Konten dari Pengguna

Presiden Baru: Musim Semi Demokrasi Indonesia?

Okza Wijaya
Peneliti di Sygma Research and Consulting fokus pada kebijakan publik, ekonomi politik dan demokratisasi
23 Oktober 2024 18:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okza Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tangkap layar youtube Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Tangkap layar youtube Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia pada Oktober 2024 menandai fase baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia yang penuh dinamika. Dengan segudang pengalaman politik, tantangan yang dihadapi pemerintahan Prabowo sangatlah besar. Banyak pihak mempertanyakan apakah masa kepemimpinan Prabowo akan menjadi "Musim Semi Demokrasi Indonesia" yang membawa pembaruan, atau justru mengarah pada potensi regresi demokrasi yang sempat teruji pada masa lalu.
ADVERTISEMENT

Arah Baru di Bawah Kepemimpinan Prabowo

Dalam pidato pelantikannya, Prabowo menggarisbawahi prioritas kebijakannya, terutama pada swasembada pangan dan energi, hilirisasi industri, pemberantasan kemiskinan, dan dukungan bagi kemerdekaan Palestina. Fokus utama pada ketahanan pangan dan energi merupakan refleksi dari visi kedaulatan nasional, suatu prinsip yang sering dikampanyekan oleh Prabowo. Langkah ini mendapat perhatian luas, terutama karena Indonesia masih bergantung pada impor untuk kebutuhan pokok seperti beras dan minyak bumi. Namun, gagasan besar ini memerlukan perencanaan yang matang serta dukungan kebijakan yang kuat di lapangan.
Dalam konteks demokrasi, Prabowo menempati posisi strategis untuk memperkuat pilar-pilar demokrasi yang sempat terkikis oleh pragmatisme politik. Namun, untuk mencapai hal ini, ia perlu menghadapi tantangan-tantangan internal, seperti politik uang, korupsi yang merajalela, serta polarisasi politik yang semakin tajam, terutama dengan adanya tuduhan bahwa pemilu ini dirasuki dengan nepotisme.
ADVERTISEMENT
Menurut Alexis de Tocquevilledalam karyanya "Democracy in America", salah satu tantangan utama dalam demokrasi adalah "tirani mayoritas", yaitu kecenderungan mayoritas untuk menekan hak-hak minoritas jika kekuasaan mereka tidak diimbangi oleh institusi yang kuat. Indonesia telah menunjukkan potensi risiko ini, terutama ketika isu-isu agama atau identitas sosial digunakan sebagai alat politik, yang semakin memperuncing polarisasi di masyarakat. Untuk menghindari situasi ini, pemerintah Prabowo harus menjaga keseimbangan antara kepentingan mayoritas dan hak-hak minoritas.
Dalam buku "On Democracy" oleh Robert Dahl, teori pluralisme dalam demokrasi modern menekankan pentingnya keterlibatan banyak kelompok dalam proses politik. Indonesia sebagai negara plural dengan lebih dari 17.000 pulau dan ratusan kelompok etnis menghadapi tantangan besar dalam menjaga kesatuan demokrasi ini. Prabowo harus memastikan bahwa seluruh elemen masyarakat, termasuk minoritas, memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT

Harapan dan Tantangan untuk Masa Depan Demokrasi Indonesia

Sejak Reformasi 1998, demokrasi Indonesia telah tumbuh pesat, dari sistem otoriter menjadi salah satu demokrasi terbesar di dunia. Pemilu presiden langsung yang diadakan secara rutin merupakan tanda dari kemajuan ini, dengan partisipasi politik rakyat yang meningkat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terlihat ada ancaman-ancaman terhadap demokrasi ini. Misalnya, maraknya penggunaan politik identitas selama pemilu 2019 dan 2024, serta menguatnya oligarki politik yang dapat mengancam akuntabilitas demokrasi.
Dalam bukunya, "The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century", Samuel P. Huntington menjelaskan bahwa gelombang demokratisasi sering kali diikuti oleh fase "gelombang balik" yang berpotensi mengembalikan negara ke arah otoritarianisme. Indonesia, dengan tantangan internalnya seperti korupsi yang terus berlanjut dan polarisasi politik, dapat berisiko mengalami "gelombang balik" ini jika Prabowo tidak mampu mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, langkah-langkah konkret yang mendukung transparansi, akuntabilitas, dan penguatan institusi-institusi demokrasi perlu diprioritaskan dalam masa pemerintahannya.
ADVERTISEMENT

Kepemimpinan Prabowo: Harapan atau Kekhawatiran?

Pelantikan Prabowo Subianto menjadi presiden ke-8 Indonesia membawa harapan baru bagi sebagian kalangan, terutama yang melihatnya sebagai figur kuat yang bisa membawa stabilitas dan pembangunan ekonomi. Namun, di sisi lain, masa lalu Prabowo sebagai seorang jenderal yang pernah terkait dengan pelanggaran HAM menimbulkan kekhawatiran bagi kelompok lain. Banyak yang mempertanyakan apakah kepemimpinannya akan membawa Indonesia pada pemerintahan yang lebih otoriter, mengingat retorika yang kadang-kadang keras selama masa kampanye.
Selain itu, penunjukan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden, yang merupakan putra Presiden Jokowi, juga menimbulkan perdebatan publik. Mahkamah Konstitusi sempat meloloskan Gibran meski usianya di bawah 40 tahun, dengan alasan pengalaman politik sebagai kepala daerah. Kasus ini mengangkat kembali isu nepotisme dan potensi dinasti politik yang bisa mengancam prinsip meritokrasi dalam demokrasi Indonesia.
ADVERTISEMENT

Refleksi dari Sejarah Demokrasi Indonesia

Sejak era Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno hingga era Orde Baru di bawah Soeharto, Indonesia telah melalui berbagai fase demokrasi yang penuh tantangan. Di bawah Orde Baru, demokrasi formal ada, namun kebebasan politik dan hak-hak sipil sangat dibatasi. Reformasi 1998 adalah titik balik penting yang membuka jalan bagi demokrasi yang lebih inklusif dan partisipatif. Namun, lebih dari dua dekade sejak Reformasi, Indonesia masih bergulat dengan masalah-masalah klasik dalam demokrasi, seperti korupsi dan lemahnya penegakan hukum.
Menurut Larry Diamond dalam bukunya "The Spirit of Democracy", demokrasi yang sehat memerlukan tiga pilar utama: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif rakyat. Jika salah satu pilar ini melemah, demokrasi berisiko mengalami kemunduran. Dalam konteks Indonesia, upaya pemberantasan korupsi serta penguatan lembaga-lembaga hukum dan politik sangatlah penting untuk memastikan bahwa demokrasi tetap bertahan dan tidak hanya menjadi alat bagi elite politik.
ADVERTISEMENT
Pelantikan Prabowo Subianto membawa harapan dan kekhawatiran sekaligus bagi masa depan demokrasi Indonesia. Di satu sisi, ia memiliki peluang untuk memperkuat demokrasi dengan kebijakan-kebijakan populis yang berpihak pada rakyat, seperti swasembada pangan dan energi. Namun, di sisi lain, tantangan besar seperti korupsi, nepotisme, dan potensi polarisasi politik yang lebih tajam menjadi ancaman nyata yang harus dihadapi. Apakah masa pemerintahan Prabowo akan menjadi "Musim Semi Demokrasi Indonesia" atau tidak, sangat bergantung pada bagaimana ia menangani tantangan-tantangan ini dan menjaga prinsip-prinsip demokrasi tetap utuh dalam menghadapi tekanan politik dan ekonomi.
Demokrasi Indonesia telah melalui perjalanan panjang, dan di tangan Prabowo, masa depan itu akan diuji kembali. Tantangan nyata menanti di depan mata, dan hanya dengan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi sejati, Indonesia dapat terus maju sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT