Tata Ruang Ramah Pangan bagi Perkotaan di Indonesia

Okta Prastowo Raharjo
Okta Prastowo Raharjo, ST, MSc adalah Analis Kebijakan Muda pada Sekretariat Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian.
Konten dari Pengguna
1 Februari 2023 14:45 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okta Prastowo Raharjo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perkotaan di Indonesia yang didominasi rumah tapak yang boros ruang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perkotaan di Indonesia yang didominasi rumah tapak yang boros ruang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pangan merupakan hal yang pokok bagi kehidupan manusia. Menurut UU Nomor 18 tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
ADVERTISEMENT
Selama ini, keterkaitan sistem pangan dengan kebijakan penataan ruang masih terbatas pada isu-isu negatif dari sistem pangan di perkotaan seperti kerawanan pangan, kelaparan, meningkatnya penyakit tidak menular akibat gaya hidup (misal: diabetes, hipertensi, dan obesitas) serta limbah pangan yang terus menerus ada. Meskipun masih terbatas pada hal-hal tersebut, sebenarnya ruang dan sistem pangan selalu bersinggungan di banyak hal lain.
Penataan ruang dan pangan terhubung dengan banyak cara, namun sebagian besar kebijakan dan keputusannya masih melihat kota hanya sebagai penerima pangan yang dihasilkan oleh pedesaan atau kawasan pinggiran kota. Padahal aliran pasokan pangan ke kota menentukan fungsi pasar di kota dapat berjalan, cara rumah tangga perkotaan membeli, menyiapkan dan mengkonsumsi pangan, dan juga hal lainnya seperti masalah limbah, ekonomi pangan baik formal dan informal serta ragam pangan yang bisa didapatkan oleh penduduk kota (Haysom, 2021).
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID 19 juga semakin menegaskan bahwa penataan ruang sangat penting perannya dalam merancang dan memperbaiki sistem pangan yang ada secara struktural. Pandemi COVID 19 menuntut kota untuk memiliki akses yang cepat dan aman terhadap pangan. Mendekatkan kota dengan pangan menjadi suatu yang pokok ketika kuncitara wilayah adalah solusi untuk menanggulangi kegawatdaruratan wabah. Sebuah kondisi di luar kewajaran yang membuat perencana harus memikirkan kembali bagaimana ruang dan pangan bersinergi untuk kelangsungan hidup warga (Raja, 2020).

Penataan Ruang dan Pangan

Di Indonesia, dasar hukum Penataan Ruang dan Pangan didasarkan pada tiga peraturan perundang-undangan yang saling melengkapi. Undang-undang Nomor 26/2007 pasal 48 tentang Penataan Ruang mengamanatkan pemerintah untuk menyediakan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan. Amanat ini kemudian dijelaskan secara khusus dalam Undang-undang Nomor 41/2009 yang mengatur secara utuh perlindungan terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai wujud pencegahan terhadap berkurangnya lahan pertanian pangan dari upaya alih fungsi menjadi peruntukan lain. Sementara itu, pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 18/2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa dalam perencanaan pangan harus mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah guna memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Ketiga peraturan perundang-undangan ini menjadikan penyediaan pangan bagi masyarakat sebagai salah satu unsur penting, sekaligus menjadi kerangka kebijakan dan perintah konstitusi untuk memperhatikan secara khusus unsur pangan dalam penataan ruang.

