Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Peristiwa Kejahatan, Negara Untung?
9 Januari 2023 10:24 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Negeri yang bertuah ini hendak melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Negeri ini juga menjamin warganya untuk beribadah sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Kalimat terakhir ini oleh sahabat saya Associate Professor, Luthfi Yazid, pada Fakultas Hukum Universitas Mataram yang juga kuasa hukum sebagian dari jemaah korban First Travel Anugerah Kencana, disebutnya sebagai “hak fundamental warga negara” yang dijamin oleh konstitusi.
ADVERTISEMENT
Ibadah haji atau umrah adalah impian semua umat Islam. Untuk mewujudkan impian itu, mereka rela untuk berhemat-hemat dalam berbelanja, bahkan ada yang sudah 20 tahun menabung sedikit demi sedikit agar kelak bisa berkunjung ke Baitullah. Harapannya di Baitullah mereka akan menjalankan ibadah haji atau umrah sebagai rukun Islam yang ke lima.
Umat Islam meyakini begitu besarnya dosa, jika ia berpindah dari agama Islam dan memilih agama lain semasa hidupnya. Itu digolongkan kepada orang yang murtad. Itu adalah dosa besar. Dosa yang walaupun bisa, tapi sangat sulit untuk diampuni. Bahkan dalam hukum waris Islam, seorang yang murtad tak dapat menjadi ahli waris. Itu adalah ancaman dosa besar yang dilakukan penganut agama Islam pada saat dia hidup.
ADVERTISEMENT
Tapi dalam Islam ada murtad setelah ia mati. Yakni apabila ia sudah memiliki kemampuan untuk menjalankan ibadah haji atau umrah (siap fisik, mental, waktu, biaya, dll), tapi ia tak menjalankannya, ini dapat digolongkan sebagai orang yang tersesat. Bahkan jika ia meninggal dunia, maka ia bisa digolongkan ke dalam kelompok manusia yang mati dalam keadaan, Yahudi, Nasrani atau Majusi. Ya, murtad setelah ia mati, ketika ia mampu untuk melaksanakan rukun Islam yang ke-5 itu tapi dia memilih untuk tidak melaksanakannya.
Begitu kuatnya perintah yang mengikat umat Islam terkait pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Maka menjadi benar jika urusan ibadah ini dijamin oleh negara. Negara juga yang kemudian mengatur cara perjalanan dan pemberangkatannya bila hendak pergi menunaikan ibadah haji dan umrah.
ADVERTISEMENT
Negara mengatur tentang perizinan dan lain-lain kewajiban, seperti yang tertuang pada Pasal 38 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Ketentuan ini menyebutkan bahwa perjalanan ibadah haji dan umrah dapat dilakukan oleh pemerintah atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh menteri, semisal yang dilakukan oleh First Travel Anugerah Karya Wisata.
Kasus First Travel Anugerah Karya Wisata
Biro wisata First Travel Anugerah Kencana, pada awalnya menawarkan kepada calon jemaah haji dan umrah dengan tawaran yang menggiurkan. Ada 3 paket yang ditawarkan, yakni paket promo dengan jumlah pembayaran sebesar Rp.14.300.000, paket reguler dengan biaya Rp.26.613.000, dan paket VIP dengan kewajiban sebesar Rp.54.000.000.
Mengutip hasil penelitian Muhammad Rangga Ririhena dkk (Tatohi, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 Nomor 2, April 2021, hlm 88 – 95) paling tidak 72.672 jemaah yang mendaftar pada First Travel Anugerah Kencana. Akan tetapi biro perjalanan ini baru dapat memberangkatkan jemaah pada Desember 2016 dan Mei 2017 berjumlah lebih kurang 14.000 jemaah. Artinya masih terdapat 58.672 jemaah yang belum sempat diberangkatkan.
ADVERTISEMENT
Gelagat ini membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turun tangan. Satgas Waspada OJK pada tanggal 21 Juli 2017 memerintahkan First Travel Anugerah Kencana untuk menghentikan penjualan paket promonya. OJK berpendapat ada indikasi penghimpunan dana masyarakat secara ilegal.
Pada tanggal 3 Agustus 2017, Kementerian Agama mengikuti langkah OJK dengan mencabut izin biro perjalanan ibadah haji dan umroh First Travel Anugerah Kencana. Pencabutannya karena selain terdapat indikasi merugikan masyarakat, yakni menelantarkan jemaah, juga disebabkan praktik First Travel Anugerah Kencana bertentangan dengan ketentuan hukum.
