Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jadi Diri Sendiri Itu Tidak Pernah Benar-benar Ada
9 Desember 2019 21:08 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Okke Oscar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Cita-cita paling mustahil adalah tidak dilahirkan," kataku.
"Betul, buktinya kamu ada di sini, mengurut bahu yang pegal sambil terus mengeluh," sergah Im, --yang sedari tadi cuma senyum-senyum kecil melihatku kepayahan.
ADVERTISEMENT
Dua hari lalu, Im memberiku beberapa hal yang tak disangka ternyata amat esensial dan berguna. Mulai dari minyak angin, tablet multivitamin, hingga koyo. Jujur, aku sedikit tersinggung dengan pemberiannya. Aku merasa jompo, padahal aku baru 26 tahun.
Akhir-akhir ini aku memang mudah lelah. Entahlah, mungkin sedikit (banyak) depresi. Aku jadi gemar merutuki segala lini hidup; bos yang menyebalkan, pekerjaan yang menuntutmu serba bisa dan cepat, gaji yang tak seberapa, S2 yang tak kunjung terlaksana, keluarga inti yang menuntutku segera kawin dan beranak pinak. Haduuuuuh!
"Im, kamu tahu enggak, ketika seseorang lahir ke dunia ini, dia sudah mengalami kekalahan, penderitaan dan kesialan luar biasa," cetusku.
"Eh, lho, kok, gitu? Bukannya kita adalah pemenang dari sekian juta sel sperma?" balas Im.
ADVERTISEMENT
"Iya, kemudian orang tuamu memberi nama, lantas semua harapan dan doa baik tertuju padamu. Tapi, bukankah itu juga adalah beban?" tanyaku lagi.
"Tergantung kamu memaknai dan melihat dari sisi apa. Semua orang lahir pasti membawa harapan dan kebaikan, setidaknya untuk kedua orang tua dan keluarganya," Im mulai terdengar normatif dan membosankan. Tapi aku bisa tahan mendebatnya sepanjang malam.
Im adalah antitesisku. Dia yang selalu positif memandang hidup, aku sinis dan apatis. Dia percaya pernikahan, aku tidak. Dia ingin punya anak, aku tidak. Dia percaya konsep jodoh, aku tidak. Dia makan daging, aku tidak. Dia punya privilese, aku tidak.
Selain hidupnya yang lebih dari cukup, dia selalu mendapat kemudahan untuk meraih sesuatu. Sebagai seorang laki-laki, Im juga punya male privilege, --sesuatu yang jarang sekali disadari khalayak--.
ADVERTISEMENT
Untuk ukuran seseorang dengan privilese, buatku, dia tidak resek. Karena seseorang dengan privilese tapi tak menyadarinya adalah sesuatu yang celaka.
Sedang aku, perempuan, --boro-boro soal ekonomi dan kenyamanan hidup--, privilese soal menentukan hal privat saja tidak punya.
Aku tidak ingin menikah, hamil, dan punya anak. Aku sudah mengutarakannya pada ibu. Beliau mungkin berusaha mati-matian tenang ketika aku membicarakannya. Tapi, raut khawatir tergurat jelas di wajahnya. Ibu mengernyit seolah mengisyaratkan 'pemikiran macam apa itu?'.
Semua keputusanku dimuntahkan, pokoknya salah besar, kata ibu. Aku didakwa orang paling egois sejagad raya.
Ibuku mungkin tak pernah baca 'Anakmu Bukanlah Milikmu' milik Khalil Gibran. Kalaupun sudah, aku yakin bakal tetap ada terms and conditions yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Terlebih, di Indonesia keputusan perempuan untuk tidak menikah, hamil dan punya anak masih jarang terjadi atau mungkin sulit diterima. Slogan 'My Body, My Choice' atau 'Tubuhku Otoritasku' rasanya masih jadi mimpi di siang bolong.
Kepada tubuh perempuan, masyarakat menaruh segalanya: aturan, tuntutan, hingga harapan untuk subur menghasilkan anak.
Jadi diri sendiri yang utuh, tidak pernah benar-benar ada. Aku rasanya tidak bisa benar-benar menjalankan keputusanku. Mustahil memang, sebab hidupmu adalah menyangkut hidup beberapa orang pula. Yang ada adalah penyesuaian. Peer pressure itu nyata.
Ditambah, beberapa orang akan tetap merasa punya andil untuk mengatur, mencampuri urusanmu, bahkan lebih jauh menilaimu.
Sudah kubilang, hidup bukan hal utopis. Kamu pasti harus mengalami kekalahan, penderitaan dan kesialan berulang kali.
ADVERTISEMENT
Selamat merayakan hidup sampai babak belur!