Konten dari Pengguna

Paten dan Alih Teknologi

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
15 Agustus 2021 7:51 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
**Catatan dalam Memperingati Hari Teknologi Nasional
Kepres 71 Tahun 1995 menetapkan tanggal 10 Agustus sebagai Hari Teknologi Nasional. Landasan pemikiran terpilihnya tanggal itu, karena pada hari itu ditandai dengan keberhasilan anak bangsa atas uji terbang pesawat N 250 di bawah naungan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) sekarang PT. Dirgantara Indonesia yang kala itu dimotori oleh Putera terbaik bangsa Prof.Dr. (Ing) B. J. Habibie Presiden RI ke-3. Sebenarnya, jauh sebelum itu Presiden Soekarno pada tanggal 9 april 1961 pada saat peletakan batu pertama pembangunan gedung reaktor nuklir kerja sama Indonesia-Amerika Serikat, berpesan "Agar bangsa Indonesia menguasai teknologi nuklir dan ruang angkasa."
ADVERTISEMENT
Teknologi yang dimiliki oleh negara‑negara maju cenderung menarik perhatian negara‑negara berkembang, termasuk Indonesia untuk dapat diambil alih. Sudah barang tentu pengambilalihan itu tidak dapat dilakukan begitu saja, tanpa memperhatikan aspek hukum yang berkenaan dengan proses pengambilalihannya. Teknologi memiliki implikasi Paten dan karenanya invensi dalam bidang teknologi yang dapat diterapkan dalam aktivitas industri dilindungi dalam rezim hukum paten.
Paten dilindungi dalam beberapa norma hukum Internasional antara lain Paris Convention for The Protection of Industrial Property (1883), Patent Cooperation Treaty (1970), Konvensi Strasbourg (1971), Konvensi Paten Eropa (1973, Konvensi Budapest (1977), TRIPs Agreement (1994) dan Doha Declaration (2001). Indonesia melindungi paten berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2016. Begitu pentingnya arti paten bagi kehidupan manusia, sehingga di samping pelindungannya, dalam norma hukum itu diselitkan juga tentang alih teknologi. Paten tak boleh dimonopoli sedemikian rupa hingga orang lain tak memiliki kesempatan untuk menjalankannya. Kalaupun paten itu harus dilaksanakan sendiri oleh inventornya, maka pihak yang melaksanakan paten itu harus membuka peluang untuk terciptanya alih teknologi, serapan tenaga kerja dan investasi di negara tempat di mana paten itu dilaksanakan. Tujuannya tidak lain adalah agar proses alih teknologi dapat berjalan mulus pada waktunya.
ADVERTISEMENT
Catatan untuk Indonesia, terkait dengan Alih Teknologi ini ternyata tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Tulisan berikut ini ingin mengajak kita untuk berdiskusi, bagaimana Indonesia menyikapi keadaan ini untuk hari-hari mendatang.
Ilustrasi perempuan bekerja di industri teknologi. Foto: Shutterstock

