Konten dari Pengguna

Janji Juan Sebastian Veron

Okky Ardiansyah
Selalu bermimpi setinggi langit, meski seringnya jatuh ke lautan.
9 Maret 2020 23:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okky Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: instagram @juansebastian.veron
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: instagram @juansebastian.veron
ADVERTISEMENT
Bagi Juan Sebastian Veron, janji harus benar-benar nyata, meski realitas tak seperti apa yang ia duga sebelumnya.
ADVERTISEMENT
19 tahun lalu atau tepatnya pada 2001, Veron meninggalkan puja-puji publik Italia. Julukan La Brujita atau penyihir kecil adalah salah satu bentuk pujian dari publik Italia.
Julukan tersebut koheren dengan kontribusi Veron. Bak penyihir, ia tak memerlukan waktu panjang untuk mengoleksi trofi-trofi bersama sejumlah klub Negeri Pizza.
Ketika bermain untuk Lazio misalnya. Veron hanya perlu satu musim untuk mengawinkan UEFA Super Cup, scudetto Serie A, dan Copa Italia. Pun demikian saat berkostum Parma, pria kelahiran La Plata, Argentina, itu merengkuh 2 trofi sekaligus: Copa Italia dan UEFA Cup.
Di Italia, sosok Veron memang luar biasa. Sebagai gelandang, ia terkenal keras. Dengan tubuh tinggi tegap, kepala plontos plus anting di telinga kanan-kiri, dan kumis-jenggot tebal, sebutan petarung lapangan tengah terdengar pas untuknya.
ADVERTISEMENT
Melalui daya imaji yang hebat, kaki Veron amat terampil menciptakan peluang dan ruang. Kapabilitas dribel dan tembakan jarak jauhnya berkontribusi besar mengharumkan curriculum vitaenya.
Saat mulai menyandang predikat gelandang kelas dunia, Veron mendapat pengawasan kepolisian Italia pada tahun 2000. Ia dicurigai membikin paspor palsu Italia --untuk menghindarkan dirinya dari kuota pemain non Uni-Eropa.
Kendati kecurigaan itu tak terbukti, nama Veron tak lagi wangi. Ia mulai menimbang-nimbang untuk pergi dari Italia. Dan Manchester United memanfaatkan situasi tersebut.
"Saya merasa tertantang dan tidak takut dengan Liga Inggris," ucap Veron dengan tegas ketika ditanya mengenai alasan kepindahannya ke Inggris pada musim 2001.
Pernyataan optimistis itu direspons Sir Alex Ferguson dengan apresiasi setinggi-tingginya. Veron, kata Ferguson, adalah pemain yang dapat menjadi pembeda. "Orang ingin mendapatkan yang terbaik saat menonton United. Dan kami telah mendapatkan sosoknya."
ADVERTISEMENT
Ada perbedaan besar antara sosok Veron di Italia dan Inggris. Di Italia, Veron adalah penyihir. Namun, di Inggris, ia hanyalah pesakitan yang akrab dengan cedera.
Pada musim pertama bersama Setan Merah, Veron langsung jadi andalan. Ia memainkan 40 laga di semua kompetisi dengan rangkuman 5 gol. Tapi, performa ia tidak secemerlang ketika berkostum Lazio dan Parma.
Veron berusaha memperbaiki minus pada musim kedua. Namun, ia kesulitan beradaptasi dengan strategi United. Ia pun bermain buruk. Belum lagi, cedera yang ia alami membuat media-media Inggris menghakiminya secara konsisten.
"He is a f***ing great player, and you`re all f***ing idiots," kata Ferguson dengan penuh amarah saat membela Veron di hadapan media.
ADVERTISEMENT
Kepelikan Veron dimanfaatkan oleh Claudio Ranieri. Ranieri, yang saat itu merupakan pelatih Chelsea, ingin mengombinasikan sepakbola Inggris dan Italia. Keinginan itupun diyakini Veron akan menyelamatkan kariernya.
Namun, kenyataan tidak demikian.
Meski berhasil menjadi penentu kemenangan Chelsea atas Liverpool dalam debutnya, perjalanan Veron bersama Ranieri berakhir dengan cedera dan kegagalan. Selama satu musim, ia hanya memainkan 14 laga.
Berteman akrab dengan kegagalan di Inggris, Veron buka suara. "Sulit bermain di liga yang memaksa kita berlari dan berlari."
Pernyataan itu terdengar tegas dan tajam. Menggambarkan semuanya. Dan tersaji dua pengakuan.
Pertama, Liga Inggris memang tidak cocok untuk Veron. Kedua, Veron mengakui bahwa ia bukan pesepakbola sempurna. Yang bisa bermain di manapun dan dalam kondisi apa pun.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Veron membuktikan ucapannya bahwa sepak bola Italia --yang mengedepankan strategi ketimbang determinasi-- adalah rumah baginya.
Selepas pergi dari Chelsea, Veron bergabung dengan Inter Milan sebagai pemain pinjaman. Bersama Nerazzurri, ia kembali bersinar. Berstatus sebagai pemain kunci, ia mempersembahkan 3 trofi Coppa Italia dan 1 trofi Serie A.