Ketentuan Pasal 65 PP Nomor 79 Tahun 2012 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menegaskan bahwa, Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Haji dan Umrah dilarang menelantarkan jemaah umrah yang menyebabkan jemaah gagal berangkat ke Tanah Suci. Akan tetapi larangan itu tidak disikapi dengan baik oleh First Travel Anugerah Kencana.
ADVERTISEMENT
Media pun mulai mengangkat berita kegagalan First Travel Anugerah Kencana dalam mengelola biro perjalanan wisata religius ini.
Kasus First Travel Anugerah Kencana memasuki babak baru. Persoalan ini bergulir ke ranah hukum dan sepertinya tak terhindarkan lagi. Tak ditemukan upaya penyelesaian lain. Berdamai, melalui musyawarah semuanya menemui jalan buntu. Diawali dari proses penyidikan, penyelidikan sampai pada proses penuntutan dan pemeriksaan yang panjang di Pengadilan Negeri Depok dan berakhir dengan keputusan hakim pada tanggal 20 Mei 2018 di pengadilan itu.
Akhirnya PN Depok dalam amar putusannya menjatuhkan hukuman kepada Andika Surachman dengan Pidana Penjara 20 Tahun dan Annisa Hasibuan dijatuhi hukuman penjara 18 tahun. Keduanya juga dikenakan sanksi denda sebesar Rp.10 Miliar dan ditambah dengan semua aset yang dimiliki oleh First Travel Anugerah Kencana disita dan dirampas untuk negara.
ADVERTISEMENT
Alasan PN Depok memutuskan aset disita untuk negara karena, aset itu diperoleh First Travel Anugerah Kencana dari hasil kejahatan yang dilakukannya. Yakni kejahatan tindak pidana penipuan dan tindak pidana pencucian uang dengan merujuk ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP.
Kasus ini tidak berhenti sampai di situ. Proses peradilan berlanjut. Mulai dari Banding, Kasasi hingga memasuki upaya hukum terakhir Peninjauan Kembali seperti tampak pada tabel di bawah ini.
Barang bukti berupa aset yang bernilai ekonomi dikembalikan kepada nasabah korban First Travel.
Babak akhir dari proses hukum perkara ini ditutup dengan putusan Majelis Hakim Agung yang memeriksa perkara Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum terakhir. Majelis Hakim PK memutus perkara ini yang antara lain dalam amar putusannya menyatakan bahwa, barang bukti berupa aset yang bernilai ekonomi dikembalikan kepada nasabah korban First Travel. Keputusan lembaga yudikatif dengan upaya hukum terakhir ini tertuang dalam Putusan MA Nomor 365 PK/Pid.Sus/2022 tanggal 23 Mei 2022
ADVERTISEMENT
Meskipun putusan itu sudah berlangsung delapan bulan, akan tetapi Jaksa Penuntut Umum baru menerima petikan putusan perkara tersebut pada tanggal 7 Januari 2023 kemarin.
Putusan Hakim MA ini sebenarnya sesuai dengan tuntutan awal Jaksa, yakni agar barang bukti No.1 s/d 529 dikembalikan kepada Calon Jema’ah First Travel Anugerah Kencana dan melalui Pengurus Pengelola Aset Korban First Travel Anugerah Kencana untuk selanjutnya dibagikan secara proporsional dan merata kepada Calon Jemaah.
Kesulitan Untuk Menjalankan Amar Putusan PK
Memang dalam hukum ada asas res judicata pro veritate habetur, yakni asas yang bermakna bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar. Dianggap benar itu adalah frasa yang bukan memaksa, tapi frasa yang masih memungkinkan semua pihak untuk mengoreksinya. Untuk melihat kembali agar menemukan kebenaran yang hakiki.
ADVERTISEMENT
Pernah ada Yurisprudensi MA Nomor 41 K/Pdt/1990 tanggal 27 Februari 1992, yang menyatakan barang bukti dalam peristiwa pidana dirampas untuk negara lalu negara kemudian mengembalikan barang bukti tersebut kepada korban yang dirugikan atas peristiwa kejahatan itu.
Dalam kasus First Travel Anugerah Kencana terdapat banyak barang bukti yang bernilai ekonomi. Barang-barang itu antara lain mulai dari perhiasan emas, Giwang Berlian, cincin dengan batu Ruby Lady Dai, Ruby Coral Full, dan Cincin Safir Berlian, Liontin Blue Safir Permata Putih, Cincin Bross Rose Gold, Ikat Pinggang Hermes, lemari, Televisi Samsung sampai dengan Restoran di London.
