderans, bagian menimbang, butir a). Kehadiran ekonomi kreatif sebagai institusi formal dimaksudkan untuk mendorong perkembangan kebudayaan, teknologi, kreativitas, inovasi masyarakat Indonesia, dan perubahan lingkungan ekonomi global (Pasal 4, huruf a, Konsiderans, bahagian menimbang, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu sebuah peradaban umat manusia akan terbangun melalui penguasaan HKI. Tinggi rendahnya peradaban manusia dalam satu Negara akan ditentukan oleh seberapa jauh penguasaan HKI yang dimiliki oleh bangsa itu. Semakin banyak penguasaan HKI yang dimiliki, maka semakin tinggi peradaban bangsa itu
Oleh karena itu tantangan bangsa ini ke depan adalah seberapa jauh bangsa ini dapat mendorong tumbuhnya percepatan kreativitas dan inovasi yang menempatkan manusia sebagai subyek sekaligus objek pembangunan. Dimensi kehadiran manusia dalam pembangunan guna melahirkan kreativitas, inovasi dan karya-karya cipta serta invensi baru dalam bidang teknologi dan dapat diterapkan dalam aktivitas industri harus dikembangkan dengan prasyarat dukungan kepastian hukum dan stabilitas politik dan ekonomi yang memadai. Kreativitas tidak akan tumbuh, jika aspek kepastian hukum, kebebasan berkreasi, stabilitas politik dan keamanan tidak terjamin (sub sistem sosial yang mengitarinya).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perlindungan HKI akan menempati posisi penting dan strategis bagi mendorong lahirnya industri kreatif yang berpangkal pada kreasi dan inovasi yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, terutama ekonomi pada sektor-sektor informal yang sampai saat ini mengambil posisi sebagai sokoguru penyanggah ketahanan ekonomi nasional.
Perjalanan peradaban bangsa Indonesia terus berkembang mengikuti arus perubahan yang terjadi dalam masyarakat dunia (pengaruh global) dan masyarakat Indonesia sendiri, sebagai akibat dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan itu, hukum sebagai bagian dari peradaban manusia juga berjalan secara simetris mengikuti arus perubahan itu secara terus-menerus. Berbagai faktor kekuatan dalam struktur peta kekuatan politik dan ekonomi global kerap kali berpengaruh pada pilihan-pilihan hukum pada berbagai negara untuk sekadar menyesuaikan tuntutan dalam negerinya dan tekanan-tekanan politik global baik sebagai pesaing maupun sebagai mitra negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Kekuatan politis yang tarik menarik dengan kekuatan subsistem sosial lainnya terutama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi suatu negara dalam peta pertarungan politik global, menyebabkan negara‑negara di dunia menentukan strategi pemberdayaan ekonomi di negaranya masing‑masing. Kebijakan ekonomi nasional suatu negara biasanya dituangkan dalam peraturan perundang‑undangan. Tak pelak lagi, negara‑negara yang memiliki kemampuan yang kuat secara politis, ekonomis, dan bidang pertahanan keamanan akan menang dalam persaingan global tersebut. Beberapa negara di dunia menerapkan praktik monopoli, oligopoli, dumping, diskriminasi dalam tarif (bea masuk), kebijakan proteksi, pembatasan impor dengan sistem kuota dan lain‑lain yang menimbulkan banyak ketidakadilan.
Meskipun Indonesia menyadari bahwa pengaruh kapitalis dan semangat liberal begitu kuat mewarnai kebijakan perekonomian dunia yang merasuk pada seluruh sendi kehidupan ekonomi di berbagai-bagai negara di dunia, akan tetapi banyak faktor yang menyebabkan negeri ini tak mampu untuk menghindarinya. Dalam bidang perlindungan hak cipta misalnya, Indonesia tak mampu melawan keinginan negara-negara maju dalam menyuarakan keinginannya untuk melindungi karya cipta anak bangsanya. Ini terbukti dari 3 kali perubahan terakhir undang-undang hak cipta Indonesia terlihat dominasi nilai-nilai kapitalis terselit dalam norma undang-undang hak cipta Indonesia. Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didominasi oleh negara maju menyebabkan ketergantungan Indonesia semakin hari semakin besar dan itu berbanding terbalik dengan kemandirian Indonesia dalam percaturan politik (termasuk ekonomi) internasional. Hal ini terungkap dari latar belakang kelahiran Undang-undang No. 28 Tahun 2014 menggantikan Undang-undang No. 19 Tahun 2002.
