Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pembantaian Etnik Melayu 1946: Kekejaman PKI di Sumatera Timur
1 Oktober 2021 17:13 WIB
·
waktu baca 22 menitTulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejarah tak boleh dilupakan. Sejarah adalah pembelajaran sebagai cermin masa lalu untuk direfleksikan ke masa depan. Sesungguhnya bangsa dan puak manapun yang ingin terjaga dari tidurnya ia harus menggerakkan memori sejarahnya. Kehancuran sebuah peradaban adalah pembelajaran. Orang bijak akan menarik berbagai kesimpulan dari peristiwa sejarah untuk kembali menegakkan bangunan masyarakat yang lebih baik dan kembali membangun peradaban baru di atas puing-puing reruntuhan.
ADVERTISEMENT
Kekalahan Puak Melayu dalam mempertahanakan serangan-serangan fisik adalah sebuah peristiwa luka yang akan hilang dan lenyap. Akan tetapi kekalahan dalam mempertahankan kebudayaan Melayu adalah luka yang mematikan. Harus dicatat Melayu identik dengan Islam yang dibangun berdasarkan sendir-sendi Al Qur'an dan Hadits. Itu sebabnya di Kesultanan Melayu, Masjid dibangun lebih indah dari Istana Sultan. Adab, akhlak, tata kerama, sopan santun, dan bahasa yang santun dan lemah lembut serta cara makan dan berpakaian diajarkan. Sekolah-sekolah dan madrasah dibangun dan digalakkan. Kadhi-kadhi memutus dengan Syari'at Islam.
Tulisan ini mengajak kita semua untuk kembali merenungkan kekejaman dan keberutalan dan tindakan liar yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Pro-Revolusioner, kelompok republiken pada Maret 1946 yang menghancurkan sendi-sendi peradaban Puak Melayu Sumatera Timur.
ADVERTISEMENT
Bandingannya dengan Revolusi Perancis
Belum enam bulan sejak Sultan Deli menyampaikan dukungannya kepada Negara Republik Indonesia bersama dengan Raja-Raja se-Sumatera pada tanggal 23-25 Desember 1945 di Padang Panjang, Para pemuda yang tergabung dalam Pesindo, pemuda dari unsur PKI sudah melancarkan aksinya menghabisi para Sultan dan kerabatnya di Sumatera Timur. Ikut juga menjadi korban adalah Raja dan keluarga Kerajaan Tanah Jawa, Simalungun, dan Tanah Karo, walaupun yang disebut terakhir ini tidak terjadi pertumpahan darah. Gerakan pembantaian itu berlangsung singkat, hanya 17 hari. Mulai tanggal 3 Maret sampai 20 Maret 1946. Para penulis sejarah menyebut bahwa peristiwa itu sebagai revolusi sosial. Menyamakannya dengan Revolusi Perancis (1789–1799). Penulis lain mengatakan itu bukan revolusi sosial, tapi pembantaian etnik. Kesamaannya memang ada yakni berasal dari gerakan politik sayap kiri. Walaupun untuk "Kasus Sumatera Timur" dari unsur golongan agama juga ikut mendukung gerakan, namun dominasinya adalah dari kaum kiri.
ADVERTISEMENT
Tak sepadan membandingkan revolusi Perancis dengan kasus pembantaian Etnik "Sumatera Timur". Memang melihat dari cepatnya proses itu berlangsung, peristiwa itu dapat dikatakan revolusi. Tetapi bukan revolusi sosial. Karena ideologi perjuangannya tidak sesuai dengan garis perjuangan revolusi Indonesia ketika itu. Tak ada asas atau ideologi, konsep dan pikiran-pikiran cerdas kaum intelektual yang melandasi gerakkan itu. Gerakan itu sangat liar dan brutal. Penjarahan dan pemerkosaan serta pembantaian dengan cara-cara yang sadis tanpa proses hukum adalah pelanggaran yang tidak sesuai dengan bunyi Alinea Pertama Pembukaan UUD 45, apalagi jika diukur dengan standar Pancasila.
Padahal waktu itu Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya dan Pancasila serta UUD 45 sudah disahkan. Jika Revolusi Perancis berisikan transformasi sosial politik yang penuh dengan kisah kepahlawanan, yang meruntuhkan sistem feodalisme, aristokrasi dan monarki mutlak, tapi kasus Sumatera Timur dipenuhi dengan kisah sadisme, brutal, liar, penjarahan dan perkosaan, walaupun sama-sama hendak meruntuhkan kekuasaan para raja. Jika Revolusi Perancis dilakukan oleh gerakan politik sayap kiri, massa di jalan-jalan dan masyarakat petani, jelas arah perjuangannya yakni untuk meletakkan manusia dalam posisi yang sederajat, mendistribusikan sumber-sumber ekonomi secara adil dan menghilangkan penghisapan atau eksploitasi manusia atas manusia.
