Timnas U-19 Mesti Belajar pada Lothar Matthaus

Konten dari Pengguna
8 November 2017 5:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okky Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Timnas Indonesia U-19 melawan Timnas Malaysia U-19 (Foto: PSSI)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Indonesia U-19 melawan Timnas Malaysia U-19 (Foto: PSSI)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kekalahan 4-0 Garuda Nusantara dari Korea Selatan tentulah menyedihkan. Akan tetapi, kekalahan 4-1 saat menghadapi Malaysia amat lah menyakitkan. Rivalitas kedua negara yang tak pernah surut, akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi pemain bila memenangi pertandingan. Sedangkan, pemain yang mengalami kekalahan –mungkin- akan mengalami mimpi buruk dan sulit untuk melupakannya.
ADVERTISEMENT
Yang berbahaya dari ini semua ialah hilangnya motivasi anak asuh Indra Sjafri untuk terus berkembang. Saya yakin, bila Egy Cs berkunjung ke salah satu mall di Malaysia, mereka akan menjadi bulan-bulanan warga Malaysia.
Untuk menghadapi goncangan dan kekecewaan ini, Indra Sjafri harus mengumpulkan semua pemainnya dalam satu ruangan kosong. Kemudian, pelatih kelahiran Padang ini mendongeng tentang ketegaran seorang legenda Jerman, Lothar Matthaus.
Meski menyakitkan, kegagalan di Piala AFF U-19 pada babak semifinal tidaklah sebanding dengan kegagalan yang pernah dirasakan Matthaus. Bagaimana tidak, Matthaus mengalami kegagalan dalam tiga turnamen berbeda di babak semifinal atau pun final. Itu terjadi pada tahun 1987, 1988, 1999 dan 2000, yang tentunya tak akan dilupakan Matthaus. Dalam empat tahun tersebut, Matthaus mengalami dua kali kekalahan di babak final dan dua kali kekalahan di babak semifinal –baik bersama Munchen ataupun timnas Jerman-.
ADVERTISEMENT
Masih dalam ingatan kita, kekalahan Munchen dari Manchester United pada final Liga Champions tahun 1998/1999. Saat itu, Bayern Munchen hampir tidak mungkin mengalami kekalahan. Pasalnya, hingga menit ke-89 Munchen berhasil menguasai pertandingan dan unggul 1-0.
Namun hasil berkata lain, Manchester United hanya membutuhkan empat menit untuk menghancurkan Munchen dan memendamkan impian Matthaus untuk merengkuh trofi Liga Champions. Hingga Lennart Johansson –Presiden UEFA- saat itu mengatakan “The Winners are crying and the loosers are dancing”.
Kekalahan tersebut menjadi kegagalan kedua bagi Matthaus untuk mengangkat trofi Liga Champions. Setelah sebelumnya, FC Porto berhasil menghancurkan impian Matthaus pada final Liga Champions tahun 1987. Saat itu, Munchen harus mengakui keunggulan FC Porto 13 menit sebelum peluit panjang dibunyikan.
ADVERTISEMENT
Gol balasan dari Rabah Madjer dan Juary pada menit ke-77 dan 81 berhasil membenamkan impian Matthaus. Setahun kemudian, Matthaus harus kembali merasakan kegagalan pada semifinal Piala Eropa 1988 saat menghadapi Belanda. Setelah unggul 1-0 sampai menit ke-73, dua gol terlambat yang dilesatkan Ronald Koeman dan Marco van Basten pada menit ke-74 dan 88 kembali menunda keinginan Matthaus untuk mengangkat trofi.
Nampaknya kegagalan di laga puncak sangat akrab bagi Matthaus, hal tersebut kembali terjadi di tahun 2000. Saat dirinya kembali gagal mengantarkan Munchen ke babak final Liga Champions. Saat itu, Munchen harus mengakui keunggulan Real Madrid dengan agregat 3-2 dibabak semifinal. Kekalahan ini sangat mengejutkan banyak pihak, pasalnya, pada fase grup Munchen berhasil menaklukan Madrid dengan skor meyakinkan, 4-2 di Santiago Bernabeu dan 4-1 di Olympiastadium.
ADVERTISEMENT
Kendati mengalami kegagalan demi kegagalan yang menyakitkan, Matthaus –setidaknya- akan terus dikenang sebagai pemain terbaik yang pernah dimiliki Jerman. Begitu pun timnas U-19 saat ini, meski belum memberikan trofi –setidaknya- Egy cs telah memunculkan harapan bagi masa depan sepak bola Indonesia. Selain itu, apa yang mereka tampilkan di atas lapangan hijau kerap membuat takjub pencinta sepak bola. Bola-bola pendek yang dimainkan, penetrasi dari kedua sayap dan pertahanan yang solid menjadi tanda jika ada yang sudah dituntaskan. Ada kewajiban yang telah ditunaikan meski hutang untuk membawa trofi dan mendali belum terlunasi.
Teringat pesan legenda Brasil, Socrates yang mengatakan“Beauty comes first. Victory is Secondary. What matters is joy”. Menawan yang pertama dan juara adalah yang kedua, begitupun yang terjadi pada tim nasional Brasil di tahun 1970-1980an. Melahirkan nama-nama seperti Socrates, Jairzinho, Carlos Alberto Perreira, Zico, Careca dan Falcao, dan memainkan sepak bola terindah sepanjang sejarah namun tak ada trofi yang diangkat.
ADVERTISEMENT
Dongeng mengenai Mattheus harus segera diberikan kepada pemain U-19, agar kegagalan dan kekalahan yang mereka alami tidak menurunkan motivasi untuk terus berkembang. Sebab, ada harapan yang mesti mereka wujudkan.