ADVERTISEMENT
Ungkapan itu tersirat dalam penjelasan umum undang-undang No. 28 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa: Hak Cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup karya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra (artistic work and literary work) yang di dalamnya mencakup pula program komputer. Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan berbagai negara dan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi mengharuskan adanya pembaharuan undang-undang hak cipta, mengingat hak cipta menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional. Dengan undang-undang hak cipta yang memenuhi unsur perlindungan dan pengembangan ekonomi kreatif ini maka diharapkan kontribusi sektor hak cipta dan hak terkait bagi perekonomian negara dapat lebih optimal.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi salah satu variabel penting yang memberikan pengaruh besar terhadap perubahan undang-undang hak cipta. Teknologi informasi dan komunikasi di satu sisi memiliki peran strategis dalam pengembangan hak cipta, tetapi di sisi lain juga menjadi media pelanggaran hukum di bidang hak cipta. Pengaturan yang proporsional sangat diperlukan, agar fungsi positif dapat dioptimalkan dan dampak negatifnya dapat diminimalkan. Itulah salah satu alasan pemerintah untuk mengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2014.
Pemerintah menyebutnya sebagai upaya sungguh-sungguh dari negara untuk melindungi hak ekonomi dan hak moral Pencipta dan pemilik Hak Terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan kreativitas nasional. Alasannya adalah, teringkarinya hak ekonomi dan hak moral dapat mengikis motivasi para Pencipta dan pemilik Hak Terkait untuk berkreasi. Hilangnya motivasi seperti ini akan berdampak luas pada runtuhnya kreativitas makro bangsa Indonesia. Bercermin kepada negara-negara maju tampak bahwa perlindungan yang memadai terhadap Hak Cipta telah berhasil membawa pertumbuhan ekonomi kreatif secara signifikan dan memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Penekanan perubahan undang-undang ini pada "bercermin dari negara maju" menyebabkan Indonesia secara tanpa sadar "kehilangan" nilai-nilai bangsanya sendiri, yang sebenarnya harus bercermin pada nilai-nilai filosofis yang dianut oleh bangsanya sendiri. Walaupun, sebenarnya apa-apa yang baik pada bangsa lain, tidaklah terlalu buruk untuk ditiru dan diterapkan pada bangsa sendiri, akan tetapi peniru penggunaan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam sarana multimedia untuk merespons perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Di tingkat Internasional, Indonesia telah ikut serta menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual) yang selanjutnya disebut TRIPS, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyright Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO) yang selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997, serta World Intellectual Property Organization Performances and Phonograms Treaty (Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram WIPO) yang selanjutnya disebut WPPT, melalui Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2004. Penggantian Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dengan Undang-undang ini dilakukan dengan mengutamakan kepentingan nasional dan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, dengan masyarakat serta memperhatikan ketentuan dalam perjanjian internasional di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait.
ADVERTISEMENT
Perubahan-perubahan dan penambahan beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang undang Hak Cipta sebelumnya yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014, tidak saja dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tuntutan kemajuan zaman yang saat ini telah memasuki revolusi industri 4.0 dan bergerak revolusi industri 5.0, akan tetapi lebih jauh juga untuk dapat menumbuhkan kreativitas pencipta dengan menekankan penguatan pada aspek hak ekonomi pencipta.
Termasuk pembatasan mengenai pengalihan hak ekonomi dengan jual putus (sold flat), dan perlindungan hak ekonomi lainnya terkait keikutsertaan pencipta musik dan lagu atau pemilik hak cipta atau penerima hak untuk menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat memperoleh imbalan atau royalti yang lebih memadai. Dengan begitu kreativitas pencipta akan dapat tumbuh dan berkembang. Para pencipta akan dapat "menggantungkan" kehidupannya dari talenta dan aktivitasnya untuk melahirkan ciptaan-ciptaan yang inovatif dan berkualitas, khususnya karya-karya dalam bidang seni dan sastra.