ADVERTISEMENT
Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi hierarki, monarki, aristokrat dan gereja Katholik digulingkan dengan tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru, yakni kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Revolusi didorong karena kegagalan Pemerintahan Louis XVI menangani krisis keuangan. Selain itu kebencian rakyat juga karena ia bukanlah orang yang memiliki kompetensi untuk naik tahta. Jadi ada persoalan internal di dalam tubuh kerajaan ketika itu. Faktor lain yang mendukung percepatan Revolusi Perancis itu juga karena semakin menyeruaknya ide "pencerahan" di kalangan masyarakat.
Lihatlah sekuen perjalanan Revolusi Perancis
Revolusi Perancis yang dimulai pada tahun 1789 berhasil menggulingkan Louis XVI dan bersamaan dengan itu tepat pada bulan Desember 1792 didirikanlah Republik Perancis. Satu tahun kemudian Louis XVI dieksekusi. Tapi apa yang terjadi kemudian, setelah pemerintah berpindah, justru Maxmilien Robespierre, Jacobin, dan Komite Keamanan Publik, menjalankan pemerintahan yang diktator dengan penuh teror. Kemudian Robespierre dieksekusi, Jacobin dijatuhkan, kendali negara diambil alih oleh "Directory" yang terdiri dari dua dewan eksekutif dengan lima anggota yang memimpin pada tahun 1795-1799.
ADVERTISEMENT
Directory ini mempertahankan kebijakan luar negeri yang agresif tetapi tak mampu mengendalikan peristiwa dalam negeri. Akhirnya digulingkan oleh Napoleon Bonaparte, lalu oleh Bonaparte ditempatkan Konsulat untuk menyelenggarakan pemerintahan di bawah kendali Napoleon Bonaparte pada tahun 1799.
Pembelajaran apa yang kita dapatkan? Ternyata kepemimpinan tidak bisa dihapuskan, tapi hanya bisa digantikan. Apakah penggantinya lebih baik? Sejarah Revolusi Perancis memberi jawaban. Ternyata tidak. Kasus Revolusi Perancis menunjukkan bahwa Perancis lepas dari diktator lama berpindah ke diktator baru. Tercatat selama periode pemerintahan 1793-1794 rakyat tewas berkisar antara 16.000, hingga 40.000.
Dampak dari Revolusi Perancis adalah lahirnya demokrasi liberal, sekularisme, dan berkembangnya ideologi modern yang meninggalkan masuknya paham mistis dan agama yang berujung lahirnya Prancis Modern. Bagaimana dampak dari Pembantaian Etnik Sumatera Timur? Memang hegemoni kekuasaan Kesultanan Melayu dapat dihapuskan, tapi karena tujuan gerakan itu tak sesuai dengan arah Revolusi Indonesia, akhirnya yang terjadi adalah penghancuran peradaban. Menghancurkan peradaban Melayu sama artinya dengan menghancurkan peradaban Islam.
ADVERTISEMENT
Apa yang diperoleh oleh Pro-Revolusi, sebagian berakhir di tiang gantungan. Sumber daya alam minyak, perkebunan berpindah ke Negara. Negara gagal mendistribusikan hasil-hasil itu untuk kemaslahatan rakyat di sekitarnya. Hasil Perkebunan Negara diboyong ke Pusat, nasib buruh atau karyawan zaman sebelum kemerdekaan tak jauh berbeda dengan kondisi hari ini. Para Sultan kehilangan hak keperdataannya, Negara tak peduli, semua hasilnya diboyong ke Pudsat sebagai pendapatan Badan Usaha Milik Negara. Sultan dan kawula masyarakat adatnya tak lebih luas penguasa tanahnya dibandingkan dengan kepemilikan oleh kaum kapitalis pasca pembantaian Etnik Melayu dan Penggusuran Kekuasaan Kesultanan Melayu. Kelompok revolusioner dan republiken yang menggagas dan sekaligus sebagai pelaku pembantaian tahun 1946 itu ternyata tidak mendapatkan apa pun, kecuali kebanyakan dari mereka harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan dan di depan para regu tembak. Hasil yang nyata yang diperoleh oleh kelompok Pro-Revolusioner adalah hasil jarahan harta para Sultan yang kelak dipertanyakan di akhirat bersama pertanggung jawaban atas tindakannya membunuh, memperkosa dan menghalalkan darah para Sultan dan para kerabatnya.
ADVERTISEMENT
Kemakmuran Berbuah Kecemburuan
Kini mari kita lihat peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur. Gerakan pembantaian dimulai tanggal 3-20 Maret 1946. Gerakan pembantaian dilakukan secara masif terhadap Kesultanan Melayu di Sumatera Timur: Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Batu Bara, Kualuh, Panai, Bilah, dan Kotapinang dan meluas hingga ke Simalugun dan tanah Karo. Tak jelas garis perjuangan yang hendak ditegakkan. Jika perjuangan itu dimaksudkan hendak menghapuskan feodalisme, monarki, dan aristokrasi dan digantikan dengan prinsip-prinsip baru, yakni kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, tak tampak dalam gerakannya.
