Konten dari Pengguna

Proliferasi Senjata Nuklir: Ancaman atau Perdamaian?

Okta Herlina Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23 Oktober 2022 13:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okta Herlina Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Pixabay dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-pemandangan-pabrik-459728/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Pixabay dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-pemandangan-pabrik-459728/
ADVERTISEMENT
Keamanan internasional merupakan salah satu isu global yang cukup menjadi perhatian utama setiap negara. Keamanan merupakan bagian dari kepentingan nasional negara yang harus dijaga dan dipenuhi. Salah satu instrumen keamanan suatu negara adalah senjata, tak terkecuali dengan senjata nuklir yang hingga saat ini masih menjadi senjata yang mematikan. Bukan hanya itu, senjata nuklir juga menyebabkan kerugian yang sangat besar. Kita pasti ingat saat dimana bom nuklir pertama kali menghancurkan kota Nagasaki dan Hiroshima atas serangan dari Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Selain itu juga ada kasus bencana nuklir di Chernobyl yang memakan banyak korban, bahkan hingga saat ini kota tersebut tidak dapat ditinggali oleh manusia karena telah terkontaminasi oleh bahan radioaktif. Dapat dibayangkan betapa hebatnya kehancuran dan kerusakan yang disebabkan oleh nuklir.
ADVERTISEMENT
Melihat hal itu, senjata nuklir sebagai senjata pemusnah massal dianggap sangat kuat dan sulit ditaklukkan, sehingga membuat negara-negara dengan kekuatan besar (great power) berusaha untuk memperbanyak dan mengembangkan senjata nuklir yang dimilikinya. Akan tetapi, hal ini menuai berbagai pro dan kontra. Beberapa mengatakan bahwa apabila negara-negara besar tidak membatasi produksi senjata nuklir, maka hal ini dianggap akan mengganggu stabilitas perdamaian. Namun yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa kepemilikan senjata nuklir oleh banyak negara-negara di dunia atau dalam konteks ini adalah proliferasi senjata nuklir, tidak benar-benar mengancam perdamaian maupun memicu perang, melainkan merupakan produk dari perdamaian itu sendiri.
Isu terkait proliferasi nuklir menjadi salah satu isu penting yang mewarnai politik global. Atas dasar itulah kemudian dibuat suatu perjanjian yang disebut dengan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dimana perjanjian yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 ini bertujuan untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir. Perjanjian ini mulai berlaku pada 1970 dengan 191 negara yang tergabung dan terbagi menjadi 2 kategori, yakni negara-negara nuklir (Nuclear Weapon States) dan negara-negara non nuklir (Non-Nuclear Weapon States). Negara-negara nuklir yang diperbolehkan untuk memiliki senjata nuklir diantaranya yaitu Amerika Serikat, Rusia (bekas Uni Soviet), Britania Raya, Perancis dan Republik Rakyat Tiongkok. Kelima negara tersebut membentuk NPT sebagai bentuk komitmen untuk merealisasikan general and complete disarmament dan komitmen untuk tidak mengembangkan serta memperoleh senjata nuklir. Sehingga, perjanjian ini dianggap sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian, dimana hanya negara-negara besar yang memiliki senjata nuklir sehingga dapat menciptakan balance of power.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, NPT dibentuk akibat kekhawatiran yang timbul apabila banyak negara-negara di dunia memiliki senjata nuklir. Sehingga jika proliferasi nuklir terjadi dalam sistem internasional, maka hal itu dianggap dapat menggoyahkan stabilitas keamanan dunia, karena balance of power dianggap sulit untuk tercipta apabila negara-negara di dunia saling meningkatkan kekuatan mereka dengan mengembangkan senjata nuklirnya. Namun asumsi itu dapat dibantahkan oleh Kenneth Waltz di dalam artikelnya yang berjudul “The Spread of Nuclear Weapons: More May Be Better”, dimana menurutnya implikasi dari proliferasi nuklir ini ternyata malah menciptakan perdamaian.
