Konten dari Pengguna

Hantu-hantu Itu Bernama Kenangan

31 Desember 2019 17:31 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okke Oscar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kenangan terhadap rumah. Dok: Unsplash/Anita Jankovic
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kenangan terhadap rumah. Dok: Unsplash/Anita Jankovic
ADVERTISEMENT
Mari memulai tulisan sentimental ini dengan sebongkah egoisme bernama rindu. Barangkali kamu tak menyadari, bahwa rindu adalah bentuk egoisme paling purba. Kamu kerap menginginkan (lagi) yang tidak ada, tidak nyata, tidak nampak.
ADVERTISEMENT
Rindu mengendap karena kamu merawat dengan apik penggalan kisah, meromantisasi, dan membiarkannya ada. Tapi rasanya, terlalu sempit jika menerjemahkan rindu hanya untuk seseorang. Rindu juga bisa dialamatkan pada benda mati, contohnya: sebuah rumah.
Kehilangan rumah ternyata sama menyakitkannya dengan kehilangan nyawa seseorang yang pernah ada dan jadi bagian dari diri kita.
Kira-kira begini, sekitar enam tahun lalu pada pertengahan 2013, nenek dan mendiang kakekku sepakat untuk menjual rumah yang mereka tinggali sejak 1982. Alasannya, mereka merasa rumah tersebut terlalu besar untuk ditinggali sepasang lansia dan lebih ingin mendekatkan diri untuk tinggal bersama anak-anaknya yang masih hidup, yaitu om dan mamaku.
Rumah dengan luas 250 m tersebut juga sudah tua dan perlu banyak perbaikan. Jika musim hujan, terkadang saluran air mampet sehingga air menggenang masuk ke bagian belakang rumah. Cukup merepotkan. Membayangkan nenek dan mendiang kakek kerepotan mengurus rumah pun aku tak tega, ditambah rasa kesepian karena ditinggal anak-cucu yang harus mereka hadapi setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Maka keputusan untuk melepas rumah itu sudah tentu mutlak milik mereka berdua. Meski pada akhirnya, aku sedikit menangkap kekecewaan, penyesalan, serta penyangkalan luar biasa bahwa mereka tidak pernah benar-benar rela kehilangan rumah itu. Tempat bernaung selama 31 tahun, bahkan lebih dari itu, tak berlebihan rasanya jika rumah tersebut sudah jadi semacam monumen bagi kami.
Ada banyak tangis pecah: haru, getir, kematian, kelahiran, drama, petaka, kegembiraan, melebur semua di dalamnya.
Rumah itu sudah layaknya rumah kedua untukku, setelah rumah yang aku tinggali bersama mama dan papa. Atau mungkin, rumah pertama secara emosional. Sebab, sejak lahir hingga usiaku 2 tahun, aku tinggal di rumah itu sebelum pindah ke Jakarta.
Rumah itu terletak di Perumnas Cijerah, Cimahi, alias Bandung coret. Letaknya yang kritis dan tipis berbatasan dengan ujung barat Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Setiap libur sekolah atau hari raya, rumah itu adalah tempat kembali. Bayangkan, kebiasaan bertahun-tahun yang dibangun tiba-tiba lenyap. Rumah itu bukan lagi milik kami. Terlebih, selama kurang lebih 1,5 tahun, aku pernah kembali tinggal di rumah itu semasa kuliah dari semester 3 hingga 5. Memoriku terhadap rumah itu pun makin kuat.
Kampusku terletak di Jatinangor, sedangkan rumah nenek di Cijerah. Setiap hari, sekitar 1,5-2 jam dengan jarak tempuh kurang lebih 30 km bolak-balik harus kuhadapi lengkap dengan kemacetan dan drama mengejar Damri yang tak jelas jadwal keberangkatannya. Keluhan seringkali keluar dari mulut, tapi siapa sangka, saat ini keluhan itu jadi kenangan paling konyol yang ternyata bisa dirindukan juga.
Kegiatan di kampus yang kerap membuatku harus pulang larut, juga memaksaku mencoba berbagai moda transportasi demi bisa pulang ke rumah. Mulai dari KRD, travel, sampai omprengan pernah dijajal. Karenanya, aku mengakrabi Stasiun Bandung, Balubur, Jalan Elang, Sudirman, dan beberapa wilayah yang menjadi rute pulang.
ADVERTISEMENT
Pernah satu waktu, lepas magrib, di Balubur, aku menyebrangi bawah Jembatan Pasupati. Ingar bingar kendaraan yang lalu lalang mendadak terjeda. Earphone yang dicocok ke telinga mulai memutar musikalisasi puisi ‘Rindu’ milik Subagio Sastrowardoyo. Lagu itu mengalun sendu dibawakan oleh Banda Neira.
Rumah kosong
Sudah lama ingin dihuni
Adalah teman bicara
Siapa saja atau apa
Siapa saja atau apa
Jendela, kursi, atau bunga di meja
Sunyi
Menyayat seperti belati
Saat itu pula aku tersadar, aku memberi ruang untuk memori baru terhadap jalan pulang, terhadap rumah, terhadap Bandung/Cimahi dan setiap sudutnya.
Rumah nenek circa 1995-1996
Aku ingin melakukannya lagi, hanya untuk merekonstruksi kebiasaan lama, memelihara kenangan. Meski bedanya, kini tak ada tujuan akhir, tak ada tempat kembali secara fisik.
ADVERTISEMENT
Terakhir kali, sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah itu, aku melakukan ritual yang mungkin dianggap aneh dan bodoh. Aku menelungkupkan badan ke lantai marmer abu yang dingin di ruang tengah rumah itu, kemudian mengelusnya, menciuminya.