Pulang dengan Janji

Sukses bersama Inter Milan membuat Veron rindu tanah kelahiran, Argentina. Musim 2006-2007, ia menolak tawaran perpanjangan kontrak dari Inter Milan. Dan berhasrat bermain di Liga Argentina.
Dua klub raksasa Negeri Tango, Boca Juniors dan River Plate, menyodorkan tawaran. Namun, Veron tak merespons. Sebab, hanya ada satu klub Argentina di pikiran dan hatinya, yakni Estudiantes La Plata.
ADVERTISEMENT
Bagi Veron, Estudiantes merupakan tempat bersejarah. Ia belajar dan memulai karier sebagai pesepakbola di klub tersebut.
Ayah Veron, Juan Ramon Veron, dikenal sebagai legenda Estudiantes. Berperan sebagai striker, Juan Ramon Veron adalah kunci kejayaan klub berjuluk El Lion pada media 1960-an.
Salah satu trofi yang dipersembahkan Juan Ramon Veron yakni Piala Libertadores pada 1968. Trofi itu menjadi yang pertama bagi Estudiantes. Dan Juan Ramon Veron mampu mencatatkan hattrick dalam laga final.
Meski begitu, kecintaan Veron pada Estudiantes bukan semata-mata karena sang ayah.
"Saya menunjukkan bahwa saya punya kemampuan, bukan karena menjadi putra seorang pesepakbola profesional," kata Veron sebagaimana mengutip fourfourtwo.
"Memang, terkadang saya berpikir untuk melakukan hal yang lebih dari pemain biasa. Tapi, pikiran itu muncul karena saya mampu. Saya menikmati sepakbola, bukan karena ayah," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Hasrat yang terlaksana dibayar tunai dengan gelar juara Apertura 2007. Gelar itu menjadi yang pertama bagi Estudiantes dalam 23 tahun setelah mengalahkan Boca Juniors di final.
Estudiantes memang panggung kesuksesan bagi Veron. Pada 2009, ia berhasil mengulang keberhasilan sang ayah dengan memasukkan trofi Piala Libertadores ke kabin Estudiantes.
Setelah tujuh tahun berseragam Estudiantes, Veron memutuskan untuk gantung sepatu pada musim 2013/2014. Tak ada air mata dalam perpisahan yang mengharukan tersebut.
“Saya beruntung ada di klub ini sejak umur lima tahun, dan mengakhirinya di umur 39 tahun. Tidak ada alasan untuk menangis. Jika kau memberikan segalanya, kau tidak akan mendapatkan sesuatu yang buruk bagi dirimu sendiri," kata Veron dilansir oleh Eurosport.
ADVERTISEMENT
Di akhir pidato, Veron berjanji akan kembali bermain untuk Estudiantes apabila suporter memenuhi 65 persen stadion baru Estudiantes.
Janji adalah janji. Yang sudah terucap harus jadi nyata. Tak boleh tidak. Itulah prinsip yang dipegang teguh Veron.
Maka, di usia berapa pun dan dalam kondisi apa pun, saat suporter memenuhi 65 persen stadion baru Estudiantes, Veron wajib merumput, bertarung, berlari, menekel lawan, menembak bola, dan menyodorkan umpan, kembali.
Pada 28 Desember 2016, Veron menepati janji. Ia menandatangani kontrak berdurasi 1,5 tahun dengan Estudiantes di usia 41 tahun. Kendati tidak segarang dulu, kehadiran ia di lapangan adalah kebahagiaan bagi suporter Estudiantes.
Sekarang kontrak sudah berakhir. Dan Veron akan selalu diingat publik Estudiantes sebagai pesepakbola yang dapat dipegang omongannya. ***
ADVERTISEMENT