Pada dasarnya, senjata nuklir ini benar-benar memiliki daya hancur yang sangat kuat dan massif, sehingga menciptakan efek deterrence yang cukup tinggi. Oleh karena itu, senjata nuklir yang dimiliki oleh suatu negara akan meningkatkan cost of war. Semakin banyak negara yang memiliki senjata nuklir, maka akan semakin tinggi pula nilai cost of war. Meskipun nuklir yang dimiliki negara-negara itu lebih kecil atau tidak seimbang dengan nuklir yang dimiliki oleh negara NWS (Nuclear Weapon States), tetap saja hal itu akan menciptakan cost of war karena efek dari nuklir walaupun hanya sedikit dapat menghancurkan dan menghasilkan kerugian yang sangat besar. Pengkalkulasian itulah yang kemudian memberikan pertimbangan kepada negara-negara untuk berperang.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ketika suatu negara hendak menyerang negara yang memiliki senjata nuklir, mereka cenderung akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Hal itu dikarenakan adanya ketidakpastian atas ancaman serangan balasan atau yang disebut sebagai retaliations dari negara musuh. Serangan yang dilakukannya hanya akan menjadi bumerang jika serangan awal yang dilakukannya tidak cukup kuat untuk melemahkan musuh. Sehingga kemungkinan terburuk yang akan didapatkannya adalah terjadinya perang nuklir. Sehingga disinilah peran senjata nuklir sebagai efek deterrence yang membuat negara-negara enggan atau perlu mempertimbangkan keputusan mereka untuk berperang.
Konflik yang terjadi antara India dan Pakistan pada tahun 1999 dan 2000-2001, yaitu ketika Pakistan melakukan aksi militer terhadap India, kemungkinan perang nuklir antar kedua negara tidak terjadi pada saat itu. Kemudian ketika perseteruan India dan Pastikan semakin memanas pada 2019, Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan bahkan menegaskan bahwa Pakistan tidak akan memulai perang, hal itu dikarenakan kedua negara sama-sama memiliki senjata nuklir, yang mana sudah pasti akan menciptakan kehancuran yang akan merugikan kedua belah pihak. Selain itu, kasus lain terkait senjata nuklir juga terjadi pada Korea Utara yang sebelumnya pernah menandatangani NPT, dimana ketika mereka melakukan uji coba nuklir, mereka kemudian terpaksa harus melakukan denuklirisasi demi mematuhi perjanjian NPT. Akan tetapi, Korea Utara lebih memilih untuk keluar dari perjanjian itu dibanding menghentikan uji coba nuklirnya.
ADVERTISEMENT
Peristiwa-peristiwa yang telah dijelaskan tadi membuktikan bahwa NPT tidak benar-benar efektif untuk menjaga perdamaian, hal itu dikarenakan NPT ini sebenarnya adalah salah satu cara Amerika untuk melindungi kepentingan nasionalnya, supaya kepemilikan nuklir oleh negara-negara di dunia dapat terbatas. Sebaliknya, berdasarkan data empirik dari analisa yang dilakukan oleh Asal dan Beardsley terhadap data International Crisis Behavior (ICB), terlihat bahwa proliferasi nuklir justru lebih efektif karena probabilitas konflik akan cepat berakhir tanpa kekerasan apabila melibatkan banyak negara-negara yang memiliki senjata nuklir.
Selain itu, proliferasi nuklir terbukti dapat menjaga perdamaian dikarenakan proliferasi nuklir itu sendiri pada penerapannya telah terjadi, dimana senjata nuklir tidak hanya dimiliki oleh negara-negara yang tergabung dalam NPT saja, melainkan negara-negara seperti Korea Utara, Israel, Pakistan, dan India juga telah memiliki dan mengembangkan senjata nuklirnya. Dalam kasus Korea Utara, kita juga dapat melihat bahwa NPT tidak dapat berjalan dengan efektif karena pada kenyataannya Korea Utara bahkan lebih memilih untuk keluar dari perjanjian tersebut demi menjaga kepentingan nasionalnya sendiri. Sehingga, dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa proliferasi ini merupakan salah satu produk dari perdamaian.
ADVERTISEMENT