Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tafsir yang Berbeda Atas Syahrazad
26 Januari 2024 17:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Okta Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah seorang yang menyangkal tokoh Syahrazad dalam Dongeng 1001 Malam (Alfu Lailah wa Lailah) sebagai representasi perempuan ideal dalam konteks kemampuannya memutus kekerasan berbasis kekuasaan dalam negara dan keluarga, adalah Nawal Saadawi (1931-2021).
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang sastrawan cum feminis berkebangsaan Mesir, Saadawi menganggap bahwa Syahrazad adalah tokoh yang masih terjebak dalam dominasi laki-laki, sekalipun dipandang sebagai tokoh yang cerdas dan penuh daya juang. Saadawi menekankan bahwa penceritaan kisah-kisah oleh Syahrazad adalah tipu daya, selain sebagai hiburan.
Sekalipun tipu daya bersifat emensipatif karena dimaksudkan untuk menyelamatkan nyawanya sekaligus nyawa perempuan lain. Bagi Saadawi ini menandakan ketertundukan perempuan terhadap kepentingan laki-laki. Ketertundukan yang dikerjakan dari kamar tidur yang dibaca Saadawi sebagai simbol arena domestik perempuan.
Singkatnya, Saadawi menolak pandangan bahwa Syahrazad adalah simbol kecerdasan, keberdayaan, dan kepahlawanan perempuan, dan sebaliknya menyoroti bahwa peran Syahrazad lebih mencerminkan struktur kekuasaan patriarki yang melingkupinya.
Pandangan Saadawi seakan menekankan pentingnya membaca karya sastra dengan kritis, khususnya dalam konteks peran dan representasi perempuan. Kritiknya terhadap Syahrazad dapat dipandang sebagai bagian dari pandangannya yang lebih luas terhadap struktur kekuasaan patriarki yang memengaruhi kehidupan perempuan di masyarakat Arab.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, Syahrazad adalah salah satu tokoh utama dalam Dongeng 1001 Malam, kisah berbingkai yang bersumber dari berbagai rumpun kebudayaan, termasuk dari Persia, India, dan Arab. Sebelum dijumpai dalam bentuk tulisan (dengan berbagai versi dan edisi cetakannya) seperti sekarang ini, Dongeng 1001 Malam lebih dulu beredar dalam jalur tradisi lisan sejak abad ke-8 yang dimulai dari versi paling awalnya yang dinamakan Hazar Afsanah (Seribu Legenda).
Syahrazad, diceritakan sebagai anak perempuan seorang wazir yang merelakan dirinya dipersunting Raja Syahrayar. Dengan menjadi istri Syahrayar, Syahrazad berharap dapat memutus rantai kekerasan yang dilakukan Syahrayar terhadap istri-istri sebelumnya serta pada perempuan-perempuan lainnya yang selanjutnya. Syahrayar dikenal sebagai raja yang bengis dan kejam serta berkelainan secara seksual.
ADVERTISEMENT
Setiap hari, Syahrayar akan menikahi seorang perempuan yang berasal dari wilayah kerajaannya, untuk kemudian digauli pada malam harinya dan dipenggal kepalanya pada keesokan pagi. Setelah menghukum mati istrinya, Syahrayar pun akan menikahi seorang perempuan lain untuk diperlakukan sama seperti istri-istri sebelumnya: dinikahi, digauli, dan dibunuh.
Begitu seterusnya, hingga akhirnya Syahrayar menikahi Syahrazad. Alasan Syahrayar melakukan ini semua karena rasa sakit hati pada istri pertamanya yang berselingkuh. Sakit hati ini semakin menebal tatkala ia juga mendapati istri dari adiknya, yang juga seorang raja di wilayah lain, berselingkuh di belakang.
Saadawi bisa saja mengkritik tokoh seperti Syahrazad karena terkadang kisah-kisah dalam Seribu Satu Malam menunjukkan bahwa keberlangsungan hidup Syahrazad tergantung pada kecakapan berceritanya. Ini dapat dianggap sebagai ketergantungan perempuan pada kemampuan naratif mereka untuk mempengaruhi pria, yang dapat dianggap oleh Saadawi sebagai bentuk kontrol patriarki dan domestikasi.
ADVERTISEMENT
Saadawi mungkin mengkritik hubungan antara Syahrazad dan pangeran sebagai representasi dari pola ketergantungan perempuan pada pria. Dalam beberapa kisah Seribu Satu Malam, terlihat bahwa Syahrazad harus membuat dirinya bernilai dengan bercerita untuk mendapatkan perlindungan dari pangeran.
Selain Nawal, orang-orang yang menggaungkan revivalisme Islam juga menyangkal idealitas tokoh Syahrazad. Dongeng 1001 Malam, dengan tokoh Putri Syahrazad dan Raja Syahrayar sebagai sorotannya, ditolak sebagai bagian dari wajah keluhuran Islam era klasik. Ia tidak layak diromantisir atau dijadikan rujukan (melegitimasi) gerakan revivalisme Islam.
Gerakan revivalisme Islam akan selalu merujuk kisah-kisah Islam masa lalu dalam yang berhasil mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil, etis, beradab, serta berbagai capaian positif lainnya. Sementara di saat bersamaan, gerakan ini akan menyangkal kisah-kisah yang dinilai memperburuk wajah Islam yang luhur tadi. Seperti halnya penyangkalan pada Dongeng 1001 Malam.
ADVERTISEMENT
Imajinasi kita tentang Dongeng 1001 Malam, hingga hari ini, sangat bias kolonialisme Barat. Tentang bagaimana dunia Barat mengkonstruksi cara pandang terhadap Timur-Islam sebagai yang terbelakang dan amoral: yang penuh kekerasan dan kental dengan perilaku seks (genital) yang barbar. Termasuk bagaimana kita mengimajinasikan atau menilai Dongeng 1001 Malam yang juga sangat “Barat”.
Sebagian dari kita akan dengan spontan menyebut Dongeng 1001 Malam sebagai karya sastra yang mempromosikan kekerasan serta yang bernuansa erotis dalam pengertian melanggar tabu-tabu atau etika seksual. Spontanitas ini bisa jadi didasarkan atas pembacaan Dongeng 1001 Malam secara langsung sebagai teks sumber atau justru berdasarkan, salah satunya, melalui aktivitas menonton film-film alih wahana Dongeng 1001 Malam yang diproduksi oleh Walt Disney maupun Hollywood secara umum.
ADVERTISEMENT
Imajinasi semacam inilah yang diduga mengendap di banyak kepala aktivis revivalisme Islam, sehingga mereka pun menolak Dongeng 1001 Malam sebagai “bagian dari Islam”—sekalipun penggolongan sesuatu sebagai “Seni Islam” beserta alat ukurnya sangat longgar dan cukup terbuka untuk diperdebatkan.
Sepakat atau tidak sepakat, tafsir yang menyangkal Syahrazad, baik dari Nawal maupun dari gerakan revivalisme Islam, adalah sah dan wajar. Dan yang paling penting, tafsir ini diperlukan dalam suatu kegiatan analisis berikutnya.