Sistem Pangan

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memantau harga komoditas pangan di pasar besar Ratu Tunggal kota Pangkalpinang, Bangka Belitung, Minggu (18/9). Foto: Staf Presiden
Sistem pangan adalah istilah yang menggambarkan sistem dan proses yang saling terhubung dalam mempengaruhi isu-isu gizi, pangan, kesehatan, pengembangan masyarakat, dan pertanian. Sistem pangan juga mencakup semua proses dan prasarana yang terlibat dalam penyediaan makanan bagi populasi penduduk suatu wilayah, dimulai dari hal menanam, memanen, memproses, mengemas, mengangkut, memasarkan, mengkonsumsi, mendistribusikan, hingga pengelolaan limbah pangan dan barang-barang terkait makanan (American Planning Association, 2022) (Ericksen, 2008) (FAO, 2021). Jika dilihat lebih jauh, setiap tahapan dalam sistem pangan ini membutuhkan ruang dan lahan yang cukup dan sesuai. Oleh karena itu, kerangka kebijakan penataan ruang dan pangan akan mempengaruhi tiap tahapan dari sistem pangan yang diuraikan sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
a. Tahap menghasilkan pangan: meliputi kegiatan menanam dan memanen pangan yang dilakukan pada lahan-lahan yang direncanakan sebagai lahan budidaya pertanian pangan. Jumlah lahan pertanian pangan di Indonesia seluas 3,8 juta hektare dalam bentuk sawah yang telah dilindungi dari alih fungsi sesuai dengan Kepmen ATR/BPN Nomor 1589/2021.
b. Tahap mengolah dan mengangkut pangan: merupakan tahap yang memerlukan infrastruktur dalam arti luas untuk memfasilitasi sistem pengolahan terhadap hasil panen dan bagaimana cara mengangkutnya dari lahan ke pengolahan dan ke pasar, atau ke konsumen. Tahapan ini memerlukan input pengolahan seperti air, material kemasan, tenaga kerja dan energi, dan seringkali membutuhkan pembangunan infrastruktur yang khusus dibangun untuk memperlancar proses pengolahan dan pengangkutan pangan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, jalan bebas hambatan yang dibangun untuk memperkuat keterkaitan yang kuat antara sistem agribisnis pangan perdesaan dengan sistem pasar di perkotaan, atau sistem logistik nasional yang dirancang untuk mengefisienkan rantai pasok pangan. Ketersediaan bahan bakar fosil yang terjangkau juga membantu mempermudah masyarakat untuk mengakses pangan dengan harga termurah yang tersedia dari seluruh pasar pangan (Sumaryoto, 2010) (Yunani & Widijawan, 2020) (USDA, 2022).
c. Tahap pemanfaatan dan akses konsumen: merupakan tahapan yang sangat terkait dengan jarak penduduk dengan pusat produksi pangan. Sebagaimana kecenderungan global, penduduk Indonesia juga beraglomerasi di wilayah-wilayah perkotaan khususnya pulau jawa sebagai akibat dari urbanisasi. Hal ini membuat sebagian besar penduduk terpisah secara fisik maupun budaya dari sumber-sumber pangan yang membuat mereka sangat rentan terhadap kerawanan pangan.
ADVERTISEMENT
Hambatan spasial dan budaya ini juga mengubah pola konsumsi masyarakat yang cenderung mengkonsumsi cepat saji atau olahan yang mengakibatkan berbagai penyakit kronis, serta adanya area-area di perkotaan yang tidak mempunyai akses ataupun hanya mempunyai akses yang terbatas ke pangan segar atau diet sehat (food deserts) (Mardiansjah & Rahayu, 2019) (Mardiansjah, Handayani, & Sih Setyono, 2018) (Nisa, Fatihah, Oktovianty, Azhari, & Rachmawati, 2021). (Sadler, Gilliland, & Arku, 2016). Akses pangan dan pemanfaatannya juga membutuhkan ruang khusus untuk menyimpan dan mengolah makanan dan juga kemauan dan kemampuan untuk melakukannya (Nogeire-McRae, et al., 2018).
d. Tahap pengelolaan pasca konsumsi: tahap ini berkaitan jumlah limbah pangan pada setiap tahapan rantai pasok pangan. Limbah pasca-konsumsi biasanya berhubungan dengan sarana pengolah limbah seperti Tempat Pembuangan Sampah, pembakar sampah,dan lain sebagainya. Limbah pangan biasanya berbentuk organik dan bisa diolah menjadi kompos dan energi. Namun, fasilitas pengolah limbah ini kebanyakan tidak layak dikembangkan di dekat area permukiman (Mizwar, 2012). Akibatnya, ongkos angkut limbah pangan ke sarana ini menjadi mahal dan produsen pangan sulit mengaksesnya.
ADVERTISEMENT
Prasyarat keberhasilan kolektif para perencana untuk menerapkan kerangka dasar penataan ruang dan pangan pada tiap tahapan sistem pangan adalah jika proses penataan ruang dilakukan dalam lingkungan yang sehat secara ekologis. Hal ini dikarenakan sistem pangan sangat bergantung pada tanah yang sehat (Schreefel, Schulte, Boer, PasSchrijver, & Zanten, 2020), sistem air dan persungaian (Ringler, et al., 2022), keberadaan serangga untuk penyerbukan (Sluijs & Vaage, 2016), dan pengendalian hama (Popp, Pető, & Nagy, 2013) yang mana semua prasyarat ini harus didukung oleh keberadaan vegetasi asli dan keragaman hayati (Cramer, et al., 2017).

