Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Cerpen: Mimpi Sehari Lagi
2 Juni 2020 23:05 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Okky Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cibunut, Barsi, jam tujuh pagi. Serentetan teriakan marah dan mencekik bergaung. Arifin, germo termasyur, berseru kepada anaknya yang sedang mengisi perut dengan semangkuk mi.
ADVERTISEMENT
“Sudah berkali-kali kubilang kepadamu, jangan mancampurkan jamur fermentasi tai sapi dalam menu sarapanmu!”
Wanita di sebrang rumahnya berteriak: “Tikus banjingan!”
Berkumandang pula beraneka teriakan lain, serentak dengan terbukanya pintu di setiap rumah. Setengah dari penduduk yang tinggal di Cibunut turut serta dalam banyak pertengkaran. Pertengkaran bukanlah satu-satunya hal yang terjadi di sana, tetapi tetap saja mereka jarang melalui satu pagi tanpa mendengar percekcokan.
Cibunut adalah sebuah gang yang berada 700 meter dari alun-alun kota, 850 meter dari pusat pemerintahan. Semua rumah di sana bertembok papan GRC. Saling berhimpitan dan berhadapan. 10 rumah di sebelah kanan, dan 7 rumah di sebelah kiri. Hanya ada lahan seluas 75 centimeter yang memisahkan rumah di kedua sisi.
ADVERTISEMENT
Ada selokan selebar mobil Avanza di ujung gang. Penduduk Cibunut mempergunakan selokan sebagai septic tank. Bau tidak sedap berseliweran sepanjang gang, terutama saat musim kemarau. Namun, tak ada satupun penduduk yang terganggu dan mengeluh.
Gang itu dihimpit mal dan pasar tradisional. Berdiri pula hotel bintang 4 1/2 berlantai 22 milik pemerintah tepat di depan pintu masuk gang. Udara di Cibunut lembab karena tidak ada cahaya matahari yang menyusup.
Mencari Cibunut bukan hal mudah. Meski berada di pusar ekonomi, Cibunut tidak terdeteksi google maps.
Penduduk Cibunut punya karakter eksentrik yang berbeda-beda. Seperti kata George Orwell, daerah-daerah kumuh pusat kota adalah tempat berkumpulnya orang-orang eksentrik. Kemiskinan seperti membebaskan mereka dari standar-standar perilaku lumrah dan melucuti tuntutan hidup di zaman serba cepat.
ADVERTISEMENT
Ada Omen dan Gista, suami istri berbadan pendek dan berpakaian compang-camping, yang mata pencahariannya luar biasa.
Dulu, mereka menjual jamur tai sapi di sekolah-sekolah menengah. Hal yang menarik dari mereka adalah bahwa jamur yang mereka jual berasal dari papan GRC yang basah dan lembab. Para pembeli baru mengetahui hal itu setelah menyantapnya dengan semangkuk mi atau telur dadar, dan tentu saja tidak pernah menyampaikan keluhan.
Pasangan tersebut mendapat uang sebesar Rp250 ribu setiap minggunya. Dan dengan hidup yang sangat hemat, mereka selalu berhasil membuat diri mereka setengah lapar dan setengah mabuk.
Rumah tangga mereka goyah manakala Gista melahirkan anak kembar yang diberi nama Herna-Herni. Satu pagi, Omen dan Gista terlibat pertengkaran karena stok pangan dan susu bayi ludes. Pundi-pundi rupiah tidak ada. Teriakan marah dan mencekik salip-menyalip dengan suara pecahan kaca.
ADVERTISEMENT
“Ini pisaumu. Mari berduel,” teriak Omen.
Sambil terisak, Gista meresponsnya “Oke, mari kita buat kesepakatan. Yang mati harus bertanggungjawab akan masa depan anak-anak.”
“Sepakat!”
Atau ada Iyang, anak laki-laki kesayangan Arifin, yang dalam setahun hidup hanya menyimak curahan hati artis-artis ternama di Youtube.
Iyang nangis tersedu-sedu usai mendengarkan artis berinisial PL menceritakan masa lalunya. Dalam video, si artis berkata “Aku pernah hidup susah. Saat SMA, saya hanya menggunakan tas seharga Rp200 ribu, atau enggak Rp50 ribu di online-online shop. Enggak pernah merasakan tas bermerk.”