Gerakan yang dilakukan sangat brutal. Sultan dan Orang-orang Besar kerajaan disiksa dan ratusan tokoh-tokoh Melayu dibunuh. Istana dan rumah-rumah dijarah dan bahkan anak-anak gadis diperkosa. Di Langkat massa PKI di bawah pimpinan Marwan dan Usman Parinduri menyerbu dan menjarah istana, membunuh dan memperkosa. Tokoh Sumpah Pemuda 1928 dan Tokoh Pergerakan Nasional Tengku Amir Hamzah ditawan lalu dibunuh dan jenazahnya dikuburkan di perkebunan tebu. Tokoh-tokoh yang terus menyuarakan kebencian pada Kesultanan Melayu adalah Karim Marah Sutan, Luat Siregar, dan Nathar Zainuddin adalah tokoh-tokoh lokal yang berafiliasi pada aliran kiri dan didukung oleh barisan komunis pada skala nasional.
ADVERTISEMENT
Dibukanya perkebunan besar di Sumatera Timur yang mempekerjakan para buruh yang didatangkan dari luar daerah Kesultanan Melayu seperti dari Pulau Penang dan Pulau Jawa serta para pendatang dari daerah yang bertetangga dengan Kesultanan Melayu Sumatera Timur, oleh mereka di kemudian hari dianggap sebagai eksploitasi. Padahal di tempat asal mereka kehidupan sangat sulit. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang beruntung pada zamannya mendapat kesempatan untuk bekerja di kebun-kebun di Sumatera Timur. Ini adalah sisi lain yang tak pernah diungkap oleh penulis sejarah. Tidak dijelaskan oleh Antony Reid dalam Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera (1987), juga tak tampak pada penjelasan Mohammad Said dalam Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Dulu, Dengan Derita, dan Kemarahannya (1977).
ADVERTISEMENT
Bagaimana kehidupan rakyat di Pulau Jawa selama kurun waktu paruh akhir abad ke-19, sebelum mereka memilih bekerja di Perkebunan-perkebunan Milik Perusahaan Belanda, Inggris, dan Belgia di Sumatera Timur. Begitu juga bagaimana sulitnya untuk mencari kehidupan di Pulau Penang pada periode tahun yang sama. Di Sumatera Timur, kehidupan para buruh bukan dieksploitasi. Mereka bukan tinggal di barak-barak, tetapi disediakan rumah-rumah tinggal yang dianggap cukup layak huni pada masa itu. Bahkan penduduk asli Melayu tak mendapatkan rumah seperti itu. Penduduk tempatan dan bahkan Istana Sultan Deli Pertama di Labuhan Deli dibangun dari kayu dan atap nipah. Baru kemudian setelah perkebunan yang dikonsesikan membuahkan hasil istana dibangun seperti sekarang ini. Masjid-masjid dan madrasah dibangun.
ADVERTISEMENT
Demikian juga Istana Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan. Di Batubara Istana dibangun dari penjualan dan ekspor hasil-hasil hutan ke Penang. Jadi tidak tiba-tiba menjadi kaya raya, hidup mewah yang bersumber dari menghisap darah rakyat, seperti yang dipropagandakan oleh kelompok yang menamakan dirinya republiken. Rakyat dan buruh-buruh perkebunan hidup bebas dan tidak di bawah tekanan kerajaan, termasuk paksaan dalam membayar pajak. Itu tak pernah dilakukan oleh Kesultanan Melayu, Bahkan di Deli disetiakan Beasiswa bagi rakyat ingin melanjutkan studinya ke negeri Belanda.
Waktu itu memang studi hyang dibuka ke Negeri Belanda, belum ada jaringan bisnis ke Amerika. Pengusaha perkebunan Belanda yang datang ke Tanah Deli, Bilah Panei, Kuwaluh, Kota Pinang, Batu Bara, Serdang, Asahan, dan Langkat, termasuk di Simalungun Pane, Siantar dan Tanah Jawa adalah para investor, karena itu untuk mendapatkan tanah-tanah harus dituangkan dalam perjanjian/kontrak yang disebut Akta Konsesi. Tanah-tanah di wilayah Kesultanan Melayu, bukan milik Raja Belanda. Oleh karena itu tak berlaku Domein Verklaring dan tak ada hak Erfacht, Hak Barat atau Hak Guna Usaha yang dikeluarkan Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Timur, kecuali ada sebahagian di wilayah Kesultanan Asahan.
