Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Inggris: Paradoks Negara Maju yang Masih Bergulat dengan SDGs 1 No Poverty
8 Januari 2025 13:02 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fx Oliver Neuville Buan Maran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemiskinan di Inggris mungkin terdengar seperti sebuah paradoks, mengingat citra negara ini yang terkenal dengan kemewahan arsitekturnya, seperti Big Ben, istana-istana kerajaan, serta industri hiburan globalnya. Inggris seolah menjadi simbol kemakmuran. Namun, di balik kemegahan itu, Inggris tengah menghadapi krisis kemiskinan yang cukup serius, bahkan dampaknya dirasakan hingga ke kelas menengah.
ADVERTISEMENT
Krisis kemiskinan mulai dari kalangan miskin yang sudah lama terpinggirkan hingga mulai menjalar ke masyarakat kelas menengah. Mereka yang sebelumnya dapat menikmati kehidupan yang relatif stabil kini juga merasa terhimpit oleh meningkatnya biaya hidup, baik akibat dampak pandemi COVID-19 maupun perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan lonjakan harga energi.
Kemiskinan yang terjadi di Inggris dapat diukur dari pendapatan bulanan yang berada di bawah £367-£150 jika dikonversikan ke rupiah sekitar 2-5 juta rupiah. Pada tahun 2020-2021, sebanyak 13,4 juta orang atau sekitar 20% dari populasi Inggris berada dalam kondisi miskin. Dari angka tersebut, 7,9 juta di antaranya adalah orang dewasa usia produktif, 3,9 juta anak-anak, dan 1,7 juta adalah lansia (Transport for London, 2023).
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia turut berperan dalam memperburuk kondisi ekonomi, dengan lockdown yang mengganggu banyak sektor pekerjaan. Meskipun Indonesia dan negara-negara lainnya mulai pulih, keadaan ekonomi di Inggris tidak sepenuhnya kembali ke kondisi sebelum pandemi. Lapangan pekerjaan yang tidak sepenuhnya pulih ditambah dengan dampak ekonomi dari perang Rusia-Ukraina membuat kondisi semakin buruk, dengan harga kebutuhan pokok dan energi yang melonjak.
Peningkatan harga barang dan energi ini memberikan dampak langsung pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Bagi mereka yang masih bisa memenuhi kebutuhan pokok, namun tidak memiliki pendapatan yang besar, lonjakan biaya ini membuat kehidupan semakin berat. Di tengah ketidakpastian ekonomi, banyak keluarga di Inggris yang merasa terjebak dalam dilema. Meskipun bekerja penuh waktu untuk mencukupi kebutuhan, mereka juga harus mengorbankan waktu untuk keluarga, terutama anak-anak. Untuk beberapa orang tua, kerja paruh waktu menjadi pilihan, agar tetap memiliki waktu untuk anak-anak mereka. Namun, bagi keluarga yang hanya memiliki satu orang tua, terutama ibu tunggal, mereka seringkali harus bekerja paruh waktu di beberapa tempat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Krisis ini juga memaksa banyak keluarga mengurangi pengeluaran mereka pada kebutuhan dasar, seperti mengurangi konsumsi makanan, membatasi penggunaan pemanas di musim dingin, bahkan mengurangi frekuensi mandi untuk menghemat biaya listrik. Fenomena "heat or eat" (hangat atau kenyang) menjadi pilihan yang sangat nyata bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan di musim dingin yang sangat ekstrem.
Bantuan Food Banks yang Menjadi Kontroversi
Di tengah krisis ini, banyak lembaga amal termasuk food banks, yang menjadi penyelamat bagi masyarakat yang membutuhkan. Food banks menyediakan makanan secara gratis bagi mereka yang kesulitan mendapatkan cukup makanan. Namun, keberadaan food banks juga tidak lepas dari kontroversi. Banyak orang yang merasa keberadaan food banks hanya menjadi solusi sementara, bukan pemecahan masalah utama.
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah utama yang dihadapi food banks adalah tingginya jumlah orang yang membutuhkan bantuan, sementara persediaan makanan sangat terbatas. Beberapa orang yang datang ke food banks bahkan bukanlah orang yang benar-benar membutuhkan, melainkan mereka yang mencoba mengurangi pengeluaran mereka dengan memanfaatkan bantuan makanan gratis. Banyak dari mereka yang
bergantung pada food banks sebenarnya menghadapi masalah lain, seperti kecanduan alkohol atau narkoba, yang memperburuk kondisi ekonomi mereka. Oleh karena itu, sebagian pihak berpendapat bahwa solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan bukanlah dengan mengandalkan food banks, melainkan dengan memberikan rehabilitasi, pendidikan, dan kesempatan kerja yang lebih baik agar masyarakat dapat keluar dari kemiskinan dengan usaha mereka sendiri.
Pandangan ini juga didukung oleh beberapa organisasi yang telah menutup food banks mereka karena merasa bahwa bantuan makanan gratis bukanlah solusi jangka panjang yang efektif. Sebaliknya, mereka lebih memilih untuk fokus pada penyediaan pelatihan dan kesempatan kerja bagi mereka yang terdampak kemiskinan, agar mereka dapat memperbaiki keadaan hidup mereka secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Situasi ini menjadi pengingat bagi kita bahwa krisis kemiskinan bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Meskipun Inggris dikenal dengan kekayaan budaya dan kemajuan ekonomi, kenyataannya masih banyak warganya yang hidup dalam kondisi sulit. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu memahami bahwa di balik kemajuan sebuah negara, masih ada tantangan sosial yang harus diatasi, dan solusi yang diberikan harus lebih komprehensif daripada hanya mengandalkan bantuan sementara.