Story ke-9 : Menemukan "Urang Sunda" di Jakarta

Konten dari Pengguna
7 November 2017 0:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okky Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya sendiri masih bingung dengan definisi "Urang Sunda". Tentunya, bila ingin menemukan definisi yang sesungguhnya saya perlu berselancar pada buku dan jurnal lebih dulu, dan membutuhkan waktu lama.
ADVERTISEMENT
Tapi, saya memiliki definisinya sendiri, yakni setiap individu yang bisa berbicara Sunda. Entah itu yang berasal dari Jawa Barat Utara (Majalengka, Cirebon, Kuningan) atau Jawa Barat Selatan (Ciamis, Tasikmalaya).
Di Jakarta, salah satu hal tersulit yang saya hadapi ialah mengganti kata "urang" (dalam bahasa Indonesia artinya saya) dengan "saya" atau "gue". Perlu perjuangan dan keikhlasan untuk menghilangkan entitas saya sebagai "Urang Sunda".
Saat ditugaskan untuk meliput warga di sekitar proyek underpass Kartini, saya pikir "bahasa" menjadi kesulitan pertama yang harus dituntaskan. Jujur saja, kebiasaan yang mesti dihilangkan itu butuh waktu dan melelahkan -meski sederhana-.
Sesampainya di tempat liputan, saya celingak-celinguk melihat keadaan. Untuk mulai mencari informasi terkait daerah tersebut, saya memutuskan untuk makan di salah satu rumah makan masakan Padang.
ADVERTISEMENT
"Bu, makan ya sama telur dadar dan perkedel. Enggak usah pakai sambel ya Bu," ucap saya dengan nada khas Jakarta, nada yang sedikit keras dan cepat.
Makanan tersedia, saya pun langsung melahapnya sembari memperhatikan penjualnya. Tak lama berselang terdengar kata "Iyeu teh kumaha". Saya pun tersenyum dan siap menanyakan keadaan daerah tersebut dengan bahasa Sunda.
"Bu, janten sabaraha?," ucap saya sambil tersenyum. "Sunda oge? Ti mana a?," balas penjual. "Abdi ti Cileunyi," jawabku lagi. Percakapan dengan bahasa Sunda pun berlangsung, saya mulai mengetahui keadaan daerah sekitar dan menuntaskan liputan pertama di Jakarta.
Esoknya, saya diberi tugas untuk meliput Taman Lapangan Banteng. Tak ingin berlama-lama, saya langsung mencari narasumber. Saat itu, saya bertemu dua pemuda yang sedang berlari, namanya Gingin dan Saepul. Setelah mewawancarai mereka, saya bergegas mencari narasumber lainnya.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti hari pertama, saya tidak membutuhkan waktu berjam-jam untuk mencari narasumber. Setelah informasi dirasa cukup, saya mencari tempat untuk mulai menulis berita. Saya memilih bagian Selatan taman sebagai tempat saya menyelesaikan liputan pertama pada hari kedua.
Saat sedang menulis berita, tiba-tiba Gingin dan Saepul menghampiri. Bukan untuk bercakap-cakap, tapi mencari tempat istirahat dan berteduh. Saat itulah saya bertanya "Udah selesai bang?," dengan logat "so" ke-Jakarta-an. Tentunya, mereka pun menjawab dan mulai menginterogasi saya dengan pertanyaan yang lebih banyak dari pertanyaan yang saya ajukan saat wawancara.
Mereka pun menanyakan tempat kelahiran saya. Tiba-tiba, Saepul berkata "Tiasa Sunda atuh, abdi di Bogor." Saya pun kembali melebarkan senyum. Percakapan panjang pun dimulai. Kedekatan terjalin, Gigin membelikan saya air mineral. Saat menanyakan jalan untuk liputan kedua, Saepul menawarkan diri untuk mengantar saya sampai tempat tujuan.
ADVERTISEMENT
Begitulah cerita yang ingin saya bagikan. Saat saya dengan mudahnya menemukan "Urang Sunda". Saya harap ini terus berlanjut, agar "urang" tetap terjaga di Jakarta.