ADVERTISEMENT
Hubungan bisnis semacam itu membuat pertumbuhan ekonomi di Sumatera Timur bergerak maju dalam waktu yang singkat. Ini yang di kemudian hari menimbulkan kecemburuan kepada kaum pendatang. Padahal sebagian dari mereka hidup dan menikmati berbagai kesempatan yang terbuka di era itu. Pertanyaannya adalah, apakah sebagai pendatang di wilayah yang saat itu memiliki kewenangan memerintah tidak wajib untuk sekadar menghormati hukum dan ketentuan yang berlaku di wilayah tempat kita mencari kehidupan?
Keterlibatan Partai Komunis Indonesia
Hasil-hasil perkebunan yang melimpah ruah, membawa suasana kehidupan baru. Kota-kota modern dibangun. Istana Kesultanan yang tadinya dibangun dari kayu dan atap nipah, kini dibangun megah dan indah. Rumah-rumah ibadah dibangun dengan gaya arsitektur yang indah dengan bahan batu pualam yang didatangkan dari Itali. Itu semua dapat dilakukan karena Kesultanan telah menerima kompensasi dari pemakaian lahan kosesi. Medan menjadi kota modern yang tertata rapi. Belanda menyebutnya sebagai Paris van Sumatera. Kemajuan ekonomi mengalami peningkatan dan perubahan secara drastis. Para imigran dari luar Kerajaan berdatangan, mencari penghidupan.
ADVERTISEMENT
Begitu juga di Langkat. Hasil minyak di bumi Langkat menjadikan Kesultanan Langkat menjadi daerah terkaya di Sumatera Timur. Mobil Roll Royce yang hanya ada 5 unit di dunia pada waktu itu, satunya ada di Kesultanan Langkat. Tapi apakah rakyat Langkat hidup dalam kemelaratan, menderita, dan kebodohan? Sultan Langkat membangun dan mendirikan Sekolah Jamiyah Mahmudiyah Tanjung Pura Langkat pada tahun 1912. Sekolah ini lebih dulu didirikan dari sekolah Taman Siswa yang didirikan sepuluh tahun kemudian, yakni pada Tahun 1922. Sekolah yang didirikan Sultan Langkat lebih hebat dari Sekolah Belanda dan Misionaris Jerman (arusmalaka.com, 16 November 2019). Berdampingan dengan sekolah itu ada sekolah Langkatche School, Eropese Lagere School dan Holland Chinese Schcool. Langkat menjadi kota pendidikan pada zamannya. Tahun 1930 sekolah yang didirikan oleh Sultan Langkat itu sudah memiliki 2000 alumni.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu menjadi tidak benar khotbah Yunan Nasution memberikan penjelasan kepada umat dan dalam khotbah Jumatnya pada tanggal 8 Maret 1946 di masjid Raya Medan. Dalam khotbah Jumatnya Yunan mengatakan bahwa "Bagaimana raja-raja menjadikan umat muslim sebagai masyarakat terbelakang dan kolot". Khotbah itu ia sampaikan di tengah berlangsungnya pembantaian para Sultan di Sumatera Timur. Sultan di Sumatera Timur selamanya berkolaborasi dengan para ulama. Lihatlah bagaiman Sultan Langkat, Sultan Musa menghibahkan tanahnya kepada Syekh Abdul Wahab Rokan di Besilam yang menjadi pusat pengajaran Tarekat Naqsabandiyah.
Di Deli pada masa Pemerintahan Sultan Ma'moen Al Rasyid (1879-1924), beliau mengangkat Syekh Hasan Maksum sebagai mufti negeri Deli. Syekh Hasan Maksum menimba ilmu di Makkah. Beliau adalah seorang ulama Besar yang sudah lama mengajar di Makkah. Tahun 1925 Masyarakat Sumatera Timur diramaikan oleh kabar kedatangan Ulama Besar Dari Makkah. Namanya Syekh Abdul Qadir Al Mandiling. Ia mengatakan pada suatu rapat di rumah kediaman Syekh Muhammad Ya'kub, Syekh Abdul Kadir mengatakan, "Di Medan ada seorang Ulama yang memiliki kadar keilmuan yang tinggi dan pernah mengajar di Makkah. Dia adalah Syekh Hasan Maksum. Apabila sekarang ia telah menjadi Ulama Besar Kesultanan Deli, aku nasihatkan kalian semua jangan lalai dan jangan lupa untuk menuntut ilmu kepadanya". (Republika, Muhyiddin/Muhammad Hafil, Syekh Hasan Maksum, Mufti Kesultanan Deli, Senin 02 Maret 2020).
ADVERTISEMENT
Begitulah para Sultan memelihara aqidah dan menjaga ajaran Islam. Deli memilih ulama terbaik pada zamannya. Oleh karena itu tindakan Dr. Muhammad Amir wakil Gubernur Sumatera (yang juga mantan Ketua Tim Dokter Sultan Langkat) memberi kuasa kepada pimpinan baru Masyumi untuk mengambil alih kekuasaan administrasi keagamaan di Sumatera Timur, termasuk mengganti para khadi di Kesultanan Melayu pada tanggal 9 Maret 1946, adalah tindakan yang keliru. Tampaklah di kalangan ormas Islam pun ada yang sinis dan menyimpan kebencian terhadap keberadaan Kesultanan Melayu di Sumatera Timur. Malam hari setelah penggantian mufti dan para kadhi pada saat lampu dipadamkan terjadi penyerbuan terhadap Istana Sultan Langkat. Semua penghuni istana ditangkap, harta-harta dijarah yang paling memilukan, para perempuan diperkosa, termasuk dua orang Puteri Sultan.
