Mengenang Empat Sehat Lima Sempurna

OK. Video
OK.VIDEO adalah festival seni media Indonesia yang diselenggarakan dua tahun sekali. Kunjungi website kami okvideofestival.org
Konten dari Pengguna
3 Juli 2017 14:44 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari OK. Video tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengenang Empat Sehat Lima Sempurna
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Catatan Diskusi Kedua Program Belajar, Ok.Video – Ok. Pangan 2017
ADVERTISEMENT
Oleh Marcellina Dwi Kencana Putri
Era Orde Baru konon meninggalkan banyak artefak yang tidak hanya berbentuk fisik tapi juga pengetahuan. Selama 32 tahun, Orde Baru telah mencetak generasi-generasi yang tumbuh dengan semboyan, jargon, dan juga mitos (atau fakta) yang terus dipelihara. 'Empat Sehat Lima Sempurna' bisa jadi merupakan produk Orde Baru yang tanpa disadari masih ada dalam praktik makan kita sehari-hari dan direproduksi terus untuk menghidupi modal-modal kapital yang dikonsentrasikan ke sektor pertanian sawah.
Makan tanpa nasi berarti belum makan merupakan ungkapan khas budaya orang Jawa. Ungkapan ini memposisikan lauk dan sayur (nutrisi dan vitamin) tidak lagi penting karena yang dibutuhkan adalah karbohidrat untuk menghasilkan kalori. Bersamaan dengan itu, Orde Baru mencanangkan ideologi negara sebagai keluarga.
ADVERTISEMENT
Analogi keluarga ini konsekuensinya adalah Soeharto dilihat sebagai bapak dan warga Indonesia adalah anak-anaknya. Dengan demikian, menu di piring dan makanan di meja tiap keluarga pada masa Orde Baru dikontrol oleh ‘Bapak’. Konsekuensi yang lain, di dalam pandangan keluarga yang demikian, ayah (laki-laki) punya peranan besar. Sedangkan ibu (perempuan) hanyalah sekadar penunjang. Sehingga perempuan yang dominan dalam rangka pemenuhan pangan, termasuk ke dalam hutan mencari sumber-sumber pangan, perannya dilihat sebelah mata di era Orde Baru.
Nasi, telur dan tempe. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Nasi, telur dan tempe. (Foto: Wikimedia Commons)
Kira-kira, itulah inti permasalahan yang hendak dibahas di dalam diskusi “Mengenang Empat Sehat Lima Sempurna”. Diskusi serial kedua dari rangkaian diskusi yang diadakan oleh Program Belajar, Ok.Video-Indonesia Media Arts Festival ini berusaha membahas kembali kesadaran kita tentang pola makan yang dianjurkan sejak tahun 1955, sesuatu yang ada bahkan sebelum masa Orde Baru dimulai.
ADVERTISEMENT
Diskusi dibuka dengan presentasi tentang kebijakan pangan Orde Lama ke Order Baru oleh Erby Berlina. Alumnus Prodi Filsafat FIB UI itu menggambarkan bagaimana buku resep Mustika Rasa dan media digunakan sebagai pencitraan bahwa Indonesia tidak berada dalam kondisi krisis pangan. Tidak banyak pula yang mengetahui bahwa konsep ini diadopsi dari pengetahuan nutrisi Barat. Pengadopsian ini didorong oleh kegelisahan akan masalah kekurangan pangan di Indonesia. Usaha penyebaran konsep ini melalui kampanye, dilakukan oleh Dr. Poorwo Soedarmo, yang sangat artistik; poster, selebaran, bahkan pertunjukan keliling dari pasar satu ke pasar lain.
Arah kebijakan pangan di era Orde Baru menurut penuturan Reza Hilmawan, pembicara kedua diskusi ini, secara sistematis dan terstruktur telah mewariskan racun bagi makanan kita lewat intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian pada masa kebijakan Revolusi Hijau. Makanan-makanan beracun yang membawa unsur kimia dan residu dari pupuk dan pestisida masal beredar di pasaran.
ADVERTISEMENT
Akar dari hal ini, tegasnya, adalah logika kapitalistik yang membutuhkan tenaga kerja murah untuk memutar roda produksi. Konsekuensinya, makanan yang murah perlu disediakan. Dalam kacamata pekerja dengan upah murah, makanan hanya sebatas penambah kalori agar mereka bisa bekerja untuk memproduksi sesuatu. Memang akhir-akhir ini muncul kesadaran baru dalam masyarakat tentang konsumsi makanan organik. Namun, pilihan konsumsi akan kembali lagi kepada kelas ekonomi dan kesadaran politik. Produk organik akan berterima dan diketahui oleh para konsumen ‘berkesadaran dan berdaya beli’.
Gelar Soemantri, seniman video menjadi pembicara ketiga pada diskusi itu. Gelar menekankan produk makanan instan, wabil khusus Indomie, di dalam presentasinya. Menurutnya, ketika membicarakan ketahanan pangan di Indonesia, tidak bisa tidak, kita harus membicarakan Indomie. Indomie menurutnya adalah produk Orde Baru dan oleh latar belakang kapitalnya mampu beradaptasi dengan segala macam perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Indomie (Foto: indomie.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Indomie (Foto: indomie.com)
Di dalam iklan pertama indomie yang arsipnya ditayangkan Gelar saat itu tampaklah bahwa mie instan menjadi lambang makanan yang modern yang dipilih oleh masyarakat dari seluruh daerah-daerah Indonesia. Representasi Indomie sebagai makanan ‘Seleraku’ belum dapat dikalahkan oleh makanan Indonesia manapun karena kekuatan pesan medianya.
Ketiga pembicara di dalam diskusi ini sepakat melihat kegagalan pemerintah dalam mengurusi perihal pangan, baik disengaja atau pun tidak. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak lepas dari problem kekurangan pangan, kelaparan demi kelaparan. Bergantinya rezim pun tidak pernah lepas dari perihal kelaparan ini. Benarlah bahwa ketika berbicara tentang makanan, kita tidak pernah sekadar bicara tentang hal-hal yang mengenyangkan perut. Bersamaan dengan itu, kita membicarakan perihal politik.
ADVERTISEMENT
Contoh menarik diangkat oleh pembicara ketiga, Gelar Soemantri, perihal Indomie. Indomie adalah sebuah produk yang secara langsung muncul karena keberadaan pergantian rezim dari Presiden Soekarno ke Orde Baru. Perubahan ini membuka kemungkinan bagi pengusaha, Sudono Salim, memonopoli gandum yang pada akhirnya menghasilkan produk mi instan, Indomie. Lebih lanjut, Indomie berstrategi melalui media; mengadopsi imajinasi pemerintah tentang Indonesia. Indonesia yang bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu, diadopsi oleh Indomie di dalam iklan-iklannya. Hal ini jelas tampak pada iklan pertama Indomie dan terus tampak pada iklan teranyarnya kini.