Konten dari Pengguna

Mengulas Film Yuni: Kisah Gadis dengan Mimpi, Terbatas karena Budaya Patriarki

Oktavianna
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25 Desember 2021 14:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Oktavianna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar ini merupakan poster film Yuni yang berada di feeds Instagram Kamila Andini (Sutradara Film Yuni)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ini merupakan poster film Yuni yang berada di feeds Instagram Kamila Andini (Sutradara Film Yuni)
ADVERTISEMENT
Film Yuni merupakan film Indonesia yang disutradarai oleh Kamila Andini, tayang di bioskop sejak 9 Desember 2021 lalu. Film Yuni ini banyak diperbincangkan oleh kalangan masyarakat Indonesia dan banjir pujian usai menonton film Yuni. Bagaimana tidak banjir pujian? Film Yuni ini mengangkat eksistensi perempuan yang tidak hanya hidup dalam kodrat “sumur, dapur, kasur”. Namun, perempuan berhak berpendidikan yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Tokoh utama film Yuni ini bernama Arawinda Kirana yang berperan sebagai Yuni, seorang gadis penggemar warna ungu. Dapat dilihat, setiap kali barang yang dipakai Yuni selalu berwarna ungu. Hal ini menyebabkan Yuni dikenal dengan “Penyakit Ungu”, bahkan ia sering dipanggil guru hanya karena berkelahi dengan teman sekelasnya yang mempunyai barang berwarna ungu. Meski sering dipanggil guru hanya karena barang berwarna ungu, Yuni juga merupakan siswa yang pintar di sekolahnya. Namun, disayangkan sekali Yuni sangat rendah pada pembelajaran Bahasa Indonesia.
Salah satu guru di sekolah Yuni yang bernama Ibu Lies, selalu menanyakan perihal pendidikan Yuni selanjutnya. Yuni selalu disodorkan informasi-informasi mengenai beasiswa kuliah. Yuni sangat yakin dengan tekadnya untuk berpendidikan tinggi, namun impian Yuni terbelenggu oleh budaya patriarki yang masih sangat kental di daerah Serang Banten. Acap kali Yuni meminta solusi dengan kedua orang tuanya yang tidak tinggal bersamanya, namun orang tua Yuni mengembalikan lagi keputusannya kepada keinginan Yuni sendiri. Nenek Yuni yang tinggal bersama Yuni selalu mendorong Yuni untuk menikah muda usai lulus dari SMA. Bahkan, Yuni dilamar dua kali dengan lelaki yang ia tak cintai. Tetapi Yuni menolak lamarannya, ia tetap bertekad tinggi untuk memperjuangkan impiannya berpendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Sikap Yuni yang menolak dua kali lamaran ini menjadi ramai digunjingkan lingkungan dan sekolahnya Yuni. Lantaran mitos yang mengatakan “Jika perempuan menolak lamaran maka, tidak akan bisa menikah lagi”. Mitos ini membuat Yuni semakin dilema, akankah ia menerima lamaran atau ia melanjutkan pendidikan? Pertanyaan ini terus menghantui Yuni. Melihat kondisi teman-teman Yuni yang sudah menikah, salah satu temannya yang bernama Tika. Tika yang menikah ketika ia masih di bangku SMA, lalu memutuskan sekolah karena Tika menikah dengan pria yang ia cintai dan baru saja melahirkan seorang bayi. Akan tetapi, di tengah jalan rumah tangganya. Tika tidak dipedulikan suaminya dan keterbatasan ekonomi membuat rumah tangga Tika tidak berjalan baik. Kisah teman Yuni yang bernama Tika ini membuat Yuni ragu akan soal pernikahan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, film Yuni ini dengan poster film berlatarbelakang ungu ternyata mempunyai makna tersirat. Dalam posternya, Yuni terlihat sedang berdiri membelakangi foto-foto wanita lain yang terdapat di dalamnya coretan-coretan yang berisi tentang opini yang disematkan isu “Perempuan: Sumur, Dapur, Kasur”. Lalu, warna ungu yang sangat identik dengan film Yuni ini menggambarkan Yuni sebagai suara perempuan yang berani menyuarakan eksistensi perempuan yang sebenarnya. Selain itu, warna ungu ternyata memiliki makna tersendiri. Warna ungu sangat identik dengan gerakan perempuan yang biasa diperingati Hari Perempuan Internasional. Maka dari itu, film Yuni ini selalu diwarnai dengan warna ungu karena film Yuni ini berusaha membawa realitasnya mengenai mitos patriarki yang hanya memberatkan pihak perempuan.
Budaya patriarki masih sangat kental diberbagai daerah Indonesia, salah satunya daerah Serang Banten yang menjadi latar film Yuni yang berhasil menghidupkan adegan film yang membawa suasananya perkampungan sarat akan adanya mitos patriarki. Mitos patriarki ini selalu menitikberatkan soal perempuan, tidak ada keadilan yang dirasakan oleh perempuan mengenai budaya patriarki. Sebagaimana pada film Yuni yang menggambarkan bahwa perempuan tidak boleh menolak lamaran, atau perempuan harus menikah usai lulus dari SMA. Bahkan tergambar jelas pada film Yuni yang dimana Yuni dan teman-temannya sedang asik berbincang di depan pintu rumah Tika. Orang tua Tika menegur dengan mengucapkan “Jangan duduk di depan pintu, nanti tidak dapat jodoh”. Mitos patriarki pada film Yuni ini memberikan tantangan bagi perempuan. Maka dari itu, hadirnya film Yuni ini menjawab soal budaya patriarki yang hanya menitiberatkan perempuan. Film Yuni ini mengedukasi pemikiran-pemikiran orang tua terdahulu bahwa adanya keadilan untuk perempuan, khususnya pendidikan perempuan yang harus diperjuangkan.
ADVERTISEMENT
Mengutip pernyataan dari Simone de Beauvior pada abad ke-20 mengungkapkan bahwa “Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan”. Kutipan ini menimbulkan pertanyaan besar hingga zaman sekarang. Eksistensi perempuan yang hanya dikodratkan “dapur, kasur, sumur” ini menjadi bentuk ketidakbebasan perempuan. Lantas problematika ini memicu banyak pihak kontra dan pro. Namun, keresahan adanya problematika ini dijawab langsung oleh film Yuni yang sarat dengan edukasi mengenai keadilan kodrat perempuan. Bahwasannya perempuan bebas memilih pilihan-pilihan di setiap perjalanannya. Isu perempuan tak lagi mengenai perempuan harus menikah muda. Tetapi, mengenai jalan yang ingin ia tempuh sebagai pilihannya. Maka dari itu, film Yuni akan menjawab pertanyaan Simone de Beauvior bagaimana “sebagai perempuan” dan “menjadi perempuan”.
ADVERTISEMENT