ADVERTISEMENT
Meskipun pada akhirnya pelakunya dibunuh oleh sekelompok pemuda Islam, tapi itu bukti revolusi itu sesungguhnya tak punya arah, kecuali untuk menjarah dan atas dasar kecemburuan sosial. Bahkan Ulama sempat mengeluarkan fatwa yang menghalalkan darah raja-raja Sumatera Timur (wawancara dengan Allahyarham Tuanku Luckman Sinar Bayarsyah II dan Allahyarham T. Yose Rizal, 2002). Sebuah Fatwa yang tak memiliki pijakan berdasarkan Syari'at Islam.
Bukan Revolusi Tapi Api Kecemburuan
Meskipun pada tanggal 3 Februari, Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) yang dihadiri Raja dan Sultan se-Sumatera Timur termasuk Sultan Siak untuk menyatakan tekad mendukung Republik Indonesia, tapi sebahagian dari rakyat dirasuki oleh rasa cemburu dan dendam pada kaum bangsawan Sumatera Timur. Sultan Langkat dipropaganda telah menuai kekayaan dari penyewaan tanah perkebunan dan keuntungan dari perusahaan minyak. Begitu juga Sultan Deli ditengarai meraup kekayaan dari keuntungan konsesi tanah-tanah untuk perkebunan tembakau. Slogan-slogan yang diembuskan oleh kaum pendatang yang menuai kehidupannya di Sumatera Timur terus membahana seantero Sumatera Timur. Fitnah keji terus dilontarkan, "Raja-Raja penghisap darah Rakyat, Kaum Feodal harus dibunuh." Bahkan lagu "Darah Rakyat" kerap kali dikumandangkan.
ADVERTISEMENT
Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh kaum berhaluan kiri, yakni komunis yang jelas-jelas menentang pancasila dan nilai-nilai agama terutama nilai-nilai Islam. Anehnya organisasi-organisasi Islam juga ikut larut dalam pembantaian yang dimotori oleh kaum Komunis itu.
Apa sebenarnya yang tidak dilakukan oleh Raja-raja Simalungun, Siantar dan Para Sultan di Sumatera Timur untuk mendukung Republik Indonesia yang baru berdiri. Pertemuan KNI tanggal 3 Februari 1946, yang sebelumnya Kongres Raja-raja se-Sumatera di Padang Panjang, tanggal 22 s/d25 Desember 1945, sudah menyatakan dengan tegas bahwa semua mereka berada bersama-sama Republik Indonesia.
Akan tetapi, sekali kerakusan dan nafsu yang kemudian secara sadar atau tidak memuluskan gerakan PKI untuk membonceng gerakan itu dalam rangka memuluskan tujuan politiknya, yakni mengkomuniskan Indonesia. Para Sultan Sumatera Timur dan para Raja-Raja Simalungun dan Siantar dianggap terlalu kuat dengan ajaran agamanya. Agama adalah penghalang besar bagi melancarkan cita-cita komunis Indonesia. Oleh karena itu siapa saja yang dianggap menghalangi untuk menghabiskan kuasa raja-raja dan kuasa para sultan harus ditumpas habis.
ADVERTISEMENT
Menarik catatan dari investigasi Lira Media (m.liramedia.co.id) ketika mewawancarai Maxinius Hutasoit sebagai saksi mata pada peristiwa berdarah itu. Hutasoit mengatakan, "Sudah tentu revolusi sosial itu terselundup pula segala macam hak yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya secara objektif dengan persoalan feodal. Kepentingan-kepentingan sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas, nafsu rendah memperoleh pelampiasan".
Investigasi Lira terhadap turunan raja-raja Simaungun Tuan Kamen Purba Dasuha petera Raja Panei terakhir dan Tuan Jariaman Damanik Raja Muda Sidamanik terakhir, juga menampik tuduhan bahwa raja-raja menindas rakyat. Ahli waris kerajaan Panei terakhir Tuan Kamen Purba Dasuha dengan nada diplomatis mengatakan, "Apakah kaum pendatang tidak pantas menghormati dan tunduk pada aturan kerajaan yang berlaku di Panei?" seraya menunjuk pematang sawah di Panei sampai ke sababh Dua. "Kalau ayah saya menindas pendatang dari Tapanuli tak mungkin mereka mendapat pemukiman dan persawahan yang luas di Panei ini. Justru kami sebagai Ahli waris Raja Panei kebahagian lahan paling sedikit dibandingkan dengan kaum pendatang.
