Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Warkop DKI vs Warkopi
7 Oktober 2021 22:00 WIB
·
waktu baca 14 menitTulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Awal Perseteruan
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu belakangan ini dunia hiburan Indonesia disibukkan dengan perbincangan kehadiran Grup Lawak Warkopi yang mengadopsi model atau patron yang dikembangkan oleh Warkop DKI. Kehadiran Warkopi seolah-olah telah memenuhi kerinduan warga masyarakat akan sosok Warkop DKI yang hadir di era 1970-an. Kehadiran Warkop DKI sebelumnya dikenal juga Warkop Prambors yang pada zamannya menjadi media hiburan masyarakat ketika itu.
ADVERTISEMENT
Masalahnya kemudian menyeruak, ketika Warkop DKI mempersoalkan secara moral, etika bahkan secara hukum tentang kehadiran Grup Warkopi yang "meniru" tampilan mereka. Tidak itu saja Warkopi juga menggunakan nama grup yang mirip dengan nama grup mereka. Bahkan penampilan tokoh-tokohnya juga menirukan gaya serta tampilan Grup Warkop DKI. Warkopi juga menggunakan mama-nama yang sama dengan nama tokoh dalam Grup Warkop DKI.
Ada masyarakat yang mendukung, alasannya ini untuk menumbuhkan kreativitas anak-anak bangsa. Tapi ada juga yang kontra, karena tindakan itu melanggar hak-hak orang lain yang justru mematikan kreativitas anak bangsa, jika pelanggaran hak-hak dibiarkan bebas dan hukum tidak ditegakkan. Ada anggapan Grup Warkopi "membonceng" ketenaran Grup Warkop DKI. Inilah awal perseteruannya.
Sedikit Sejarah Kehadiran Warkop DKI
Awalnya grup lawak ini bernama Warkop Prambors beranggotakan lima orang yakni; Dono, Kasino, Indro, Nanu Mulyono, dan Rudi Badil (www.suara.com, 4 Oktober 2021). Tapi akhirnya dikenal menjadi Trio DKI ketika grup itu menyisakan tiga nama yakni Dono, Kasino dan Indro, setelah Nanu meninggal dan Rudy Badil sejak awal sudah memilih untuk tidak bergabung.
ADVERTISEMENT
Mulanya, di tahun 1970-an Radio Prambors–Radio Universitas Indonesia-menggelar acara "Obrolan Santai di Warung Kopi" pada setiap hari Jumat pada Pukul 20.30 sampai 21.15 WIB.
Dono, Kasino, Nanu Mulyono, dan Rudi Badil ketika itu mahasiswa UI dan Dono Mahasiswa Universitas Pancasila. Ide awalnya ketika dedengkot Radio Prambors Temmy Lesanpura meminta Hariman Siregar, tokoh mahasiswa yang duduk di Dewan Mahasiswa UI ketika itu untuk mengisi acara di Prambors. Akan tetapi Hariman Siregar kemudian menunjuk Kasino dan Nanu yang mereka kenal di kalangan teman kampusnya sebagai pelawak. Ide itupun didukung oleh Kasino, Nanu, dan Rudy Badil lalu belakangan menyusul Dono dan Indro (https://warkopdki.fandom.com/id/wiki/Sejarah_Berdirinya_warkop_DKI).
Indro ketika mulai bergabung masih duduk di bangku SMA. Rudy Badil kemudian memilih tak ikut bergabung karena "demam panggung" jika tampil live di panggung terbuka. Pertama mereka tampil live pada tahun 1976 saat pesta perpisahan murid SMP IX di Hotel Indonesia. Walaupun tak terbilang sukses–karena semua mereka gemetar dan menggigil–begitupun mereka mendapat honor Rp 20.000 (dua puluh ribu rupiah). Honor pertama kalinya.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan berikutnya, pada Acara Terminal Musikal asuhan Mus Mualim, Grup Warkop Prambors tampil pada acara itu. Sejak itu, Grup Warkop Prambors tampil sebagai bintang baru dalam dunia lawak Indonesia. Ada juga grup yang mengorbit bersamaan dengan Grup Warkop yakni Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Sejak itu nama grup lawak ini mulai melejit. Honor mereka per sekali tampil sudah mencapai Rp 1000.000 (satu juta rupiah). Waktu itu mereka berempat. Honor dibagi empat. Jadilah masing-masing mereka mendapat bagian Rp 250.000 (dua ratus ribu rupiah) per orang (https://warkopdki.fandom.com/id/wiki/Sejarah_Berdirinya_warkop_DKI).
