Konten dari Pengguna

Seperti Kucing, Kita Semua Juga Insecure

15 Desember 2019 22:42 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okke Oscar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kucing putih. Dok: Shannon/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kucing putih. Dok: Shannon/Pixabay
ADVERTISEMENT
Dua minggu lalu, salah satu keputusan yang sudah lama saya buat akhirnya terlaksana. Seekor kucing putih telah saya adopsi dari seorang kawan yang mengaku tak bisa lagi membagi kasih sayangnya pada makhluk lucu nan malang itu.
ADVERTISEMENT
Dia merasa perlu lebih mencintai dirinya sendiri. Alasannya tidak terdengar egois jika saja orang-orang tahu apa yang telah atau sedang dia lewati. Tanpa bermaksud heroik, tentu saja saya dengan senang hati mengurus kucing putih kesayangannya yang diberi nama Pristine.
Dari sekian banyak nama-nama yang ada di dunia ini, entah kenapa ia memilih Pristine. Hal pertama yang terlintas saat mendengar nama itu adalah merek air mineral. Tapi, ya sudah, saya pun merasa tak perlu direpotkan mencari nama untuk memanggil kucing tersebut. Demi menghormati legasi dari si empunya terdahulu, saya membiarkan nama itu tetap ada untuknya.
Ternyata, sesampainya di rumah, kedua orang tua saya sudah menyiapkan nama sendiri untuk si kucing. Bulunya yang putih, halus, dan lembut seperti kapas membuatnya dipanggil ‘Cotton’ oleh ibu. Ayah yang tak setuju dengan nama itu protes. Dia bilang, untuk kucing tak perlu nama yang keren dan sok Inggris. Cukup panggil ia ‘Uban’, --lagi-lagi nama ini ada karena bulunya yang berwarna putih.
ADVERTISEMENT
Jujur, saya tak terlalu peduli apapun panggilannya. Saya hanya fokus soal bagaimana ia bisa nyaman, sehat, dan bahagia tinggal bersama kami. Beruntung, semua personel rumah menyayanginya. Kami tak segan mengurusnya bergiliran. Kami menyambutnya sebagaimana ia adalah anggota baru keluarga kami, dan tentu saja itu membutuhkan proses.
Pristine/Cotton/Uban, apa pun panggilannya.
Dua hari pertama kedatangannya, Pristine/Cotton/Uban, hanya berdiam diri di dalam kandangnya. Ia enggan keluar, bulu-bulunya pun rontok bertebaran dan belum mau makan. Saya khawatir, lantas menelepon klinik dokter hewan dekat rumah. Katanya, ia baru bisa di-grooming dan diperiksa lain-lainnya seminggu setelah waktu ia diadopsi.
Baiklah, saya, atau kami harus menunggu. Saya pun enggak memaksa ia untuk langsung beradaptasi dan bermain dengan orang rumah. Agar ia nyaman, saya sengaja membelikan segala macam perlengkapan untuknya. Mulai dari tempat tidur, kudapan, vitamin, obat-obatan, sisir, hingga mainan. Hasilnya? Tak ada yang ia gunakan. Saya harus merelakan uang saya pergi begitu saja. Tapi, tak apa, dari ia pula saya belajar sabar, belajar mengasihi, dan belajar ikhlas.
ADVERTISEMENT
Saya percaya, seperti juga makhluk hidup lainnya, bukan cuma kebutuhan jasmaniah saja yang perlu terpenuhi. Kebutuhan emosionalnya juga harus diperhatikan. Maka, pelan-pelan kami membangun bonding. Tak perlu dipaksa dan dibuat-buat, natural saja.
Saya pun tak langsung menyentuh dan menggendongnya. Ia butuh waktu untuk mengenali dan mengamati habitat barunya. Jika sengaja didekati, ia akan menjauh. Tapi, ketika saya mulai pergi menjauh, dengan sendirinya ia datang menghampiri. Siklus ini masih suka terjadi sampai sekarang. Lucu, ternyata kucing juga bisa bertingkah layaknya gebetan.
Sebagaimana kucing-kucing pada umumnya, ia cukup penakut dan berhati-hati berinteraksi dengan manusia. Tapi rasanya, sifat-sifat tersebut juga biasa dimiliki oleh manusia. Rasa takut atau terlalu berhati-hati biasanya muncul karena adanya rasa tidak aman atau yang biasa kita kenal dengan insecure.
ADVERTISEMENT
Jika pada manusia, rasa insecure bisa muncul karena berbagai faktor. Mulai dari masalah masa lalu dengan pengkhianatan, penolakan, diabaikan, hingga overthinking dan menganggap bahwa diri kita tak cukup baik.
Mungkin beberapa dari kita pernah mempertanyakan diri sendiri: apakah kita cukup baik sebagai anak, orang tua, pasangan, pekerja, teman, dan lain-lain.
Sedangkan kucing, mereka punya rasa insecure sebab mekanisme pertahanannya terbatas.
Dilansir The Guardian, kucing juga perlu membentuk suatu ikatan emosional (secure attachment) dengan manusia, terlebih dengan pemiliknya agar memastikan ia aman, tenang, dan nyaman untuk menjelajahi lingkungan sekitarnya.
Hal ini dibuktikan oleh para peneliti dari Oregon State University yang melakukan percobaan dengan melibatkan interaksi antara 70 kucing serta pemiliknya dan membiarkan mereka bermain selama dua menit dalam suatu ruangan. Setelah itu, para pemilik meninggalkan ruangan tersebut dan masuk kembali ke dalam ruangan.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, 64 persen kucing tampak lebih tenang saat bertemu kembali dengan pemiliknya dibanding saat mereka ditinggalkan. Mereka ingin dipeluk dan terlihat lebih bebas berkeliaran saat berada di sekitar pemiliknya.
Sedangkan 36 persennya menunjukan ciri-ciri insecure setelah ditinggalkan. Kucing-kucing tersebut menjadi stres saat kembali bertemu dengan pemiliknya, dan bahkan ada juga yang menghindari interaksi dengan pemiliknya.
Tuh, kucing aja bisa stres dan insecure kalau ditinggal. Sama lah, ya, kayak manusia.
Jadi, memiliki rasa insecure sebagai makhluk hidup itu wajar dan normal banget. Itu tandanya, kamu punya perasaan. Ingat, sewajarnya saja. Apapun yang berlebihan tentu tak baik. Your mental health matters.
Yang bahaya adalah jika kamu terus menerus memelihara dan memberi makan pada rasa takut itu. Disadari atau tidak.
ADVERTISEMENT