ADVERTISEMENT
Nada yang sama juga disampaikan oleh Tuan Jariman Sidamanik. Beliau mengatakan, "Jika Tuan Damanik menindas para pendatang, tak mungkin penduduk Tapanuli yang pindah ke Sidamanik melampaui penduduk pribumi Simalungun dan menguasai tanah yang lebih luas dari keturunan Sidamanik"
Itu juga yang terjadi di Kesultanan Melayu. Para pendatang dari Pulau Jawa, Pulau Penang Malaysia, Aceh, Minang, Mandailing, Cina, India, dan Arab semuanya menikmati capaian kemajuan ekonomi yang dibangun oleh para Sultan di Sumatera Timur selama bertahun-tahun. Bahkan penduduk pendatang jauh lebih makmur dari penduduk tempatan. Hanya karena sebahagian dari pendatang "kalah bersaing" dengan yang lainnya dan sebahagian dimuati oleh kepentingan politik, isu feodal, isu menghisap darah rakyat, dan segudang stereotip negatif lainnya dijadikan tema pembenaran untuk melakukan pembantaian.
ADVERTISEMENT
Begitulah, terlalu banyak pihak pada masa itu ingin mengambil keuntungan dari kondisi struktur sosial masyarakat yang tak terkendali di mana ada kaum buruh, ada pengusaha ada kaum bangsawan yang sangat rawan untuk diprovokasi. Pertentangan kelas itu terus dibangun melalui agitasi, porovokasi, dan propaganda-propaganda yang membangun kebencian kepada Raja-Raja Simalungun dan Sultan-Sultan Melayu Sumatera Timur. Itulah cara-cara komunis yang memanfaatkan keadaan melalui doktrin-doktrin rasionalitas yang jauh dari nilai-nilai religius. Sasarannya adalah para tokoh-tokoh muda yang reformis yang relatif mudah dibentuk dan dimasuki paham-paham sekuler dan komunis. Pemuda yang tak punya pengalaman dalam pergaulan sosial termasuk pengalaman dan pemahaman intelektual di bidang keagamaan. Terungkap bahwa pemuda yang bergabung pro-revolusioner ternyata dari kalangan yang didominasi oleh pemuda di bawah umur 30 tahun yang sebelumnya selalu bentrok memperebutkan kendali atas kebun karet dan harta jarahan dari Istana Sultan (Afandri Adya, https://afandriadya.com/2021/02/14/revolusi-sosial-1946-dan runtuhnya-kesultanan-di-sumatera-timur/)
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu semakin jelaslah bahwa, peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur itu, bukan Revolusi Sosial, tetapi pembantai Etnik Melayu dan Etnik Simalungun serta penjarahan harta yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Itu peristiwa kriminal pembantai dan perkosaan karena pembiaran dan kegagalan Pemerintah Republik Indonesia mengawal keamanan wilayah negaranya. Padahal sejak bulan Desember Raja-raja se-Sumatera sudah menyatakan dukungannya terhadap pemerintah republik. Sultan Deli sebagai pimpinan sidang membacakan putusan Kongres Pemangku Adat/ Raja-Raja Se-Sumatera ang berlangsung tanggal 21-23 Desember 1945. Salah satu dari Putusan Kongres itu adalah dengan tegas menyatakan bahwa Pemangku Adat/ Raja-Raja Se Sumatera mendukung dan berdiri di belakang Republik.
Begitu juga Pertemuan antara Raja-Raja Sumatera timur dengan Pemerintah Republik, pada tanggal 3 Februari 1946 pada Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) yang dihadiri Raja dan Sultan Sumatera Timur termasuk Sultan Siak. Di tengah rapat itu para Raja dan Sultan meminta waktu untuk mengadakan rapat tertutup dan menunjuk Sultan Langkat Sultan Mahmud Abdul Djalil Rakhmat Shah sebagai juru bicara dan menyatakan kebulatan tekad dan dukungan yang tegas terhadap Republik Indonesia Pernyataan itu disampaikan di hadapan wakil Pemerintah Republik Indonesia Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan dan dr. Muhammad Amir, Wakil Gubernur Sumatera, Residen Sumatera Timur Tengku Hafaz, Ketua KNI Sumatera Timur Mr. Luat Siregar (Ketua Komite Nasional Indonesia Sumatera Timur yang juga sebagai pimpinan sidang), Abdul Karim MS, Muhammad Yusuf, dr Tengku Mansyur, Tengku Damrah dan Tengku Bahriun.
ADVERTISEMENT
Dari kalangan Raja-Raja hadir; Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba Tuan Mogang Purba Pakpak, Raja Si Lima Kuta Tuan Padiraja Purba Girsang, Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik, Raja Raya Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging, dan Raja Tanoh Jawa Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga. Dari Kesultanan Melayu hadir Sultan Langkat, Sultan Deli, Sultan Asahan, Putera Mahkota Serdang Tengku Rajih Anwar, Raja Indrapura (Batu Bahara), Raja Bilah, Yang Dipertuan Kuwaloh dan Ledong dan utusan dari Sibayak, Tanah Karo.