Sebagai grup lawak yang terpelajar lawakan mereka memiliki ciri tersendiri, jika dibandingkan dengan grup lawak lainnya. Debut mereka semakin dikenal setelah mereka mulai merambah ke dunia sinematografi. Rezeki mereka pun banjir. Mereka mendapat bayaran Rp 15.000.000 (lima juta rupiah) untuk satu film. Jumlah bayaran yang cukup tinggi di era 1980-an. Mereka pun merekrut Tubagus Dedi Gumelar yang dikenal dengan nama Miing Bagito–yang kemudian juga sukses di dunia lawak-untuk membantu mereka mencari materi-materi yang aktual.
ADVERTISEMENT
Nama Warkop-DKI sendiri mereka perkenalkan sebagai upaya mereka untuk menghentikan pembayaran royalty kepada Radio Prambors karena menggunakan nama mereka. Perubahan nama itu menjadi Warkop DKI menjadikan mereka sebagai subyek hukum yang berdiri sendiri. DKI sendiri adalah singkatan dari nama Dono, Kasino, dan Indro yang juga dikenal sebagai singkatan dari Daerah Khusus Ibu kota. Jadi klop, singkatan nama mereka dipadukan dengan singkatan nama ibu kota. Genius dan kreatif. Ketika nama grup lawak itu didaftar sebagai Merek pada tahun 1980-an di Kantor Pencatatan Merek waktu itu–sekarang di bawah Dijten KI Kemenkuham-maka secara resmi nama itu melekat sebagai merek yang dimiliki oleh Grup Lawak Warkop DKI.
Kemunculan Grup Warkopi
Berbeda dengan kemunculan Warkop DKI, kemunculan Warkopi memang didesain sejak awal. Ketiga mereka Alfred, Alfin Dwi Krisnadi, dan Sepriadi semula tak saling mengenal. Manajemenlah yang mempertemukan mereka. Kemiripan wajah-wajah mereka dengan personel Warkop DKI bukan muncul secara kebetulan. Diduga kuat itu sengaja dirancang oleh manajemen. Inspirasinya tentu diawali dari kesuksesan Grup Warkop DKI. Dugaan itu semakin sempurna ketika grup lawak itu menamakan dirinya Warkopi. Tampilan mereka di media televisi dan media YouTube juga menggunakan nama Dono, Kasino, dan Indro. Padahal mereka belum pernah mendapat izin dari pemilik Grup Warkop DKI dan pemilik nama atau ahli waris dari nama-nama yang mereka gunakan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya pihak Warkop DKI memberi peringatan keras, melalui konferensi pers virtual yang mereka sampaikan pada Rabu 6 Oktober 2021. Mereka diberi batas waktu 7 (tujuh) hari untuk tidak lagi menggunakan nama "warkopi". Alasannya nama itu memiliki kemiripan dengan nama Warkop DKI, hanya benambahkan huruf "i" saja di depan kata "warkop".
Perspektif Hukum Hak Kekayaan Intelektual
Ada dua rezim hukum yang terlanggar dalam kasus ini. Pertama, rezim hukum hak cipta yang diatur dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UHC 28/14) yang kedua, rezim hukum merek yang diatur dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2020 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UUM-IG/16/20).
Hak cipta meliputi hak cipta (copyright) dan hak yang terkait dengan hak cipta (neighbouring right). Untuk kedua hak itu terdapat hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights).
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam lapangan hukum merek yang terlanggar dalam kasus ini adalah menggunakan nama "Warkopi" yang memiliki lebih dari 90 % kemiripan dengan nama "Warkop DKI". Atau dalam istilah undang-undang merek memiliki kesamaan pada pokoknya dengan merek milik orang lain yang terdaftar.
Pelanggaran Hak Cipta
Hak cipta membatasi pelindungannya–pelindungan bukan perlindungan tanpa huruf "r"–pada tiga bidang ciptaan yaitu bidang ilmu pengetahuan, bidang seni dan bidang sastra yang rincian meliputi 19 item (lihat ketentuan Pasal 40 UHC 28/14). Dalam konteks kasus ini yang tampak terkena sentuhan pelanggaran adalah; karya lagu atau musik dengan atau tanpa teks, karya koreografi, karya sinematografi, aransemen, modifikasi, dan karya lain dari hasil transformasi, Termasuk naskah drama atau naskah yang kemudian dituangkan dalam bentuk karya sinematografi, novel, puisi, prosa, cerpen, dan lain-lain yang masuk dalam lingkup karya tulis.