Ruang tengah adalah bagian yang kuanggap paling sakral, sebab ruang tengah adalah jantung hati rumah yang mampu menghangatkan para penghuninya. Di sana, kami sering bercengkrama, makan bersama, --meski sebenarnya ada ruang makan--, bersenda gurau, menonton, dan bertukar cerita soal apa saja, penting atau tidak penting.
Selain ruang tengah, balkon dan teras juga jadi bagian favorit dari rumah, alih-alih kamar tidurku sendiri. Dari balkon, aku bisa memperhatikan keadaan sekitar: tetangga yang sibuk bergosip sambil menjemur atau mengambil pakaian, atau anak kecil yang bermain sambil disuapi ibunya. Semua bisa kulakukan sambil membaca buku, minum kopi, dan merokok diam-diam.
ADVERTISEMENT
Sedangkan teras adalah bagian kecil namun penting. Jika barang, maka ia adalah tameng. Sebelum siapapun dirasa layak untuk masuk rumah, maka teras adalah tempat singgah sementara. Ia adalah pembatas. Silakan tunggu di sana.
Pernah satu waktu, gebetan (yang kini telah jadi mantan) diusir secara halus oleh nenek karena jam kunjung sudah melebihi pukul 22.00. Saat itu, di teras, kami tak banyak bercakap-cakap, cuma ada dua cangkir minuman hangat (aku lupa apa), dan playlist yang secara acak terputar. Kupikir nenek cukup ‘kasar’ karena menyuruhnya pulang. Tapi, setelah tahu apa yang dia lakukan padaku akhirnya, dia tak hanya layak diusir dari teras, tapi mungkin juga dari dunia ini.
Teras adalah tempat singgah sementara untuk menerima berbagai macam tamu dengan tingkah laku dan cerita unik masing-masing. Dia hadir sebentar atau lama, lalu pergi. Seperti orang-orang di hidup kita.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak cerita, ada juga yang bilang bahwa rumah itu berhantu. Sahabat mendiang tanteku, Achy, yang bernama Dera, pernah menelepon ke rumah. Padahal, saat itu tak ada siapapun di sana. Tapi panggilan telepon berhasil terangkat dan dijawab oleh seorang perempuan yang entah siapa.
“Halo, Assalamualaikum Bu, Achy ada?” tanya Dera
“….. Waalaikumsalam,” dijawab oleh suara perempuan
Tut tut tut...
Kemudian telepon terputus.
Lengkap sudah berbagai jenis emosi yang terolah dari rumah itu: sedih, senang, marah, takut.
Tapi buatku, yang lebih menakutkan dari ‘hantu’ atau ‘cerita hantu’ tadi adalah kenangan terhadap rumah itu. Sampai sekarang, tata letak, harum ruangan, dan para penghuni rumah tersebut yang telah meninggal masih melekat betul walau hanya dalam mimpi.
ADVERTISEMENT
Aku masih bisa melihat dengan jelas mendiang tanteku bertengkar dengan pacarnya di taman depan rumah. Tubuhnya segar, tidak lesu dan kuning seperti yang kulihat terakhir kali. Pandangannya tegas dan galak, suaranya kian meninggi karena emosi terhadap kelakuan sang pacar.
Aku juga bisa mendengar jelas suara mendiang kakek mengaji dari ruang tengah. Suaranya parau namun merdu, suara yang sering membangunkanku saat subuh tiba. Jauh lebih jelas dan menggugah daripada suara azan masjid sebelah.
With mom, circa 1996.
Mungkin bagi sebagian orang, rumah hanyalah rumah. Ia adalah bangunan mati yang bisa kapanpun dirobohkan, kemudian rata dengan tanah. Tapi yang tak disadari, ada nyawa-nyawa yang menghidupkan sebuah rumah. Ada ikatan emosional yang dibangun di dalamnya.
Saat menulis ini, aku tak terbayang bagaimana rasanya kehilangan sebuah rumah dengan cara terpaksa, tidak sukarela atau jadi korban penggusuran. Seketika aku ingat Tamansari.
ADVERTISEMENT
Padahal, nyawa-nyawa yang bersemayam dalam sebuah rumah, pasti membuat pola, melanggengkan kebiasaan, sehingga kenangan-kenangannya abadi.
Jika ada anggapan bahwa cinta itu membunuh, rasanya bukan itu. Tapi menyesuaikan diri dengan pola atau kebiasaan barulah yang tak kalah jauh lebih membunuh. Seperti halnya nenek dan uwa yang kehilangan suaminya.
Mereka telah melewati 50 tahun pernikahan, siapa pula yang bisa bertaruh bahwa masih ada cinta di antara mereka. Namun pola atau kebiasaan familiar yang telah mereka lalui bersama adalah cerita lain yang lumayan bikin pilu sembilu. Tapi hidup harus berjalan terus.
Aku ingat betul saat melangkahkan kaki keluar dari rumah untuk terakhir kalinya, aku enggan menoleh lagi ke belakang, ke rumah itu. Aku tak mau memelihara kesedihan yang asing itu. Meski tubuhku memang sudah keluar dari sana, tapi ingatanku akan rumah itu masih akan terus ada. Bagaimanapun, rumah itu pernah jadi bagian dalam hidup.
ADVERTISEMENT
Aku belajar ikhlas dari nenek dan mendiang kakek yang rela melepas rumahnya. Aku juga ingin memilki ketegaran seperti nenek dan uwa, yang kehilangan teman hidupnya.
Mungkin aku harus selalu memberi waktu dan ruang untuk bertumbuh, untuk sembuh. Begitu juga dengan kamu.