Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Bai' Al-Wafa dalam Perspektif Fikih Muamalah
18 Juni 2021 20:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Resa Nur Oktavia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Fikih Muamalah terdapat istilah Bai' Al-Wafa. Di dalam artikel ini menjelaskan tentang sudut pandang atau perspektif tentang Bai' Al-Wafa dalam Fikih Muamalah.
ADVERTISEMENT
Bai' Al-Wafa dalam Fikih Muamalah biasa digunakan untuk menyebut akad jual beli yang dilaksanakan, di mana penjual atau pemilik barang yang dijual ketika melangsungkan transaksi penjualan itu tetap memelihara jaminan pengembalian barang yang dijual tersebut.
Apabila ia menginginkan, mengambil, atau membeli kembali barang tersebut selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan dengan timbangan harga yang terkadang sama dengan harga pembelian semula atau bisa juga berbeda harga.
Baik ditetapkan syarat pengembalian barang itu di dalam akad secara langsung atau disebutkan di dalam surat yang dibuat begitu selesainya kesepakatan ketika penyerahan barang tersebut.
Bai' Al-Wafa itu mengandung janji antara kedua pihak yang berakad bahwa penjual atau pihak yang berhutang memenuhi atau melunasi utangnya dalam tenggang waktu yang disepakati. Demikian pula sebaliknya, pembeli akan mengembalikan barang yang dibelinya (sebagai jaminan utang) apabila uangnya telah dikembalikan.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari segi sejarah, Bai' Al-Wafa muncul pertama kali di Asia Tenggara khususnya Bukhara dan Balkh sekitar abad ke-5 Hijriah dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam meminjam. Banyak di antara orang kaya ketika itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa adanya imbalan yang mereka terima.
Sementara banyak pula para peminjam uang tidak mampu melunasi utangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan uang yang harus mereka pinjam. Di sisi lain, imbalan yang diberikan atas dasar pinjam meminjam menurut ulama fikih termasuk riba. Maka untuk menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu menformat jual beli yang dikenal dengan Bai' Al-Wafa.
Dari analisa terhadap situasi dan kondisi sosial ketika itu, ada dua motivasi yang mendorong masyarakat melaksanakan Bai' Al-Wafa. Pertama, karena dorongan keterdesakan finansial untuk berbagai keperluan hidup dan rumah tangga, maka mereka terpaksa menjual barang yang sebenarnya mereka sayangi sehingga dalam akad penjualan itu mereka berusaha tetap memelihara barang yang dijual sebagai miliknya dan pada suatu saat bisa mengambil atau membeli barang tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua, ada orang yang sengaja melakukan akad Bai' Al-Wafa sebagai helah terhadap hukum rahn atau untuk menyembunyikan keuntungan ribawi dalam akad pinjam-meminjam. Sebagaimana diketahui bahwa dalam rahn pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian, demikian pula dalam pinjam meminjam pemberi pinjaman tidak boleh menarik keuntungan dari pokok pinjaman, kalau dua hal tersebut terjadi maka dinamakan riba sehingga terbentuk solusi dinamakan dengan Bai' Al-Wafa.
Mekanisme Bai' Al-Wafa sejak semula diakadkan sebagai jual beli, maka pembeli dengan bebas memanfaatkan barang tersebut. Hanya saja muncul kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa pembeli tidak boleh menjual barang tersebut kepada selain pemilik semula, karena barang itu merupakan sebuah jaminan atas utang yang harus dikembalikan dalam jangka waktu yang telah disepakati.
ADVERTISEMENT
Apabila pemilik harta tersebut telah mempunyai uang, maka ia harus mengembalikan utangnya dan pembeli harus mengembalikan barang tersebut.
Menurut Musthafa Ahmad Az-zarqa' apabila terjadi keengganan salah satu pihak untuk membayar atau menyerahkan barang setelah utang dilunasi, maka penyelesaiannya akan dilakukan melalui pengadilan.
Jika yang berhutang tidak mampu membayar utangnya ketika sudah jatuh tempo, maka berdasarkan penetapan pengadilan barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual dan dilunasi. Jika pihak yang memegang barang enggan menyerahkan barang ketika telah dilunasi, maka pengadilan bisa memaksanya untuk menyerahkan barang tersebut kepada pemiliknya.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa praktik jual beli ini saling memberikan keuntungan antar sesama pihak. Walaupun mereka menginginkan adanya suatu imbalan, namun di pihak lain mereka menolong pihak yang membutuhkan tersebut.
ADVERTISEMENT
Saling memberi keuntungan di sini maksudnya, pihak yang menjual mendapatkan sejumlah uang karena keperluannya yang mendesak sedangkan pihak lain mendapat barangnya (imbalan) dan barang tersebut dapat dimanfaatkan dan mereka melakukannya dengan unsur kerelaan.
Daftar Pustaka : Sarwat, Ahmad. 2009. Kampus Syariah.
Oleh :
Resa Nur Oktavia
Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malang