Masalah-masalah dalam sistem pangan saat ini

Konsumsi pangan mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan kronis seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, maupun kanker bagi banyak orang di Indonesia. Penyakit-penyakit kronis ini semakin tinggi risikonya bagi orang dengan obesitas, kolesterol tinggi, dan hipertensi. Asupan tinggi kalori, lemak jenuh dan garam, dan kurang asupan buah dan sayur adalah penyebab meningginya risiko ini (Santoso, 2011).
ADVERTISEMENT
Akses yang mudah terhadap berbagai jenis pilihan makanan sehat bagi penduduk dapat menjaga kesehatan masyarakat dari berbagai jenis penyakit kronis tersebut. Akses terhadap makanan sehat menjadi sulit apabila masyarakat tinggal di daerah yang mempunyai sedikit pasar/warung pangan dengan ragam pangan sehat dan terjangkau. Keterjangkauan pasar/warung pangan sehat dan murah menjadi faktor yang mempengaruhi apakah suatu daerah rentan terhadap kerawanan pangan (Hanani, Sujarwo, & Asmara, 2015).
Disparitas dalam pendapatan, lokasi, dan lingkungan sosial juga turut serta mempengaruhi akses terhadap makanan dan status kesehatan. Penduduk perkotaan di Indonesia cenderung lebih mudah mengkonsumsi makanan cepat saji karena secara lokasi, pendapatan maupun lingkungan sosial memungkinkan mereka dengan mudah membeli dan mengkonsumsi makanan cepat saji (Maksum & Satrio, 2018) (Pamelia, 2018). Sebuah studi oleh (Sandjaja & Sudikno, 2005) menunjukkan bahwa prevelensi obesitas di perkotaan lebih tinggi dibanding di pedesaan.
ADVERTISEMENT
Urban sprawl ditengarai menjadikan masyarakat tergantung dengan kendaraan pribadi atau memperlama jarak tempuh ke makanan. Urban sprawl telah mengubah wilayah-wilayah pinggiran kota menjadi area pemukiman dengan mengalih fungsi lahan pertanian. Akibatnya lahan-lahan pertanian semakin jauh dari tempat tinggal dan makin sulit diakses.
Hal ini akan mengakibatkan ongkos angkut pangan menjadi tinggi yang pada akhirnya ikut menentukan seberapa tinggi harga pangan. Masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan adalah kelompok paling rentan rawan pangan akibat tingginya ongkos angkut. Kerawanan pangan di perkotaan lebih dipengaruhi oleh akses dibandingkan ketersediaan (Hatab, Cavinato, Lindemer, & Lagerkvist, 2019).
Aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi pangan menyumbang dampak signifikan bagi lingkungan. Dampak signifikan ini biasanya hanya dilihat sebatas pada kondisi lansekap dan saluran-saluran air serta dampak langsung bagi tubuh manusia. Walaupun sebenarnya, dampak signifikan ini juga sangat berpengaruh luas, seperti: jumlah air yang dipakai untuk produksi pangan sebesar 70% dari cadangan air tawar dunia (Ringler, et al., 2022), sampah pangan merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang signifikan (Nikravech, Kwan, Dobernig, Wilhelm-Rechmann, & Langen, 2020), dan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati (Benton, Bieg, Harwatt, Pudasaini, & Wellesley, 2021).
ADVERTISEMENT

