Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Euforia Pemimpin Baru: Mengapa Kita Merayakan Lalu Merasa Kecewa
23 Oktober 2024 18:44 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Okza Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden Indonesia dan memperkenalkan kabinet barunya, gelombang kegembiraan menyapu seluruh negeri. Banyak yang melihat momen ini sebagai awal era baru, penuh harapan dan janji. Rencana ambisius pemerintahannya, ditambah dengan kabinet yang beragam dan terstruktur baik, membangkitkan optimisme di hati jutaan orang. Mereka berharap kepemimpinan baru ini akan membawa perubahan yang telah lama dinantikan oleh bangsa. Namun, di balik euforia kolektif ini terdapat pola yang kerap terlihat, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia: kegembiraan awal yang mengiringi seorang pemimpin baru sering kali berujung pada kekecewaan.
ADVERTISEMENT
Mengapa masyarakat merasakan kegembiraan yang begitu intens ketika seorang pemimpin baru menjabat, hanya untuk merasa kecewa kemudian? Untuk memahami fenomena ini, kita perlu melihat dari sudut pandang psikologi, politik, dan perilaku sosial.
Euforia Kolektif Terhadap Perubahan
Perayaan yang mengikuti pelantikan pemimpin baru, seperti yang terjadi pada Prabowo, adalah manifestasi dari harapan kolektif. Secara psikologis, optimisme ini didorong oleh keinginan akan perubahan, terutama ketika masyarakat telah merasa kecewa dengan pemerintahan sebelumnya. Dalam psikologi politik, fenomena ini dikenal sebagai "ilusi optimisme", di mana orang cenderung percaya bahwa masa depan akan lebih baik hanya karena akan berbeda dari masa lalu.
Barbara Fredrickson, seorang psikolog ternama, mengembangkan teori broaden-and-build, yang menyatakan bahwa emosi positif seperti harapan dan kebahagiaan mendorong pikiran yang terbuka dan pemecahan masalah yang kreatif. Teori ini membantu menjelaskan suasana nasional selama pelantikan Prabowo. Ketika ia menjanjikan reformasi di bidang ekonomi, infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan, publik mulai membayangkan masa depan yang lebih cerah di mana masalah-masalah yang sudah lama bertahan akhirnya akan teratasi.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun harapan ini membangkitkan semangat, ia juga rapuh. Euforia kolektif sering kali bergantung pada harapan yang tidak realistis, terutama ketika orang percaya bahwa masalah yang kompleks dapat diselesaikan dengan cepat oleh satu individu atau pemerintah. Teori harapan dalam psikologi sosial menyatakan bahwa ketika harapan terlalu tinggi, ketidakmampuan untuk memenuhinya akan menghasilkan kekecewaan. Ini adalah pola yang berulang dalam masyarakat demokratis: kita mengharapkan pemimpin baru untuk menyelesaikan masalah bertahun-tahun dalam satu periode.
Efek Halo: Mengapa Kita Melebih-lebihkan Pemimpin Baru
Kekuatan psikologis lain yang berperan dalam euforia ini adalah efek halo, sebuah bias kognitif di mana kita menganggap bahwa seseorang yang unggul dalam satu bidang akan baik dalam semua bidang. Dalam kasus pemimpin politik, ini berarti bahwa jika mereka tampak karismatik, percaya diri, atau kompeten selama kampanye dan awal masa jabatan mereka, publik cenderung percaya bahwa mereka akan berhasil dalam semua aspek pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Drew Westen, seorang psikolog politik, dalam bukunya The Political Brain menjelaskan bagaimana pemilih sering kali lebih dipengaruhi oleh emosi daripada analisis rasional. Seorang pemimpin baru seperti Prabowo dapat dengan mudah menginspirasi loyalitas emosional dengan menampilkan kekuatan dan visi. Investasi emosional publik pada tokoh-tokoh semacam itu menciptakan optimisme kolektif dan kebanggaan nasional. Namun, ikatan emosional ini sering kali menutupi kenyataan praktis dan politik yang menanti pemimpin tersebut setelah mereka menjabat.
Tetapi seiring berjalannya waktu dan tantangan pemerintahan semakin terlihat, efek halo ini memudar. Orang mulai menyadari bahwa tidak ada pemimpin, tak peduli seberapa karismatik atau cakap, yang bisa menyelesaikan semua masalah secepat yang mereka harapkan. Kekecewaan pun muncul ketika kompleksitas kepemimpinan terungkap, dan ikatan emosional publik melemah.
ADVERTISEMENT
Mengapa Kekecewaan Tak Terhindarkan
Kekecewaan yang terjadi berasal dari kombinasi realitas politik yang kompleks dan harapan yang tidak realistis. Mengelola negara jauh lebih sulit daripada menyampaikan pidato kampanye. Seperti yang mungkin telah disadari Prabowo dan timnya, bahkan rencana yang paling baik pun sering kali terhambat oleh birokrasi yang lambat, oposisi politik, dan kompleksitas dalam mengelola negara sebesar Indonesia.
Teori bounded rationality dari Herbert Simon menyatakan bahwa pengambilan keputusan manusia terbatas oleh informasi yang tersedia bagi mereka dan kemampuan kognitif mereka untuk memproses informasi tersebut. Dalam politik, ini berarti pemilih sering kali membuat keputusan berdasarkan pengetahuan yang tidak lengkap tentang tantangan yang akan dihadapi oleh pemimpin mereka. Ketika mereka menyadari bahwa perubahan yang mereka harapkan tidak datang secepat yang diharapkan, kekecewaan menjadi tak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, expectation-reality gap memainkan peran besar dalam kekecewaan publik. Orang sering kali mengharapkan pemimpin baru untuk memberikan hasil instan, terutama pada masalah-masalah yang telah berlangsung selama bertahun-tahun atau bahkan dekade. Namun, perubahan signifikan membutuhkan waktu, dan ketika hasil tersebut tidak terwujud secepat yang diharapkan oleh publik, mereka mulai merasa kecewa, bahkan jika kemajuan sedang dibuat di balik layar.
Siklus Harapan dan Kekecewaan
Pola merayakan pemimpin baru diikuti dengan kekecewaan bukanlah fenomena yang unik di Indonesia. Ini adalah fenomena global yang berulang di berbagai negara dan sistem politik. Setiap pemilihan membawa harapan bahwa pemimpin berikutnya akan berbeda – bahwa merekalah yang akhirnya akan memperbaiki segalanya. Namun, berulang kali, publik kecewa ketika mereka menyadari bahwa masalah sistemik tidak dapat diatasi begitu mudah.
ADVERTISEMENT
Teori system justification dari John Jost menjelaskan siklus yang berulang ini. Menurut Jost, orang memiliki kebutuhan psikologis untuk percaya bahwa sistem yang mereka tinggali adalah adil dan dapat diperbaiki. Ketika seorang pemimpin baru menjanjikan reformasi terhadap sistem, orang secara emosional berinvestasi dalam keyakinan bahwa perubahan akhirnya akan terjadi. Namun, ketika perubahan tersebut tidak terjadi seperti yang diharapkan, orang-orang yang sama sering kali berbalik melawan pemimpin tersebut, menyalahkan mereka atas masalah yang dijanjikan untuk diperbaiki.
Mengelola Harapan dan Mempertahankan Keterlibatan
Memutus siklus kekecewaan ini membutuhkan baik publik maupun pemimpin untuk lebih hati-hati dalam mengelola harapan mereka. Bagi publik, ini berarti memahami bahwa tidak ada pemimpin yang dapat menyelesaikan semua masalah secara instan, dan bahwa reformasi signifikan sering kali membutuhkan waktu, kompromi, dan kesabaran.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pemimpin perlu transparan tentang tantangan yang mereka hadapi. Sejarawan Doris Kearns Goodwin, dalam bukunya Leadership in Turbulent Times, menyoroti pentingnya pemimpin untuk jujur tentang kesulitan yang ada. Pemimpin yang menetapkan harapan realistis dan berkomunikasi secara terbuka tentang kemajuan mereka lebih mungkin untuk mempertahankan kepercayaan publik, bahkan jika laju perubahan lebih lambat dari yang diharapkan.
Lebih jauh lagi, warga negara harus menyadari bahwa peran mereka dalam pemerintahan tidak berakhir setelah pemilihan. Mereka perlu tetap terlibat dalam proses politik, memegang pemimpin mereka bertanggung jawab, berpartisipasi dalam diskusi sipil, dan bekerja di dalam komunitas mereka untuk mendorong perubahan yang mereka ingin lihat. Teori demokrasi deliberatif berpendapat bahwa sistem politik yang sehat membutuhkan partisipasi terus-menerus dari warganya, tidak hanya selama pemilihan tetapi sepanjang masa jabatan seorang pemimpin.
ADVERTISEMENT
Euforia yang menyelimuti pelantikan Prabowo, seperti halnya banyak pemimpin di seluruh dunia, didorong oleh harapan kolektif, efek halo, dan investasi emosional. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh sejarah, kegembiraan ini sering kali berubah menjadi kekecewaan ketika realitas pemerintahan bertentangan dengan harapan publik. Dengan mengelola harapan secara lebih realistis dan mempertahankan keterlibatan warga secara aktif, kita dapat memutus siklus kekecewaan ini dan membantu membangun demokrasi yang lebih berkelanjutan dan efektif.
Pemimpin baru, seperti Prabowo, bukanlah mukjizat. Perubahan yang nyata dan berkelanjutan membutuhkan waktu, upaya, dan keterlibatan dari seluruh warga negara. Hanya dengan memahami kompleksitas ini kita dapat mengubah euforia awal menjadi kemajuan yang berkelanjutan.