Konten dari Pengguna

Jalur Hukum di Tengah Perang Dagang: China Menantang Amerika di WTO

Maria Arnolda
Mahasiswi Universitas Krsiten Indonesia
14 April 2025 14:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Arnolda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
Di tengah memanasnya tensi geopolitik dan ketidakpastian global, langkah China membawa Amerika Serikat ke forum sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menarik perhatian internasional. Gugatan ini tidak hanya mencerminkan konflik kepentingan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, tetapi juga menjadi refleksi penting atas masa depan sistem perdagangan global yang tengah diuji.
ADVERTISEMENT
China menuduh AS telah melanggar prinsip dasar WTO melalui kebijakan kenaikan tarif impor yang ditujukan pada berbagai produk unggulan dari Tiongkok, terutama di sektor teknologi dan energi baru. Dengan memilih jalur hukum internasional, China tampaknya ingin menyampaikan pesan yang lebih besar: bahwa kendati kekuatan ekonomi menjadi modal utama dalam percaturan global, supremasi hukum tidak boleh ditinggalkan.
Sejak beberapa tahun terakhir, WTO kerap dinilai kehilangan relevansinya. Lembaga yang dahulu menjadi penjaga tata tertib perdagangan global ini belakangan dianggap lamban, tak efektif, bahkan diabaikan oleh negara-negara besar. Ketika konflik dagang antara China dan AS memuncak pada era Donald Trump, banyak yang mencatat bahwa mekanisme penyelesaian sengketa di WTO seperti diabaikan.
Namun kini, ketika China kembali menghidupkan mekanisme hukum formal, ini menjadi momentum untuk menilai ulang peran dan fungsi WTO dalam menjaga keadilan antarnegara. Gugatan ini tidak hanya soal kebijakan tarif, tapi juga menyentuh isu lebih besar: apakah aturan global masih punya kuasa di tengah dominasi kepentingan nasional dan kekuatan militer-ekonomi?
ADVERTISEMENT
Langkah China menggunakan jalur resmi bisa dimaknai sebagai usaha untuk memperkuat legitimasi WTO. Secara tidak langsung, Beijing ingin menempatkan dirinya sebagai pihak yang menghormati aturan main, bahkan saat dirugikan oleh kekuatan besar lain. Ini adalah narasi strategis yang tak hanya bersifat diplomatik, tapi juga simbolik.
Di sisi lain, Amerika Serikat mengklaim bahwa tarif baru mereka bertujuan untuk melindungi industri strategis dari praktik perdagangan yang tidak adil. Pemerintah AS menuduh China melakukan subsidi besar-besaran pada produk kendaraan listrik, baterai, dan semikonduktor, yang menurut mereka merusak persaingan pasar bebas.
Ironisnya, retorika ini datang dari negara yang selama puluhan tahun menjadi pendorong utama perdagangan bebas. Kini, dengan dalih “keamanan ekonomi nasional” dan “ketahanan industri domestik”, AS justru mempraktikkan bentuk-bentuk proteksionisme yang dulu mereka kecam.
ADVERTISEMENT
Jika proteksionisme baru ini dianggap sah dan bisa dilakukan tanpa konsekuensi, maka banyak negara lain berpotensi mengikuti jejak serupa. Situasi ini tentu membahayakan kestabilan sistem ekonomi global, terlebih di masa pasca pandemi dan ketegangan geopolitik yang belum reda.
Konflik ini membawa dampak besar tidak hanya untuk dua negara yang terlibat langsung, tetapi juga bagi seluruh dunia. Negara-negara berkembang seperti Indonesia bisa merasakan dampaknya dalam berbagai aspek, mulai dari perdagangan hingga investasi.
Ada potensi keuntungan dalam jangka pendek. Ketika pasar AS mengurangi impor dari China, mereka mungkin mulai mencari mitra dagang baru untuk memenuhi kebutuhan. Ini membuka peluang bagi eksportir dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk masuk menggantikan posisi China dalam beberapa lini produk.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, ketidakpastian pasar dan gangguan rantai pasok global dapat menjadi beban tersendiri. Banyak produk teknologi dan bahan baku industri di Indonesia yang masih bergantung pada kedua negara tersebut. Ketika hubungan ekonomi mereka terganggu, dampaknya bisa menjalar hingga ke industri dalam negeri.
Gugatan China ke WTO memberi pelajaran penting tentang pentingnya supremasi hukum dalam tata kelola global. Meski memiliki kekuatan ekonomi yang besar, China tidak memilih jalur balas dendam instan, melainkan menuntut keadilan melalui mekanisme yang telah disepakati bersama oleh komunitas internasional.
Ini memberi contoh bahwa hukum internasional tetap bisa menjadi alat yang sah dan strategis untuk memperjuangkan kepentingan negara, selama dijalankan dengan konsisten dan transparan. Langkah ini juga memperlihatkan bahwa negara-negara berkembang seharusnya tidak ragu menggunakan forum-forum internasional untuk menentang perlakuan diskriminatif atau ketidakadilan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Namun tentu, efektivitas langkah ini sangat tergantung pada kemampuan WTO dalam menyelesaikan kasus ini secara adil dan tepat waktu. Jika lembaga ini gagal mengambil keputusan yang kredibel atau justru tunduk pada tekanan politik negara kuat, maka legitimasi WTO bisa benar-benar runtuh.
Sebagai negara berkembang dengan posisi strategis di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki kepentingan besar dalam menjaga sistem perdagangan global yang adil dan stabil. Indonesia tidak boleh menjadi penonton pasif dalam konflik dagang ini, terutama jika dampaknya sudah mulai terasa pada ekspor, investasi, dan harga bahan baku industri.
Indonesia perlu memperkuat kapasitas diplomasi ekonominya, baik di WTO, G20, maupun ASEAN, untuk mendorong penyelesaian konflik secara damai dan berbasis hukum. Di saat yang sama, Indonesia juga harus menyiapkan strategi domestik untuk memanfaatkan peluang baru, sekaligus meredam potensi guncangan dari ketegangan dua negara besar ini.
ADVERTISEMENT
Dunia saat ini sedang berada di persimpangan jalan: antara kembali pada sistem global berbasis aturan, atau terjebak dalam pola dominasi ekonomi yang semakin eksklusif dan tidak berimbang. Gugatan China terhadap Amerika Serikat di WTO seharusnya menjadi momen reflektif bagi semua negara—bahwa supremasi hukum bukan sekadar retorika, tapi fondasi bagi perdamaian dan keadilan ekonomi global.
Negara-negara besar harus kembali menunjukkan komitmen terhadap lembaga internasional yang selama ini mereka bentuk bersama. Sementara negara-negara berkembang perlu lebih berani memanfaatkan jalur hukum yang tersedia untuk melindungi hak dan kepentingannya.
Karena dalam dunia yang terhubung seperti sekarang, kerugian satu negara besar bisa menjadi bencana bagi banyak negara kecil. Dan dalam sistem yang rapuh, ketidakadilan diabaikan bukan hanya akan menciptakan ketimpangan, tapi juga ketidakstabilan global yang tak berkesudahan.
ADVERTISEMENT