Tantangan-tantangan baru dalam sistem pangan

Kegiatan Serbu Pangan Murah yang digelar di lapangan Rindam Jaya, Jakarta, Rabu (28/12/2022). Foto: Dok. Kementerian Pertanian
Seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam ekologi manusia, tantangan-tantangan baru terhadap sistem pangan eksisting juga muncul, seperti:
1. Perubahan iklim: merupakan kondisi yang mempengaruhi dinamika dan ketangguhan sistem pangan. Perubahan iklim telah menyebabkan berbagai bencana seperti kekeringan, banjir dan peningkatan suhu yang mengakibatkan kegagalan panen atau menurunnya hasil pertanian secara kualitas maupun kuantitas (Wiskerke, 2015).
2. Ketergantungan dengan bahan bakar fosil: hal ini dikarenakan harga dan ketersediaan bahan baku fosil merupakan hal yang kritis bagi keberlangsungan sistem pangan. Bahan bakar fosil dibutuhkan dalam produksi pupuk dan bahan kimia untuk pertanian, pengangkutan dan distribusi pangan, serta dibutuhkan konsumen untuk mengakses pangan (Canning, Rehkamp, Waters, & Etemadnia, 2017).
ADVERTISEMENT
3. Alih fungsi lahan: merupakan akibat banyaknya tekanan dari proses urbanisasi. Alih fungsi lahan produktif di pinggiran kota membuat jarak dari sumber pangan semakin jauh dan sangat tergantung pada lahan-lahan pertanian yang kurang produktif (Mardiansjah, Handayani, & Sih Setyono, 2018).
4. Kelangkaan sumber daya seperti energi, air, lahan, dan tenaga kerja: hal ini mempengaruhi ketahanan sistem pangan. Ketersediaan sumber daya ini makin menurun bahkan mencapai kelangkaan akan mengancam jumlah pangan yang tersedia di masa depan (Wiskerke, 2015)
5. Wabah seperti COVID 19 telah menampakkan kelemahan sistem pangan eksisting dengan cara seperti terjadinya kelaparan penduduk kota dalam waktu singkat akibat berkurangnya pasokan pangan secara drastis (Raja, 2020) (Haysom, 2021).
Tantangan-tantangan baru inilah yang dapat dimanfaatkan oleh penataan ruang untuk terlibat dalam peran-peran baru. Penataan ruang perkotaan dapat menjadi cara untuk mengkonsentrasi daya dan upaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pangan khususnya air, unsur hara dan tenaga kerja. Sumber daya ini seringkali diabaikan dan dianggap sebagai limbah yang harus dibuang seperti air hujan, limbah cair, limbah organik dan air buangan (Schröder, Häfner, Larsen, & Krause, 2021).
ADVERTISEMENT
Apabila sumber daya terabaikan ini bisa dimanfaatkan diharapkan bisa menurunkan ketergantungan sistem pangan eksisting terhadap pupuk buatan seperti nitrogen dan fosfor. Peluang-peluang seperti inilah yang bisa dimanfaatkan dalam merancang dan membangun ruang untuk pangan.

Hambatan penataan ruang untuk pangan

Seperti isu-isu kontemporer dalam penataan ruang lainnya, isu pangan ini menjadi perhatian perencana namun sulit untuk diatasi. Perencana sadar bahwa pangan itu penting dan pokok bagi keberlangsungan hidup manusia sehingga perlu dialokasikan sejumlah lahan untuk pertanian dalam penataan ruang. Namun, skala dan kompleksitas sistem pangan eksisting dapat menyamarkan akibat dari keputusan penataan ruang terhadap pasokan pangan.
Perencana mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah dalam sistem pangan sebagai ‘wicked problem’ karena melibatkan masalah lingkungan kompleks yang membutuhkan solusi sistemik pada skala masyarakat. Perencana dan masyarakat melihat isu pangan ini bukan isu setempat tetapi lebih sebagai isu ‘dunia luar’ yang di luar kendali mereka. Hasilnya, isu pangan ini luput dari penanganan dalam penataan ruang karena dianggap sebagai isu sektor lain atau pihak lain (Brinkley, 2013). Sebagai contoh, sangat sulit untuk melihat dampak dari perubahan zonasi sepetak lahan pertanian menjadi pemukiman terhadap ketersediaan pangan di zona yang diubah peruntukannya tersebut.
ADVERTISEMENT
Prioritas juga terkait dengan anggaran dan waktu pelaksanaan. Menambah isu kontemporer seperti pangan berarti akan menambah biaya terutama untuk konsultansi serta memperlama waktu penyusunan rencana tata ruang (Haysom, 2021).
Bagi perencana, merencanakan ruang untuk pangan bisa dipandang sebagai turunan dari isu keberlanjutan. Hal ini berarti isu pangan bukan isu utama bila dibanding dengan isu yang lebih umum seperti penyediaan ruang yang inklusif untuk keberlanjutan kesejahteraan penduduk. Penataan ruang untuk pangan juga punya keterbatasan dalam hal ketersediaan perangkat untuk mengukur dampak rencana tata ruang terhadap pangan bila dibanding dengan isu lain seperti lahan atau perumahan. Unsur dengan data dukung yang terbatas biasanya bukan isu prioritas (Donovan, Larsen, & McWhinnie, 2011).
Dalam ranah UU nomor 26 tahun 2007, isu pangan dilimpahkan ke perencanaan kawasan budidaya pertanian. Hal ini membuat pangan hanya menjadi tanggung jawab sektor pertanian. Padahal pangan adalah entitas isu yang melibatkan sektor pertanian, kesehatan, ekonomi, transportasi, dan sosial budaya.
ADVERTISEMENT