ADVERTISEMENT
Tentu saja dengan terbangunnya sentra-sentra ekonomi dan industri kreatif, ini akan berdampak pada sektor-sektor pembangunan ekonomi kreatif. Kreativitas dan inovasi memiliki keterkaitan atau mata rantai dengan pembangunan ekonomi dan peradaban dalam arti luas. Mata rantai itu menyangkut kreasi, produksi, distribusi, konsumsi, dan konservasi, yang dilakukan oleh pelaku ekonomi kreatif untuk memberi nilai tambah pada produknya sehingga berdaya saing tinggi, mudah diakses, dan terlindungi secara hukum.

Penutup

Kehadiran Pak BK dalam kebijakan pembentukan hukum HKI pada tataran basic policy telah melebihi siapa pun yang tinggal di wilayah Republik ini. Hampir dua pertiga dari hidupnya telah dihabiskannya untuk kepentingan bangsa ini dan setengah di antaranya adalah untuk pembangunan bidang hukum HKI. Oleh karena itu teramat pantas jikan beliau mendapat anugerah dan penghargaan tertinggi sebagai "Bapak Hukum HKI Indonesia".
ADVERTISEMENT
Tantangan Indonesia ke depan adalah tantangan untuk meneruskan pekerjaan Pak BK yang masih tersisa, yakni, Indonesia harus kembali menggali nilai-nilai yang terpendam dalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai yang merupakan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum tempat meletakkan atau menggantungkan norma hukum. Penelitian hukum yang saat ini ditempatkan sebagai bagian dari penelitian ilmu-ilmu sosial kurang dianggap sebagai penelitian yang perlu mendapat tempat dalam sistem pengembangan atau kebijakan riset nasional, jika dibandingkan dengan penelitian dalam ilmu-ilmu eksakta.
Padahal hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi penyempurnaan Hukum Nasional. Akibatnya hari ini, sebagian hukum yang diproduksi di negeri ini jauh dari rasa keadilan dan meninggalkan nilai-nilai filosofis Pancasila. Dalam bidang hukum Hak Cipta dan Paten, selama ini Indonesia bertumpu pada norma-norma hukum yang bersumber dari hukum "Barat". Mulai dari Auteurswet 1912 Staatsblad No.600, Bern Convention (1886), Octrooi Wet (1910), Paris Convention (1883) dan TRIPs Agreement (1994). Tentu sebagai Negara yang berdaulat kita harus mempertahankan jati diri bangsa Indonesia. Indonesia harus bangkit melawan sistem kapitalis ini, jika tidak, kita akan hanyut dan tenggelam dalam mimpi-mimpi besar negara kapitalis dan menjadi benar apa yang diungkapkan oleh Christoper May (2009) dalam bukunya, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights bahwa, Hak Kekayaan Intelektual termasuk Paten, akan menjadi alat penjajahan baru negara maju terhadap negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Untuk menumbuhkan kreativitas dan inovasi anak bangsa, negara harus memberikan perlindungan yang optimal pada kreasi anak bangsa, di samping memberikan insentif terhadap hasil kreasi dan inovasinya. Penelitian hukum harus ditempatkan dalam sistem pengelolaan penelitian pada Badan Riset dan Inovasi Nasional. Karena bagaimanapun juga hukum akan mengambil peranan penting dalam melindungi karya-karya kreatif dan inovatif anak bangsa. Tidak semua karya kreatif dan inovatif itu sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di sinilah pentingnya kehadiran hukum HKI yang bersandar pada landasan filosofis dan ideologis bangsa dan negara Indonesia. Karya-karya kreatif dan inovatif anak bangsa yang mengakar pada budaya bangsa Indonesia dan memiliki ruh ke-Indonesia-an, yakni nilai-nilai Pancasila.