ADVERTISEMENT
Terkait sistem pelidungannya, hak cipta menganut sistem pendaftaran dekleratif. Artinya ciptaannya itu tak perlu didaftar untuk kemunculan haknya. Hak itu akan melekat dengan sendirinya secara otomatis kepada diri pencipta pada saat ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk nyata. Ketika Warkop DKI tampil secara life atau dalam bentuk karya sinematografi atau drama yang berisikan lawakan, maka hak itu telah timbul. Yang dilindungi adalah haknya (rechten), bukan bendanya (goederen) seperti buku, novel, kepingan VCD atau DVD. Hak yang dilindungi itu bersifat immataerril, intangible atau benda tidak berwujud yang bernilai ekonomis-dan juga mengandung nilai moral- yang dapat menjadi objek harta atau hak kekayaan (vermogen rechts).
Hak ekonomi itu dilindungi sebagai harta kekayaan dan jika dilanggar oleh orang lain maka akan menerbitkan hak kepada penciptanya atau pemegang hak cipta untuk mempertahankan haknya. Hak ekonomi pencipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang dalam kasus ini meliputi; penggandaan hak cipta dalam segala bentuknya, pengadaptasian, pengaransemenan, pentransformasian, pendistribusian salinannya dan pertunjukan ciptaan (vide Pasal 9 UUHC 28/14). Sedangkan untuk hak moral yaitu hak yang melekat secara pribadi pada diri pencipta. Dalam kasus ini berupa mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi, ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.
ADVERTISEMENT
Wujud mempertahankan hak ekonomi dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar sidang pengadilan atau melalui gugatan ganti rugi atas pelanggaran itu yang dapat diajukan ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri di tempat peristiwa hukum itu terjadi atau di tempat kediaman Penggugat atau Tergugat. Gugatan yang diajukan termasuk pada kualifikasi Perbuatan Melawan Hukum (onrechtsmatigedaad), bukan wanprestasi.
Demikian juga untuk hak ekonomi pemegang hak terkait, yang meliputi; hak moral Pelaku Pertunjukan, hak ekonomi Pelaku Pertunjukan, hak ekonomi Produser Fonogram, hak ekonomi Lembaga Penyiaran. Hak Pelaku Pertunjukan dalam kasus ini dapat diperluas cakupan pengertian tentang performers yang tidak hanya terbatas pada karya-karya Warkop DKI yang pernah ditampilkan dalam berbagai pertunjukkan, tetapi juga ketika pertunjukan itu difiksasikan dalam bentuk perekaman suara dan perekaman gambar yang keduanya dapat dilihat dan didengar, digandakan atau dikomunikasikan melalui berbagai perangkat.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini hak produser rekaman suara juga harus diperhatikan. Karya Warkop DKI, tidak hanya terbatas pada tampilan dalam bentuk karya sinematografi, tapi juga melibatkan produser rekaman suara yang mungkin di dalamnya terdapat karya musik atau lagu. Misalnya lagu "Nongkrong di Warung Kopi". Jika lagu itu kemudian mau digunakan oleh pihak lain hak itu dapat diperoleh atas persetujuan pencipta atau orang yang menerima hak dari pencipta. Persetujuan itu dapat berupa lisensi. Kalau produser rekaman suara mendapat izin untuk melakukan kegiatan perekaman suara dan kepadanya diberi izin untuk memperbanyak, hak semacam itu dalam ketentuan hukum hak cipta dilindungi sebagai hak cipta. Produser rekaman suara dalam hal ini kapasitasnya sebagai penerima hak dari pencipta. Akan tetapi ketika produser rekaman suara atau produser karya sinematografi memfiksasikan karya itu, maka ia juga sekaligus menjadi subyek hak terkait. Bagaimanapun juga teknik menampilkan gambar dan suara adalah teknik-teknik yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian tentang itu.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya terkait dengan hak lembaga siaran yang muncul akibat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Kemajuan dalam bidang ini menyebabkan arus berita dapat berjalan sangat cepat, sehingga mampu “meniadakan” jarak ruang dan waktu antara dua tempat di muka bumi dan bahkan antara bumi dengan ruang angkasa. Berbagai produk teknologi komunikasi dan informasi, termasuk di dalamnya media radio memiliki ciri khas yaitu menjanjikan kecepatan, ketepatan, kepraktisan dalam penyajian program siaran. Proses penyelenggaraan siaran radio atau televisi merupakan proses yang panjang dan rumit, namun dituntut untuk tetap berjalan di atas landasan pola pikir dan tindakan yang cepat, dinamis, praktis, tepat dan berkualitas.
Ini dapat dicapai dengan dukungan teknologi komunikasi dan informasi. Siaran radio dan televisi saat ini dapat berlangsung 24 jam untuk setiap harinya, jadi tidak ada waktu yang kosong. Tak ada hari tanpa siaran. Karya-karya Warkop DKI yang disiarkan pada berbagai media radio dan televisi memberikan hak ekonomi kepada lembaga tersebut. Bayangkan jika siaran langsung Warkop DKI di salah satu stasiun televisi kemudian direkam oleh seseorang dan keesokan harinya sudah masuk ke chanel media sosial berbayar tanpa izin dari lembaga penyiaran tersebut, hal ini tentu termasuk dalam kategori pelanggaran terhadap hak ekonomi pemegang hak cipta dan hak terkait. Tetapi tidak hanya terbatas pada hak ekonomi saja, pelanggaran itu bisa juga masuk pada kualifikasi pelanggaran hak moral.
ADVERTISEMENT
Adapun hak moral (moral rights) yang dimiliki oleh lembaga siaran meliputi; Pertama, hak dari seorang performer untuk disebutkan namanya dalam kaitannya dengan pertunjukan mereka dan hak untuk menuntut kerugian yang ditimbulkan akibat dari pertunjukan mereka. Kedua, Exclusive Rights, dalam hal reproduksi, distribusi, rental dan rekaman suara secara on‑line (on‑line availability of sound recording) terhadap pertunjukan mereka. Ketiga, hak untuk memperoleh pembayaran yang wajar dari siaran dan komunikasi kepada khalayak dari penayangan ulang siaran mereka.
Bila diamati dan diperhatikan masalah moral rights atau hak moral kita segera akan mengetahui bahwa hak moral merupakan hak dasar yang dimiliki oleh performers (artis, penyanyi, pemusik dan orang‑orang yang berlakon, berpidato, mendeklarasikan, memainkan maupun menampilkan karya seni dan kesusastraan dan cerita rakyat untuk disebutkan namanya. Dalam menampilkan sebuah lagu di radio atau televisi, penyiar radio wajib menyebutkan nama penyanyi dan penciptanya begitu juga musisinya.
ADVERTISEMENT
Performers atau pemegang hak tampilan mempunyai hak untuk mendapatkan pembayaran yang wajar dari hasil siaran yang dilakukan oleh lembaga‑lembaga penyiaran. Penulis merasa hal ini merupakan hal yang wajar saja, karena lembaga siaran ini mendapatkan keuntungan atau fee dari produsen‑produsen produk yang ditawarkan di radio atau televisi tersebut dalam bentuk iklan. Jadi sebenarnya radio dan televisi maupun lembaga penyiaran lainnya telah memperoleh keuntungan juga. Jadi wajar saja kalau mereka juga harus membayar kembali kepada performers dalam bentuk royalti. Inilah wujud dari property rights yang dimiliki oleh performers.
Pembayaran royalti adalah merupakan salah satu bentuk implementasi adanya pengakuan atas hak cipta secara umum dan secara khusus pengakuan hak atas neighboring rights di kalangan lembaga penyiaran. Hal ini juga tak lain adalah sebagai konsekuensi logis akibat ratifikasi Marakesh Convention 1994 dan instrument ikutannya seperti TRIPs Agreement oleh Pemerintah Indonesia. Di samping itu Indonesia juga sebagai salah satu peserta penandatangan Konvensi Roma 1961yang di dalamnya mengatur ketentuan tentang masalah neighbouring rights. Bagi khalayak pemirsa siaran, yang diperhatikan hanyalah siaran. Khalayak tidak mau tahu liku‑liku penyelenggaraan siaran. Bagi khalayak hanya ada satu sikap, yaitu “siaran harus baik” dan mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka tentang informasi dan hiburan.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran Merek
Menggunakan merek terdaftar milik orang lain adalah salah satu bentuk pelanggaran hukum merek. Ketentuan itu diatur dalam pasal Pasal 21 Ayat (1) butir a UUM-IG 16/20 yang berbunyi; Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis, menunjukkan bahwa sistem pendaftaran Merek yang dianut UU Merek Indonesia adalah “first to file”. Hanya pendaftar pertama yang mendapat pelindungan hukum. Jika merek itu sudah didaftarkan lebih dulu oleh pihak lain, maka pendaftaran untuk merek yang sama akan ditolak.