Proses Kelahiran Temuan dalam Bidang Teknologi

Paten itu adalah temuan dalam bidang teknologi. Teknologi yang menghasilkan produk, proses, dan metode yang dapat diterapkan atau diaplikasikan dalam aktivitas industri. Temuan itu harus mengandung unsur kebaruan (novelty), asli (original) atau memiliki langkah inventif (inventive step). Untuk dapat menghasilkan sebuah invensi yang dapat diberi paten, tak jarang inventornya menghabiskan waktu, tenaga dan biaya untuk keperluan riset sampai pada invensi itu dapat diberi paten. Percobaan demi percobaan dilakukan, yang terkadang gagal dan tak membuahkan hasil. Semua itu dilakukan untuk sampai pada semua temuan dalam bidang teknologi yang mengandung unsur keaslian, novelty dan langkah inventif yang dapat diaplikasikan dalam industri.
ADVERTISEMENT
Di negara-negara maju, sebagai hak eksklusif, paten memiliki kecenderungan proteksionis. Baik oleh negaranya maupun oleh para inventornya. Sudah mulai tampak jelas untuk bidang pelindungan hak kekayaan intelektual ini, HKI mengandung implikasi politik, ekonomi atau perdagangan. Adanya kerangka-kerangka kesepakatan dalam bidang perdagangan-seperti yang dicapai dalam pertemuan pada putaran GATT yang terakhir putaran ke-8 pada bulan April 1994 di Marakesh yang menghasilkan The Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) yang dikenal dengan Marakesh Convention dan seluruh rangkaian konvensi ikutannya yang salah satu di antaranya adalah The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement)–adalah satu kasus saja yang menunjukkan bahwa dunia memerlukan aturan yang dapat melindungi para inventor dan pemegang HKI lainnya dalam lalu lintas perdagangan Global.
ADVERTISEMENT
Tujuannya adalah agar dalam pasar dunia yang terbuka, bebas dari hambatan bea masuk dan hambatan-hambatan lainnya yang membuat arus barang dari dan ke berbagai belahan dunia menjadi tidak terhambat, akan tetapi sejalan dengan itu hak-hak kekayaan intelektual seperti paten dapat dilindungi. Itulah sebabnya isu Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) ikut dikaitkan atau dihubungkan (related) dengan aspek perdagangan (trade Agreement) yang kemudian dituangkan dalam The Agreement on Trade Ralated Aspects of Intellectual Property Rights sebagai instrumen ikutan dari kesepakatan WTO bersama-sama dengan Konvensi ikutannya. Tidak hanya sampai di situ, TRIPs Agreement pun dijadikan sebagai aturan main-standar minimum-yang harus diikuti oleh seluruh negara anggota.
Oleh karena itu bukanlah persoalan sederhana bagi negara-negara berkembang untuk mewujudkan mimpi alih teknologi di negerinya di era persaingan ekonomi global ini. Karena negara-negara industri maju yang memotori kehadiran WTO yang notabene sebagai negara pemiliki HKI yang lebih banyak jika dibandingkan dengan Negara berkembang. Mereka telah "memagari" hak-hak mereka dengan berbagai instrumen hukum internasional. Itulah sebabnya persoalan alih teknologi mulai dari teknologi sederhana dalam bidang farmasi dan teknologi kesehatan sampai pada teknologi canggih seperti teknologi kedirgantaraan, teknologi informasi, teknologi otomotif sulit untuk diakses oleh negara-negara berkembang.
Ilustrasi perempuan dan teknologi Foto: Pim Chu/unsplash

Hambatan Alih Teknologi

Tidak dapat disangkal bahwa paten mempunyai peranan penting dalam suatu negara. Dengan memiliki paten, berarti ada invensi yang akan diterapkan dalam teknologi yang hilirnya adalah produksi. Kemajuan ekonomi suatu negara sangat tergantung pada produksi, apakah produksi yang melibatkan banyak tenaga (padat karya) atau produksi yang menggunakan mesin-mesin industri. Semua itu bermuara pada kehadiran teknologi yang dilindungi dengan hak paten. Hambatan yang sering ditemukan (khususnya oleh negara berkembang) adalah negara-negara pemilik teknologi tidak sepenuhya ikhlas untuk menyerahkan teknologinya. Sehingga masalah pelindungan hukum dan alih teknologi melalui sistem paten telah menjadi perhatian dunia internasional, terutama bagi negara‑negara berkembang yang kemajuan teknologinya jauh tertinggal, jika dibandingkan dengan negara‑negara industri maju. Di satu sisi keperluan negara berkembang terhadap teknologi untuk pembangunan ekonominya sangat mendesak, sedangkan di sisi lain bagi negara‑negara maju teknologi merupakan asset yang harus tetap dipertahankan dan apabila dipergunakan harus menghasilkan uang.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini teknologi menjadi alat untuk perluasan pasar dari hasil‑hasil industri terhadap penerapan teknologi tersebut. Apalagi kepemilikan teknologi yang dilindungi sebagai paten yang saat ini dikembangkan dengan cara pandang kapitalisme global, untuk tidak dikatakan sebagai alat neo-imperialism. Alat "penjajahan" baru Negara industri maju terhadap Negara berkembang.