Akan tetapi jikalau barang bukti itu dijual (dilelang), uang penjualannya dipastikan tak cukup untuk mengembalikan uang nasabah yang mencapai hampir 1 Triliun rupiah. Menurut penjelasan Luthfi Yazid terdapat 63.310 Jema’ah yang belum diberangkatkan. Jika diambil angka yang terkecil saja yakni Paket Promo maka jumlah uang yang harus dibayarkan kepada nasabah korban First Travel Anugerah Kencana adalah sebesar 63.310 Jemaah X Rp.14.300.000 = Rp.905.333.000.000. Persoalannya, apakah nilai jumlah aset yang hendak dijual itu setara dengan kewajiban yang hendak dibayarkan kepada nasabah korban First Travel Anugerah Kencana? Di sinilah letak persoalannya, sehingga para nasabah tak bisa berharap banyak. Kecuali negara hadir.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan Kehadiran Negara
Dapatkah negara diajak untuk ikut dalam penyelesaian ini? Jawabnya, “mestinya dapat”. Negara sebagai institusi tertinggi, sebagai pengemban amanah rakyat, melalui nafas “Melindungi Segenap Tumpah Darah Indonesia” sudah seharusnya mengambil langkah-langkah penyelesaian yang arif. Ini bukan persoalan hubungan warga negara dengan pengusaha biro perjalanan yang bersifat privat. Ini soal kewajiban konstitusi penyelenggara negara untuk melindungi warganya.
Ketika negara menerbitkan undang-undang dan melegalkan tindakan First Travel Anugerah Kencana untuk beroperasi dengan berbagai persyaratan yang disertai dengan izin dan kewajiban pembayaran pajak, dan lain-lain, maka negara sudah melibatkan dirinya secara langsung dan tidak langsung atas peristiwa itu.
Jika hari ini rakyat menderita, maka negara tak boleh berpangku tangan, apa lagi lepas tangan. Itulah sebabnya penyelesaian ini tak dapat diselesaikan hanya dari satu paradigma saja, yakni paradigma hukum.
ADVERTISEMENT
Untuk menyelesaikannya perlu menggunakan berbagai perspektif, mulai dari perspektif ekonomi, keamanan dan tak tertutup juga ditempuh penyelesaian secara politis. Yang disebut terakhir ini negara bisa mengambil kebijakan sebagai policy negara (pemerintah).
Seperti yang pernah dilakukan negara terhadap penanganan kasus Lapindo, Bank Century, PT. Brantas dan Jiwasraya yang melibatkan 13 Korporasi yang didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp.10 Triliun. Lapindo misalnya diselesaikan melalui policy pemerintah dengan menerbitkan Keppres No 13 Tahun 2006.
Di sinilah letak marwah negara yang sekaligus sebagai tanggung jawab negara dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Bahwa dengan tindakan itu negara akan mengalami kerugian. Ya, tapi satu yang perlu diingat, negara tidak sedang berbisnis dengan rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Ada kewajiban Konstitusional Negara, janji – yang sekaligus menjadi tujuan negara - yang dituangkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945, antara lain melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Janji itulah yang kemudian menjadi alasan kuat mengapa negara ini perlu didirikan.
Bahwa setelah itu nantinya negara akan mengejar semua Aset First Travel yang beralih dengan cara tak wajar, termasuk restoran yang ada di London. Serahkan tugas itu kepada badan penyelenggara negara yang memiliki kewenangan untuk itu. Jadi negara tidak hanya disibukkan mengutip pajak dari rakyat, tapi berikan juga haknya.
Yang harus dihindari negara hari ini adalah, jangan sampai negara kehilangan kepercayaan dari rakyatnya. Jangan sampai negara memperoleh pemasukan uang dari peristiwa kejahatan di mana kejahatan itu sedikitpun tidak merugikan keuangan negara. Seperti pada kasus Indra “Binomo” Kenz, mungkin juga kasus ikutan perkara Ferdy Sambo dkk, kasus Ismail Bolong terkait tambang batu bara di Kaltim, dan lain-lain. Intinya negara tak boleh memperoleh keuntungan dari peristiwa kejahatan.
ADVERTISEMENT
OK.Saidin
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara