Konten dari Pengguna

Tamak

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
20 Agustus 2021 10:52 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jebakan uang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jebakan uang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kagel—salju tipis bersama butiran es kecil-yang sejak pagi turun baru saja berhenti ketika Bahlul melangkah dari kapal penumpang mendarat menelusuri Laut Marmara tiba di Pelabuhan Bursa. Bursa adalah pusat perbelanjaan di Turki seperti Bazaar di Istanbul. Jarak kota ini dari Istanbul jika ditempuh melalui jalan darat akan memakan waktu 8 sampai 9 jam perjalanan. Tapi melalui kapal penumpang jarak tempuh lebih kurang 50 menit kita sudah bisa menginjakkan kaki di Bursa. Turki saat ini mulai memasuki musim dingin. Bunga Lale (tulip), Zakkum (Oleander), Gunluk Agasi (Sweetgum), Sari Kantaron St.John's Wort), Deve Dikeni (Milk Thistle), Safran (Saffron), Salep (Wild Orchids), Gul (Roses), bersama 900 spesies bunga-bunga yang bulan lalu menghiasi taman-taman kota dan perbukitan di Turki, tampak mulai kuncup. Dedaunan yang tadinya berwarna hijau, kini mulai menguning kemerah-merahan. Suhu udara mulai turun dua derajat setiap harinya. Saat itulah Bahlul mengunjungi sahabatnya Emin Gunay yang tinggal di kota ini.
ADVERTISEMENT
"Bagaimana kabarmu sekarang Emin?", Bahlul memulai perbincangannya. Hamba prihatin membaca beritamu di media, bahwa Engkau dicederai dalam perebutan Ketua Dewan Kota pada pilihan raya pekan lalu. Sebagai sahabat hamba hanya ingin melihat kondisi kesehatan dan keluargamu. Karena hamba tak pernah menduga bahwa Engkau akan kalah dalam pertarungan itu. Reputasi dan semua atribut yang melekat pada dirimu rasa-rasanya tak mungkin Engkau akan tersingkir dalam perebutan kekuasaan itu. Lagi pula selama bertahun-tahun Engkau meniti karir dari bawah. Engkau tak pernah cacat dalam menjalankan tugas-tugas jabatan. Jabatanmu terakhir sebagai Sekretaris Dewan Kota sudah teramat pantas, Engkaulah yang paling tempat untuk menggantikan jabatan itu. Hamba sebenarnya tak ingin banyak tahu tentang seluk beluk perpolitikan hingga Engkau tersingkir dalam pertarungan itu, sahabatku. Tapi hati dan perasaan hamba belum tenang kalau tak mendengar jawaban kangsung darimu, wahai sahabatku."
ADVERTISEMENT
"Bahlul sahabatku'', ucap Emin sambil menatap wajah sahabat lamanya itu. Ini semua salah hamba Bahlul. Salah, karena tak sepatutnya hamba mencalonkan diri untuk jabatan itu di tengah-tengah demokrasi kita yang tumbuh dan bergerak ke arah liberal. Demokrasi liberal ini kerap kali membuka peluang terciptanya politik transaksional dan money politics, Bahlul. Di sinilah kesalahan hamba. Pesaing hamba "bermain" dengan energi yang penuh. Semua peluang diberi hitung-hitungan yang ujung-ujungnya diberi nilai ekonomis. Mereka melakukan apa saja, bahkan dengan cara-cara yang tidak halal. Engkau tahu Bahlul, hamba dan tim sukses hamba tak mungkin melakukan cara-cara itu, meskipun hamba sudah mencium gelagat itu sejak awal pencalolan hamba. Tim sukses hamba tak mau merusak pendirian hamba, sebab hamba selalu katakan, untuk pekerjaan yang mulia yang merupakan amanah rakyat, kita harus mendapatkannya dengan cara yang benar. Tapi Engkau tak usah gelisah dan bersedih Bahlul, batin hamba sekarang ini jauh lebih tenteram dan damai. Mungkin ini lah hadiah yang terbaik yang diberikan Sang Khalik di usia hamba yang semakin senja. Kini hamba lebih banyak bisa menjalankan ibadah sunnah dan dapat lebih lama berkumpul dengan keluarga, yang dulu tak pernah bisa hamba dapatkan."