Persamaan pada keseluruhan dapat kita pahami, bahwa tanda pembeda yang dipakai sebagai merek adalah memiliki kesamaan secara keseluruhan. Misalnya Merek Warkop ditiru secara keseluruhan. Sedangkan persamaan pada pokoknya, merek itu memiliki persamaan atau kemiripan meskipun tidak seratus persen. Misalnya ada kesamaan sampai dengan 80 %. Misalnya "warkop" dengan "warkopi" atau "carcil" dengan "carvil". Konsumen bisa terpengaruh atau bias serta bingung (confusing) dan mengira bahwa produk itu adalah produk yang sama dengan merek yang sudah akrab dengan yang mereka ketahui untuk produk yang sama.
ADVERTISEMENT
Apalagi bentuk tampilannya sama seperti Merek Re-type dengan Tip-Ex, karena didominasi oleh warna yang sama. Oleh karena merek digunakan sebagai tanda pembeda, maka penggunaannya untuk produk atau barang dan jasa harus dengan iktikad baik. Tak boleh ada unsur mendompleng (passing off) yang dapat merugikan atau mencari keuntungan sepihak dari popularitas merek orang lain.
Khusus untuk merek "Warkopi" dengan "Warkop DKI" jelas memiliki persamaan pada pokoknya. Apalagi kemudian Grup Warkopi tampil dengan desain pakaian, kaca mata, tata rambut dan lain sebagainya meniru Warkop DKI. Jadi yang dilanggar bukan hanya sekadar Merek dalam bentuk tanda pembeda tetapi merek dalam bentuk dimensi yang lain.
Kalau untuk produk barang sudah ada Merek 3 (tiga) dimensi, seperti pada Merek "Coca Cola" dengan botol yang ramping. Di Belanda bahkan dalam undang-undang mereknya sudah mengatur tentang merek aroma. Aroma terhadap produk kopi atau parfum tak boleh sama dengan produk parfum yang lain. Tapi untuk merek dalam produk jasa belum ada yang berbentuk 3 (tiga) dimensi.
ADVERTISEMENT
Kasus Warkop DKI versus Warkopi, tampaknya pantas juga dijadikan pembelajaran bahwa perlu juga mengatur tentang merek dengan dimensi-dimensi yang lain untuk produk jasa. Dimensi tentang cara berpakaian, cara berpenampilan, atau model gaya rambut atau cara berbicara dapat digunakan sebagai tanda pembeda untuk produk jasa. Sebut saja misalnya pakaian yang digunakan oleh pramugari Garuda dengan Lion Air dalam bidang jasa penerbangan adalah salah satu contoh yang menunjukkan adanya satu kesatuan antara merek jasa penerbangan itu dengan pakaian yang digunakan oleh pramugarinya.
Penutup
Kasus Warkop DKI versus Warkopi harus memberi kesadaran kepada kita bahwa mengambil hak immaterial (hak kekayaan intelektual) milik orang lain walaupun tak tampak, sama halnya dengan mengambil barang milik orang lain. Jadi tidak hanya membobol bank atau pencurian mobil yang dianggap sebagai kejahatan terhadap harta kekayaan, akan tetapi mengambil hak cipta dan hak merek milik orang lain adalah sebuah kejahatan terhadap harta kekayaan.
ADVERTISEMENT
Tindakan mendompleng atau menumpang popularitas merek orang lain, selain melanggar hukum, etika, moral bahkan nilai-nilai religius, akan tetapi juga merupakan tindakan yang tidak terpuji. Tindakan itu justru dapat mematikan kreativitas, karena jika dibiarkan atau tidak ada tindakan hukum, orang-orang tak tertarik lagi untuk berkreasi. Jadilah diri sendiri, orisinalitas dalam sebuah karya intelektual justru akan menciptakan percaya diri bagi sang kreator dan dari sana para kreator akan menemukan jati dirinya untuk kemudian memulai membangun peradaban bangsa yang gemilang dan lebih santun.