"Kami para Sultan dan Raja-Raja di Sumatera Timur telah mengambil keputusan bersama untuk melahirkan sekali lagi iktikad kami bersama untuk berdiri teguh di belakang Presiden dan Pemerintah Republik Indonesia serta turut menegakkan dan memperkokoh Republik Indonesia," demikian pernyataan yang disampaikan oleh Sultan Langkat Sultan Mahmud Abdul Djalil Rakhmat Shah sebagai juru bicara Sultan dan Raja-raja pada pertemuan KNI, tanggal 3 Februari 1946. Persis sebulan setelah itu peristiwa pembantaian itu berlangsung secara masif dan sistematis di semua daerah Kesultanan dan Raja-Raja se Sumatera Timur dan merambah hingga ke Simalungun dan Tanah Karo. Yang berkhianat itu bukan para Sultan dan Raja-Raja Se Sumatera Timur, tapi Pemerintah Republik memiliki agenda lain untuk menghapuskan dominasi Kesultanan. Padahal Teuku Muhammad Hasan Gubernur Sumatera, memulai pidato pembukaannya pada Rapat KNI, tanggal 3 Februari 1946 dengan mengatakan, "Undang-undang Dasar Republik Indonesia mengakui secara resmi pemerintahan raja-raja di Sumatera Timur" Teuku Mohammad Hasan hanya hanya mengajukan syarat untuk memutuskan hubungan dengan Pemerintah Belanda, melakukan proses demokratisasi dan mendukung pemerintah Republik Indonesia. Semua syarat itu dipenuhi, ada yang sudah dilakukan dan sebahagian dalam proses menuju ke arah demokratisasi.
ADVERTISEMENT
Kecurigaan Keterlibatan Menteri Pertahanan
Oleh karena itu, mengundang kecurigaan, mengapa kedatangan Amir Syarifuddin Harahap Menteri Pertahanan Republik Indonesia pada Tanggal 9 sampai dengan 12 April 1946. mengunjungi Sumatera Timur tak menggambarkan kekecewaannya atas kegagalannya mengendalikan keamanan di wilayah Republik Indonesia. Selaku Menteri Pertahanan, beliau tak mungkin tak tahu kekacauan yang terjadi di Sumatera Timur. Apakah beliau selaku Menteri Pertahanan tidak melakukan komunikasi dengan Gubernur Teuku Mohammad Hasan? Tentu itu sulit untuk diterima. Sebagai Tokoh PKI Amir Syarifuddin pasti mengetahui gerakan pembantaian Sultan-Sultan di Sumatera Timur, karena itu adalah target PKI.
Menteri pertahanan mencederai janji Gubernur Teuku Muhammad Hasan di hadapan para Raja di Simaungun dan Sultan di Sumatera Timur. Menteri pertahanan tidak benar-benar mengawal keamanan yang berada di bawah kendalinya. Justru beliau ikut "bermain" dan sebagai aktor intelektual di balik peristiwa itu.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu benar apa yang disimpulkan dalam penelitian Tengku Luckman Sinar bahwa gerombolan orang yang mengakui republiken itu adalah merupakan objek rahasia Markas Agung pimpinan komunis Sarwono Sastro Sutarjo, Zainal Baharuddin dan Muhammad Saleh Umar dalam rangka menghapuskan kekuasaan raja-raja di Sumatera Timur yang dituduh menghalangi kemerdekaan. Amir Syarifuddin dan Pesindo berada dalam barisan itu.
Dr. Muhammad Amir ketua Tim Dokter Sultan Langkat yang juga menjadi wakil Gubernur Sumatera juga berpihak pada Markas Agung. Itulah sebabnya Dr. Muhammad Amir ikut mendesain jadwal pemberangkatan Teuku Mohammad Hasan ke Palembang, agar tak ada lagi yang menghalangi rencana mereka. Teuku Mohammad Hasan dikecoh wakilnya.
Berdasarkan catatan Lira Media (m.liramedia.co.id), pada tanggal 1 Maret 1946, sebenarnya sudah ada informasi rahasia yang masuk ke Tentara Sekutu, bahwa Partai Komunis Indonesia dan Barisan Harimau Liar bekerja sama dalam aksi yang akan didukung penuh oleh Volksfront dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) besutan Mr. Amir Syarifuddin yang didirikan pada bulan November 1945. Satu hari sebelum aksi dimulai, tanggal 2 Maret 1946, kelompok yang menamakan dirinya republiken berkumpul di rumah kediaman Mr. Luat Siregar di Medan dihadiri oleh anggota Volksfront, Muhammad Yunus dan Marzuki Lubis bersama Divisi IV TRI Kolonel Ahcmad Tahir dan Mahruzar (Adik Sutan Syahrir) merecanakan penumpasan raja-raja Sumatera Timur.