ADVERTISEMENT
"Syukurlah kalau begitu Emin", sambung Bahlul.
"Tapi hamba juga mendengar, tentang Engkau Bahlul", lanjut Emin. Engkau tak lagi dilibatkan dalam berbagai kegiatan di tempatmu."
"Ya, begitulah dunia, Emin", Bahlul menyambung pembicaraan. Wajah Bahlul mendadak muram.
Memanglah, selama ini tetua kampung sering memanggil Bahlul untuk berbagai pekerjaan, termasuk pekerjaan yang tidak penting sekalipun. Tapi kali ini dalam pesta demokrasi pekan lalu, Bahlul tak lagi dilibatkan. Padahal Bahlul sangat berharap, dengan pekerjaan itu ia dapat memperpanjang kepulan asap di dapurnya. Selidik punya selidik, rupa-rupanya ada yang menyebarkan fitnah. Bahlul yang selalu bekerja dengan ikhlas dan tak pandai berpolitik itu, rupa-rupanya dianggap sebagai ancaman oleh Tursun Sadelik untuk mencapai tujuannya. Tursun memang generasi ketiga dari kakeknya yang sangat berpengaruh dalam percaturan politik lokal. Ambisi pribadinya untuk meneruskan silsilah kekuasaan di kota itu membuat ia selalu gelap mata akan kebenaran. Sehingga orang seperti Bahlul yang relatif lugu dan tak pandai berpolitik ikut tersingkir.
ADVERTISEMENT
"Engkau tak usah gelisah Bahlul,” sambung Emin. "Hewan itu berkumpul dengan sesama jenisnya. Katak berkumpul dengan katak. Serigala dengan serigala. Kucing dengan kucing, bahkan ikanpun walau sesama ikan ia akan berkumpul dengan sesama jenisnya. Begitulah Bahlul, orang baik-baik akan dipertemukan dengan orang yang baik-baik pula. Pejuang akan berkumpul dengan sesama pejuang. Pendusta dipertemukan dengan para pendusta. Orang yang suka bergunjing akan dipertemukan dengan para penggunjing. Penyebar fitnah akan ditemukan dengan para penyebar fitnah. Orang munafik akan dikelilingi oleh sahabatnya yang munafik pula. Orang yang berilmu akan disatukan pemikiran dan jiwanya dengan orang-orang yang berilmu. Engkau pernah mendengar pepatah Hindi Bahlul, "Panee, pane hai, tel, tel hai, yeh mishran nahin sakate". Minyak tetaplah minyak dan air tetaplah air, keduanya tak mungkin bercampur. Minyak tak mungkin bisa menyatu dengan air, Bahlul. Karena itu tak perlu Engkau sulitkan dirimu untuk mengenal orang-orang yang ada di sekitarmu. Cukup Engkau lihat saja dengan siapa dia paling banyak menghabiskan waktunya." Dengan siapa dia paling bayak berkumpul, berdiskusi, bertukar pikiran dan menghabiskan hari-harinya. Tak mungkin para pecundang berdiskusi dengan para ulama, Bahlul. Kecuali ulamanya, ulama pecundang. Banyak orang yang cerdas Bahlul, tapi tidak amanah. Tapi banyak juga orang yang amanah, walaupun ia tidak cerdas. Lebih baik kita menjadi orang yang amanah, walaupun kita tidak cerdas. Tapi yang lebih baik lagi menjadi orang cerdas dan amanah".
ADVERTISEMENT
Bahlul kini melihat dalam diri sahabatnya Emin, semakin banyak kearifan. Perbincangan Bahlul dan Emin sangat singkat, karena begitu kebiasaan orang-orang Turki tak ingin membuang-buang waktu untuk pembicaraan yang tak berguna, apalagi bergunjing. Bahlul mengangkat gelas hirupan terkahir chai (teh Turki) yang dicampur daun neknak (mint), sajian isteri sahabatnya Emin, seraya ingin berpamitan. "Terima kasih banyak sahabatku, tetaplah dalam limpahan rahmatNya, terima kasih sudah menerima kehadiran hamba", demikian kalimat akhir Bahlul. "Sama-sama Bahlul. Salam,” sambung Emin. Bahlul meletakkan tangan kanannya di dadanya seraya melangkah kembali pulang.
Kagel turun lagi. Bahlul mengembangkan payungnya menaiki tangga kapal penumpang yang akan menyeberangkannya ke Istanbul. Keheningan Laut Marmara membuat Bahlul terhanyut dan merenung. Merenungi nasib sahabatnya dan nasibnya sendiri di tengah-tengah hiruk pikuk pasca pilihan raya. Kehidupan ekonomi semakin terhimpit di tengah-tengah menyeruaknya sistem ekonomi kapitalis. Orang-orang kaya semakin kaya, jumlah penduduk miskin semakin bertambah banyak. Keterpurukan ekonomi semakin terasa, apalagi untuk kaum dhu'afa mustadh'afin. Di kendaraan umum, di pinggir jalanan kota dan di bazaar-bazaar, serta tempat-tempat keramaian semakin banyak dipenuhi kaum peminta-peminta.
ADVERTISEMENT
Bahlul sudah tiba di Istanbul. Mengarah jalan pulang ia menyempatkan dirinya bersilaturahmi dengan Syekh Soramettin. Dengan Syekh Sora ia menceritakan semua yang dialaminya selama pelaksanaan Pemilihan Raya dan bercerita juga tentang sahabatnya Emin dan dirinya.
"Cempaka mekar di pagi hari,
Harumnya sampai di batas kota
Pertanda apakah yang telah terjadi,
Apakah usia bumi sudah menua?"
"Sulit mencari orang amanah,
Seperti merambah hutan berduri,
Apakah tak ada penunjuk arah,
Untuk manusia bisa kembali.
Demikian Bahlul, memulai perbincangannya dengan Syekh Sora.
"Bahlul, Bahlul. Tak ada satupun tata cara manusia untuk berperilaku yang tidak ada aturannya dari Sang Khalik. Akan tetapi semua yang Engkau ceritakan dan yang Engkau tanyakan ini bukan pada soal keberadaan aturan. Ini persoalan pelaksanaan aturan dan pilihan manusia itu sendiri untuk menyimpang dari aturan. NIlai-nilai budaya kita sudah jauh bergeser, Bahlul. Ke'arifan lokal dipandang sebagai perbuatan yang berlawanan dengan prisip-prinsip modernisasi. Perbuatan baik dan benar saja, sekarang ini dipandang tidak cukup, Bahlul. Kalau tidak diimbangi dengan perbuatan culas dan licik. Ini yang membuat manusia kemudian memakai pakaian Sang Khalik. Manusia menjadi sombong, angkuh dan ambisius. Melawan kemurkaan manusia atas manusia, hukumnya wajib Bahlul. Kalau Engkau tak bisa menggunakan tanganmu, Engkau dapat menggunakan lisanmu, tapi kalau itupun tak bisa Engkau lakukan, Engkau boleh meminta kepada Sang Khalik melalui do'a-do'amu. Tetapi yang disebut terakhir ini hanya untuk orang-orang yang lemah imannya. Kita sekarang sedang hidup ditengah-tengah kemunafikan yang meraja lela. Setiap hari kita berhadapan dengan para musang-musang yang berbulu domba, bahkan berbulu ayam.