Tangis Iyang menjadi-jadi ketika mata si artis mengeluarkan air. “Sempat aku dihina teman sekelas karena telat bayar SPP dua bulan. Guru menahan kartu ujian. Waktu itu, ayah baru meninggal dunia, dan ibu tidak memegang uang.”
ADVERTISEMENT
Iyang larut dalam kesedihan. Padahal, si artis hanya bernostalgia dengan kemiskinan dan kesulitan yang sempat ia rasakan. Dan sekarang mereka sudah kaya raya. Semua kisah yang didengar akan diceritakan kepada Arifin yang tidak pernah berniat menyekolahkan anaknya.
Dari sekian banyak karakter eksentrik penduduk Cibunut, hanya Jana yang bijaksana. Menyandang predikat dedengkot, pernyataan ia kepada penduduk Cibunut selalu jadi titah.
Usianya sudah 55 tahun, tapi Jana masih aktif di berbagai Organisasi Masyarakat yang dekat dengan kekuasaan. Ia gemar berpakaian layaknya ustaz. Baju koko hitam dan pangsi dilengkapi dengan kopiah serta sorban yang menggantung di bahunya.
Jana selalu melaporkan kondisi gang Cibunut beserta penduduknya.
Pernah satu hari, ia berpidato di depan Pak Lurah dan pejabat tingkat kecamatan soal indeks kebahagiaan penduduk Cibunut yang lebih tinggi dibanding penduduk perumahan ASN.
ADVERTISEMENT
“Saya kira, bapak tidak usah repot-repot memikirkan kami. Penduduk Cibunut selalu percaya bahwa masalah betapa pun beratnya, akan pada akhirnya menghilang. Apakah bapak pernah mendengar riak-riak warga kami berdemo depan kantor?”
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. Pak Lurah masih sibuk berbisik-bisik dengan aparat keamanan.
“Tentu saja tidak. Penduduk Cibunut tidak mungkin mau menagih janji bapak soal 3 kilogram beras, 1 liter minyak goreng, 1 1/2 kilogram daging ayam, dan 2 kilogram sayuran setiap minggu. Mereka sudah lupa.”
Pak Lurah mulai memerhatikan Jana.
“Sebenarnya, mereka bukan lupa, tapi saya berusaha agar mereka melupakannya. Dua jam setelah bapak berpidato di depan mereka soal sembako, jika bapak/ibu terhormat ingin tahu, saya langsung berkata ‘Jangan memikirkan hal yang indah-indah. Sembako? Ah sudahlah.'”
ADVERTISEMENT
Pak Lurah meminta ajudannya untuk mengambil tisu. Keringat di dahinya mulai keluar.
“Mereka tidak protes dengan saran saya. Mereka sangat setuju dengan apa yang saya ucapkan. Arifin si germo itu justru bilang ‘Yang kita harus lakukan hari ini adalah memastikan besok kita masih hidup.”
Sudah puluhan lembar tisu menampung keringat Pak Lurah.
“Mau tahu tidak, Pak, layaknya menang perang, mereka berpesta. Anak-anak di angkat-angkat seperti piala. Semua berbahagia. Maka itu, saya memastikan penduduk Cibunut tidak hidup dalam tekanan. Mereka selalu merasa lega karena tahu bahwa mereka telah benar-benar tersingkir. Mereka tahu bahwa mereka jatuh dan tertimpa tangga. Hal itu membuat mereka tidak pernah gelisah dengan hidup atau kebijakan pemerintah.”
Jana berhenti sejenak. Ia coba menarik napas dalam-dalam.
ADVERTISEMENT
“Kita akan mati, meski semua piring di rumah ini terisi penuh makanan lezat! Itulah yang berulang kali saya sampaikan kepada mereka. Kalau sekarang tidak makan, dan melihat restoran membuang makanan bekas langganannya. Jangan marah atau bersedih. Toh, semua akan mati pada waktunya.”
“Jadi, Pak Lurah terhormat, tidak perlu pikirkan hidup kami. Yang perlu bapak pikirkan orang-orang yang mau baru jatuh atau yang baru jatuh tapi belum tertimpa tangga. Mereka sedang gelisah bukan main. Seperti RW sebelah. Hati-hati dengan mereka, Pak.”
Sangat menarik, Jana ini. Pidato Jana benar-benar menggambarkan karakter penduduk Cibunut.