ADVERTISEMENT
Achmad Tahir adalah Komandan Tentara Republik Indonesia, pengangkatannya sebagai Komandan setelah terjadi Tragedi Jalan Bali. Bermula dari tindakan seorang Tentara Etnik Ambon yang kerap kali berpihak pada Kolonial Belanda merenggut bendera Merah Putih dan menginjak-injaknya. Ia tak setuju dengan rencana penumpasan raja-raja Sumatera Timur, sebab keberadaan raja-raja sudah diakui dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Itulah sebabnya ketika gerakan pembantai di Kesultanan Serdang Persatuan Perjuangan menghadapi perlawanan yang cukup keras. Sultan Serdang yang berkedudukan di perbaungan mendapat pengawalan ketat dari TRI di bawah pimpinan Tengku Noerdin. Beliau adalah seorang bangsawan muda Serdang, bekas perwira Giyugun dan keponakan tengku Nizam yang menjadi ketua KNI daerah itu. Tengku Noerdin mendapat persetujuan dari Achmad Tahir untuk mengambil keputusan di tangan sendiri. Pengambil alihan kekuasaan berlangsung cepat dan para Bangsawan Kerajaan Serdang ditahan di istana secara baik-baik.
ADVERTISEMENT
Penutup
Gerakan pembantaian yang direncanakan oleh kelompok masyarakat yang menamakan dirinya pro-Repulik berjalan sesuai dengan Grand Design PKI yakni menghancurkan kekuasaan Raja-Raja dan Kesultanan di Simalungun dan Sumatera Timur. Akan tetapi bagaimanapun juga, sebuah kejahatan tak bisa menyembunyikan dirinya. Berakhirnya kekuasaan Raja-Raja di Simalungun dan Kesultanan Sumatera Timur, harus mereka bayar mahal. Para pelaku dan dedengkot pembantaian akhirnya harus mengakhiri hidupnya dengan teragis. Tuhan, Allah wa jalla tak pernah tidur.
Di sinilah generasi sekarang harus tahu, betapa politik tetaplah politik yang jika digunakan untuk keburukan, isinya akan penuh dengan tipu daya dan kemunafikan. Sikap munafik itu dapat kita lihat dari pidato Amir Syaraifuddin dalam kunjungannya ke Sumatera Timur di tengah-tengah pergolakan yang sedang berlangsung. Bukankah yang mendalangi dan tokoh pemuda yang terlibat langsung dalam gerakan pembantaian itu adalah para aktivis PKI? Tapi beliau masih bisa berpidato dalam kunjungannya itu dan menegaskan, "Setelah melihat revolusi berada pada arah yang salah, perlu kembali membawa gelora revolusi di bawah kendali yang benar". Memang, Pidato Amir Sayarifuddin membawa dorongan kepada unsur moderat untuk kembali ke arah revolusi yang benar. Akan tetapi sekali komunis tetaplah komunis, sebuah ideologi yang sudah mendarah daging. Amir Syarifuddin pun rela berpindah agama dari Agama Islam karena agama barunya, dianggapnya lebih dekat dan lebih bisa dicerna dengan ideologi komunisnya. Walaupun akhirnya ia harus mengakhiri hidupnya pada usianya yang ke-41 dihukum mati oleh pemerintahan sahabatnya Soekarno, karena keterlibatannya dalam pemberontakan PKI Madiun tahun 1948.
ADVERTISEMENT
Kini Puak Melayu dan Masyarakat Indonesia yang mengakui Pancasila sebagai ideologi negara harus sadar dan mengenal musuhnya. Musuh kita sesungguhnya adalah komunis, jika kita lalai bukan tidak mungkin kita akan jatuh dalam putaran roda sejarah selanjutnya dan menjadi korban untuk kedua kalinya. Jauhilah hal-hal yang tak bermanfaat yang membuang waktu.
Tak ada yang dihasilkan oleh kaum republiken atas pembantaian Etnik Melayu Tahun 1946, kecuali menghancurkan sendi-sendi budaya Melayu yang bersumber dari aqidah Islam. Di sinilah pentingnya semua kita melihat secara jujur. Jika hari ini ada orang-orang yang harus dimaafkan, maka wajib bagi kita untuk memaafkannya. Wajib bagi kita ke depan untuk menghilangkan perselisihan tentu dalam batas-batas syariah dan Etika Peradaban Melayu. Tapi persoalan ini adalah persoalan kebangsaan ke depan yang masih tersisa hingga hari ini. Mari kita bangun kembali peradaban Melayu yang telah runtuh dengan memberi prioritas pada pembangunan pendidikan, aqidah, adab dan akhlak sesuai jatidiri Melayu. Jatidiri Islam.
ADVERTISEMENT