Penutup

Isu bahwa teknologi yang dilindungi dalam rezim hukum paten bukanlah isu baru. Isu ini sudah lama dirasakan oleh negara-negara dunia ketiga dan pertama kali diangkat dalam forum internasional pada sidang umum PBB pada bulan November 1961. Dalam Forum itu Brazilia mengajukan usul/resolusi dengan judul, “The Role of Patents in the Transfer of Technologi to bunde development Countries" (Peranan Paten dalam Alih Teknologi untuk negara‑negara Berkembang). Salah satu pertimbangan yang menjadi dasar usul resolusi tersebut berbunyi sebagai berikut; dengan mengakui demi kepentingan terbaik dari semua negara maka sistem paten internasional harus diterapkan secara demikian sehingga tuntutan‑tuntutan sah/legal para pemilik paten dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan syarat‑syarat bagi perkembangan ekonomi dari negara‑negara yang sedang berkembang (Moh. O. Masdoeki, 1978:77).
ADVERTISEMENT
Resolusi ini kemudian dimasukkan ke dalam amar ke-5 dalam Sidang Umum PBB Tahun 1961 itu. Akan tetapi negara‑negara maju meminta untuk mengubah amar keputusan tersebut. Akhirnya diputuskan tujuan konvensi internasional terkait paten dan alih teknologi menjadi, “mempelajari masalah‑masalah berkenaan dengan pemberian pelindungan dan penggunaan paten, dengan memperhatikan ketentuan‑ketentuan dari konvensi‑konvensi internasional yang sekarang berlaku dari negara‑negara berkembang”, dan ditambahkan “dan menggunakan instrumen normatif yang diatur dalam Paris Convention untuk pelindungan milik perindustrian (Konvensi Paris, Seminar Hak Paten, Medan, 1990: 5).
TRIPs Agreement, memang sudah memberi peluang agar negara-negara berkembang mengatur sendiri dalam norma hukum paten nasionalnya dengan memanfaatkan Fkexibility TRIPs dan menjadikan TRIPs Agreement sebagai acuan standar minimal. Akan tetapi dalam praktik tidak semudah itu, bahwa sedikit sekali paten‑paten yang didaftarkan oleh orang‑orang asing di negara‑negara berkembang benar‑benar dapat dilaksanakan di negara tersebut. Dalam praktik kontrak alih teknologi dibuat terpisah dan berbeda dengan kontrak‑kontrak untuk memberikan lisensi paten. Tak ada alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa yang pertama, akan terjadi tanpa perbuatan hukum berikutnya. Paten yang tidak diserahkan lisensinya kepada pengusaha domestik tidak dapat dilaksanakan untuk alih teknologi. Setiap pengalihan yang terjadi dilakukan melalui kontrak‑kontrak yang berkaitan dengan know‑how, yakni teknologi yang tidak dipatenkan.
ADVERTISEMENT
Bila teknologi itu merupakan teknologi yang dirahasiakan oleh perusahaan atau pemilik teknologi tersebut, maka sudah pasti proses pengalihannya tidak dapat dilaksanakan. Saat ini Indonesia sudah memilih dan menetapkan dalam Pasal Pasal 107 Undang-undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tidak lagi menekankan pada kewajiban pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia dan harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, pelaksanaan paten sudah dianggap terpenuhi jika sudah dilakukan kegiatan seperti membuat, mengimpor, atau melinsensikan produk yang diberi paten. Atau untuk paten proses sudah dianggap dilaksanakan jika sudah melakukan kegiatan yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi paten. Selanjutnya untuk paten metode, sistem, sudah dianggap dilaksanakan jika penggunaannya yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang dihasilkan dari metode, sistem, dan penggunaan yang diberi Paten. Dengan itu pupuslah sudah harapan bangsa ini untuk mewujudkan alih teknologi, selanjutnya negeri kita akan dibanjiri oleh produk-produk asing. Mimpi Soekarno, 60 tahun yang lalu, mimpi Indonesia untuk menjadi negara yang berdiri di atas kaki sendiri, menguasai teknologi nuklir dan ruang angkasa kini tenggelam di alam angan. Harapan B. J. Habibie meletakkan dasar perjuangan Teknologi Nasional juga ikut tenggelam bersama meredupnya semangat para pembuat undang-undang yang kerap kali memilih dan terjebak dalam arus pemikiran pragmatis. Semoga ini dapat memberi kesadaran baru bagi rakyat dan bangsa yang kita cintai ini.
ADVERTISEMENT
**Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia