Stratifikasi Sosial dalam Novel Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo

Oktavianna
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
22 Maret 2022 21:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Oktavianna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengkaji novel Student Hidjo dalam perkuliahan Kajian Prosa 4B UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber foto: pribadi dan secara langsung ketika perkuliahan
zoom-in-whitePerbesar
Mengkaji novel Student Hidjo dalam perkuliahan Kajian Prosa 4B UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber foto: pribadi dan secara langsung ketika perkuliahan
ADVERTISEMENT
Dalam bersosisalisasi di masyarakat banyak terjadinya penggolongan kelompok yang memperlihatkan segi sosial. Keberagaman strata sosial yang ada di Indonesia menjadi fenomena-fenomena menarik. Stratifikasi sosial adalah pengelompokkan golongan masyarakat sesuai dengan tingkatan kelas sosial. Stratifikasi sosial ini bersifat hierarki sosial yang membagikan beberapa tingkatan kelas kata dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Stratifikasi sosial dapat diukur dari kekuasaan, pendidikan, kekayaan, dan keturunan. Masyarakat yang masuk dalam golongan tingkat strata sosial atas, akan mudah mendapat pekerjaan yang layak, dan begitupun sebaliknya. Apabila golongan masyarakata dari tingkatan kelas sosial rendah, maka tidak akan bisa mendapatkan kedudukannya seperti golongan kelas atas.
Stratifikasi sosial sudah ada sejak masa kolonial. Dimasa masa kolonial strata sosial masih sangat terlihat dengan jelas. Sebagaimana karya sastra yang terbit pada masa pergerakan yang menceritakan kehidupan Indonesia zaman penjajahan. Pada masa ini, lapisan masyarakat digolongkan melalui perbedaan ras. Namun, pada zaman sekarang stratifikasi sosial dilihat dari kekuasaan, jabatan, dan kekayaan.
Stratifikasi sosial pada masa kolonial tergambar dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo yang terbit pada tahun 1918. Novel Student Hidjo merupakan salah satu novel kesastran perlawanan pada masa Hindia-Belanda. Mas Marco menggambarkan kestrataan sosial antara budaya Jawa dan budaya Eropa. Novel ini telah berhasil membuat pembaca menarik untuk membahas stratifikasi sosial yang ada.
ADVERTISEMENT
Stratifikasi Sosial pada Masa Kolonial
Hidjo adalah tokoh utama novel Student Hidjo, bumiputra kelahiran Tanah Jawa yang berusia 18 tahun merupakan lulusan dari sekolah Hoogere Burgerschool (HBS). Ayah Hidjo hanya seorang saudagar sederhana, oleh sebab itu ayah Hidjo ingin mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda agar kelak nanti anaknya menjadi insinyur dan keluarganya tidak dipandang dengan sangat rendah.
Tidak lama dari itu, Hidjo telah memutuskan untuk pergi ke Negeri Belanda, guna melanjutkan pendidikannya di sekolah insinyur. Tokoh Hidjo melalui ceritanya di Delf, berhasil membuat pembaca melihat stratifikasi sosial antara orang-orang pribumi dengan orang-orang Belanda. Bagi masyarakat Belanda, orang Hindia hanya bisa dijadikan “jongos” atau bahan suruhan orang Belanda yang tidak layak mendapatkan kedudukan dan pendidikan sebagaimana orang-orang Belanda.
ADVERTISEMENT
“Saya ini hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang sepeti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement.” (Student Hidjo, 1919: 2)
Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana stratifikasi sosial yang membedakan antara saudagar dan pegawai pemerintah. Saudagar pada masa itu masih dipandang rendah oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, sedangkan pegawai pemerintah dipandang mempunyai kekuasaan yang tinggi, sehingga memiliki lapisan masyarakat tertinggi di kehidupan sosial. Dapat dilihat kembali pada kutipan:
“Pikirkanlah, zaman sekarang ini, anak-anak lelaki harus mempunyai kepandaian yang sepantasnya. Sebab kalau tidak begitu, anakmu akan kesulitan mendapatkan pekerjaan ....” (Student Hidjo, 1919: 1)
Ungkapan dari Raden Patronojo ini menggambarkan bahwa stratifikasi sosial juga bisa dilihat dari tingkatan pendidikan. Orang-orang Hindia tidak layak berpendidikan tinggi, hanya orang-orang Belanda yang pantas berpendidikan. Oleh karena itu, ungkapan dari ayah Hidjo ini menjadi alasan kuat untuk mengirimkan anaknya ke Belanda guna memperlihatkan ke orang-orang Belanda bahwa pribumi juga bisa berpendidikan tinggi di Negara Belanda dan hendak mendapatkan pekerjaan yang layak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, stratifikasi sosial yang ada pada novel Student Hidjo dapat dilihat pula dari bagaimana orang Belanda memperlakukan orang Hindia seperti jongos. Sebagaimana yang digambarkan dalam cerita Student Hidjo. Ketika Controleur asal Tanah Jawa melihat Sergeant Djepris sedang memaki-maki orang Jawa yang menjadi jongos kapas, lantaran jongos itu kurang cepat melayani dirinya.
“Orang Jawa kotor, orang Jawa bodoh, orang Jawa malas, orang Jawa tidak beschaafd. Pendeknya orang Jawa atau orang Hindia itu adalah bangsa paling busuk sendiri!” (Student Hidjo, 1919: 155)
“Orang Jawa itu kalau tidak dikasih perkataan kasar, akan menjadi kurang ajar” (hlm. 154)
Ungkapan dari Sergeant Djepris yang hendak sekolah meliter itu ternyata menimbulkan konflik yang terjadi antara Controleur yang tidak menerima bangsanya dihina dengan Sergeant Djepris yang menjelekkan orang-orang Tanah Jawa dengan tidak sesuai apa yang sebenarnya. Sergeant Djepris ini menunjukkan kesombongan dirinya yang sedang menjalani pendidikan tinggi, sehingga ia melakukan tidak selayaknya dilakukan kepada petugas kapal asal Tanah Jawa.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, stratifikasi sosial yang ada pada novel Student Hidjo ini juga dapat dilihat dari segi kedudukan keluarga. Digambarkan pada cerita tersebut, ketika orang tua Hidjo ingin menjodohkan Hidjo dan Biroe kepada anaknya dari Bupati Djarak yang mempunyai kedudukan strata terbaik pada masa abad ke-19. Terlihat dari ungkpan tersebut:
“Apakah Raden Ayu dan Raden Mas Tumenggung tidak malu mempunyai anak kawin dengan anaknya orang yang hina seperti kita?” tanya Raden Nganten bergurau.
“Tidak Raden Nganten, zaman sekarang ini tidak ada lagi orang hina dan mulia. Kalau dipikir, sebetulnya semua manusia itu sama aja. Saya seorang Regent, itu kalau dipikir mendalam, saya ini tidak ada bedanya dengan jongos atau tukang kebun Belanda. Jadi, saya ini sebagaimana perkataan umum buruh. Maka dari itu, umpama anak saya kawin dengan anak tuan apa jeleknya? Asal yang menjalaninya suka!” begitu kata regent dengan panjang lebar kepada Raden Nganten. (Student Hidjo, 1919: 148)
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas membuat pembaca terbuka pemikirannya, bahwa stratifikasi sosial atau lapisan masyarakat itu tetap sama dan tidak ada perbedaan golongan masyarakat atas atau masyarakat rendah. Semua manusia itu tetap sama dan memiliki kedudukan yang sama rata, selayaknya mendapat hak apapun yang tidak dibatasi oleh stratifikasi sosial.
Dari cerita Student Hidjo ini dapat tergambar bahwa ada dua golongan strata sosial masyarakat. Pertama, kaum borjuis, yang artinya golongan masyarakat yang memiliki kekuasaan tetinggi. Kedua, kaum proletar, yang artinya kelas sosial bawah yang lemah dari segi ekonomi. Dalam novel ini, kaum borjuis atau orang-orang Belanda memiliki kekuasaan dan kedudukan yang lebih tinggi, lantaran ia menganggap bahwa orang-orang Hindia itu masuk ke dalam kelas sosial rendah dengan sebab tidak bisa berpendidikan dan kerja selayaknya orang-orang Belanda.
ADVERTISEMENT