Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Stadion GBK dan Fragmen Masa Kecil tentang Sepak Bola
15 Januari 2018 13:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Okky Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dok. Pribadi
Tak pernah terbesit untuk menjadikan sepak bola sebagai ladang mencari rezeki. Memang, saat duduk di bangku sekolah dasar saya pernah bermimpi untuk menjadi pesepak bola. Setidaknya ingin menjadi seperti Dadang Hidayat atau Oliver Kahn. Ya, legenda Jerman yang galak itu.
ADVERTISEMENT
Sayang, saat itu -hingga saat ini- tubuh yang gempal dan hilangnya keinginan untuk mengurangi porsi makan memaksa saya untuk mengubur dalam-dalam impian tersebut. Singkatnya, orang tua tak merestui anaknya menjadi pesepak bola dan bergabung dengan salah satu Sekolah Sepak Bola (SSB), karena takut menjadi bahan olok-olok orang lain.
Sedih memang, tapi yang diucapkan orang tua seratus persen betul. Saat bermain bola, saya selalu jadi pusat tertawaan orang-orang. Namun saya tak pernah berkecil hati, karena saat bermain sepak bola, khayalan saya sangat liar, dan terus berusaha melakukan trik ciamik pemain bintang Brasil saat itu, seperti Ronaldo de Lima atau Rivaldo.
Tak usah ditanya, saya gagal melakukannya tapi pikiran liar saya terus memaksa agar mencoba lagi lagi lagi lagi dan lagi. Hingga orang yang tertawa melihat betapa andalnya saya mengolah si plastik budar. Sekiranya begitu.
ADVERTISEMENT
Saya sukses mempermalukan diri sendiri. Untuk itu, saya mencoba melampiaskan kecintaan saya pada sepak bola melalui televisi dan virtual game. Dan dari situ saya mulai menemukan kebahagiaan dari sepak bola.
Nasib orang siapa yang tahu, bukan? begitupun saya. Selama 18 tahun menjadi pesepak bola televisi dan tombol-tombol virtual game. Saya mampu menjadi pesepak bola, setidaknya pemain cadangan kesebelasan kumparan Sport.
Namun di sini saya tidak menjadi bahan olok-olok, sebab saya tak usah berlari atau menendang bola, hanya cukup menekan huruf pada laptop, dan memberi kabar tentang sepak bola.
Kendati demikian, ada sebuah momen yang mengembalikan fragmen-fragmen ketakutan dan kesedihan yang telah lama hilang. Yakni momen di mana saya harus meliput laga Indonesia melawan Islandia, Minggu (14/1/2018) di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Bagi banyak orang, SUGBK dengan tampang anyar sangat menggoda untuk dikunjungi. Tapi tidak untuk saya. Cerita ayah yang telah berpulang kembali menyelinap dalam pikiran. Cerita akan hal yang paling menyeramkan yang pernah dirasakannya kala berkunjung ke SUGBK pada medio 1990-an bercokol dalam benak saya.
Cerita yang tak dapat saya ingat seutuhnya, tapi ketakutannya masih dapat saya rasakan. Ia hampir meregang nyawa di stadion termegah di Indonesia saat ini.
Pernah suatu waktu saya mengajaknya untuk menonton Indonesia langsung di SUGBK, dengan tegas ia menolaknya. Maka dari itu, saat mendapat tugas liputan di SUGBK, ketakutan lah yang menyelinap pada pikiran saya.
Saking takutnya akan SUGBK, saya mencoba untuk membanggakan diri dengan mewartakan tugas saya kepada adik dan kakek -yang juga mencintai sepak bola-. Harapannya satu, agar mereka membayangkan saya berada di tribun penonton, dan saya memaksa untuk merasakan kehadiran mereka melalui bayang-bayangnya saja.
ADVERTISEMENT
Saat harinya tiba--ya, meliput laga tersebut--saya memutuskan untuk datang lebih awal, dan mencoba berkenalan dengan suasana stadion sebelum menjalankan liputan.
Nampaknya ketakutan saya sampai juga di kantor. Pesan untuk menikmati liputan saya dapat. Saya pun tersenyum dan tak akan mengecewakan klub saya.
Saya memilih untuk berjalan kaki mengelilingi SUGBK, tujuannya untuk menghilangkan ketakutan dan mencoba bersahabat stadion ini. Sampai akhirnya saya dapat merasakan bahwa SUGBK sangat ramah bagi seorang wartawan.
***
Dengan id card yang saya kenakan, saya dapat menjelajahi SUGBK dengan sangat mudah, tak ada teguran dari pihak keamanan atau panitia. Layaknya orang penting, saya mondar-mandir di area pemain dan pejabat.
Ketika laga akan dimulai, tak terasa ketakutan yang sempat ayah saya rasakan. Saya pun sangat menikmati teriakan 36.220 penonton yang hadir langsung.
ADVERTISEMENT
Saat lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan, mata saya berkaca-kaca dan kembali mengingat cita-cita yang sempat pupus. Akhirnya saya dapat menjadi pesepak bola di tribune depan laptop, hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Namun sebelum itu, ada hal yang menggelitik saya. Saat nama Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) disebut melalui tata suara berkekuatan 80.000 watt, penonton berteriak "Turun Turun Turun".
Saya lantas tertawa kecil dan menyimpulkan ada yang sedang tidak baik-baik saja di sepak bola Indonesia. Simpulan itu memaksa saya untuk kembali bercita-cita menjadi pesepak bola. Setidaknya di pinggir lapang dengan jari dan kabar yang tak dibuat-buat.
Sulit memang mewujudkan cita-cita mulia itu, tapi saya tak ingin mengubur cita-cita tersebut untuk kedua kalinya. Ini waktunya dan ini tempatnya.
ADVERTISEMENT