ADVERTISEMENT
Mengenai nasib sahabatmu Emin, Engkau harus menjadikan itu sebagai iktibar. Engkau pun dapat membaca sejarah Perang Uhud. Ini adalah perang kedua yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum Quraisy. Terjadi pada tahun ke-3 Hijriah atau 625 Masehi. Perang Uhud tak dapat dilepaskan dengan peristiwa kekalahan Kaum Quraisy pada Perang Badar yang berlangsung pada tahun sebelumnya. Di samping keinginan Abu Sufyan dan Hindun yang ingin balas dendam, perang itu juga dilatarbelakangi kecemburuan Kaum Quraisy terhadap semakin meluasnya pengaruh ajaran Islam yang dibawa oleh Kekasih Sang Khalik di Madinah. Dalam perang Uhud ternyata kaum muslimin kalah. Mengapa bisa kalah Bahlul? Di samping karena ketidak patuhan kepada arahan Kekasih Sang Khalik, juga karena munculnya sifat tamak atau rakus yang menghinggapi hati pasukan kaum muslimin. Sifat tamak itu telah merasuki kaum muslimin, hingga tak berhenti mengutipi harta-harta seperti memetik jamur yang bertebaran, di kaki gunung Uhud, hingga mereka meninggalkan titik-titik strategis yang perlu dikuasai dalam perang itu. Pasukan Abu Sufyan berhasil dalam siasahnya dan memanfaatkan keadaan itu. Pasukannya memutar dari balik bukit Uhud dan menyergap pasukan kaum muslimin. Terjadi pertempuran besar-besaran. Kaum Quraisy menguasai medan tempur. Hamzah paman Kekasih Sang Khalik, gugur sebagai syuhada. Dadanya terkoyak dan Hindun istri Abu Sufyan memakan hatinya, melampiaskan dendamnya. Sang Khalik ingin mencatatkan pelajaran kepada manusia. Perang itu peristiwa nyata, jika salah dalam strategi, akan kalah. Jika salah mengayunkan pedang, akan terluka. Lihatlah bagaimana wajah Kekasih Sang Khalik juga terluka dalam perang itu. Sang Khalik hendak mengajarkan harus digunakan siasah yang benar, dan belajar dengan baik tata cara mengayunkan pedang. Sang Khalik juga hendak mengajarkan, jangan sampai kita sendiri masuk terjerembab ke dalam lubang yang kita gali sendiri seperti pada peristiwa Perang Uhud itu. Dan pelajaran yang paling berharga yang hendak diajarkan Sang Khalik adalah, menghilangkan sifat tamak atau rakus, jika manusia ingin mendapatkan kemanangan yang hakiki dan abadi. Kemenangan di mata manusia dan kemenangan di mata Sang Khalik. Jika Engkau sebagai manusia ingin mengambil semua, ingin mengambil hak-hak orang lain yang sebenarnya bukan hakmu, maka tunggulah kehancuran yang akan menghampirimu. Orang-orang tamak hendaklah kamu pisahkan dengan orang-orang yang amanah. Dalam peperangan dan menjalankan kekuasaan apa saja, manusia harus diberikan pekerjaan dan jabatan sesuai dengan keahliannya. Jika suatu pekerjaan Engkau serahkan kepada yang tidak ahlinya, maka sesungguhnya Engkau sedang menunggu kedatangan hari kehancuran. Janji Sang Khalik selalu tepat, Bahlul. Kekuasaan itu tidak abadi, Bahlul. Kepemimpinan selalu dipergantikan. Memang di tengah-tengah rakyat yang zalim Sang Khalik akan mengirim pemimpin yang dzalim. Jadi benar kata sahabatmu Emin, orang dzalim akan dipertemukan dengan orang dzalim. Mereka akan berkumpul dengan sesama jenisnya."
ADVERTISEMENT
Bahlul mengangguk-anggukan kepalanya, pertanda banyak sekali pelajaran yang ia dapatkan hari ini. Matahari mulai memacarkan bayangan merahnya di atas selat Bosporus di bahagian Barat, Laut Marmara. Mengisyaratkan ia harus pulang meninggalkan rumah Syekh Sora. Seraya meletakkan tangan kanannya di dadanya, Bahlul membungkuk;
"Bertolak biduk menuju Cilacap,
Penuh muatan buah semangka,
Tak ada kata yang dapat terucap,
Kecuali Syukur hamba kepada Pencipta."
Ayunan langkah Bahlul tampak perlahan-lahan menghilang di celah-celah keramaian kota Istanbul.