Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Bertarung di Jalanan, Demi Mereka di Kampung Halaman
2 Januari 2025 18:13 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Olivia A Margareth tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang mahasiswa perantauan membuat saya bergantung pada bus travel untuk kembali menyambangi rumah di kampung halaman. Saya terhitung beruntung karena ada rute travel yang memiliki shuttle dekat dari kos dan dekat juga dari rumah. Terlebih, keluarga saya di rumah cukup ketat ketika hari libur tiba, saya akan segera diminta pulang. Termasuk pada saat lebaran tahun ini. Hari Lebaran yang berdekatan dengan Jumat Agung ini membuat saya harus pulang ke rumah lebih awal dari kawan-kawan saya yang lainnya. Seperti biasa, meskipun sedikit malas, pulang lebih awal tidak menjadi masalah karena bus travel yang saya selalu naiki ternyata memiliki jadwal keberangkatan yang bertepatan, sehingga meskipun saya mengulur waktu kepulangan, saya tidak mendapatkan celoteh omelan karena kepulangan saya masih terhitung tepat waktu.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga terjadi ketika saya kembali ke Jatinangor, di mana saya berkuliah. Sedikit latar, saya selalu kembali ke Jatinangor lebih awal untuk menghindari kemacetan. Lebaran tahun ini saya kembali ke Jatinangor pada tanggal 15 April, kalau lihat di kalender tanggal ini masih termasuk tanggal cuti bersama. Saya memutuskan untuk ke Jatinangor menggunakan bus travel lagi, karena kalau diantar, keluarga saya akan kena macet contraflow dan macet arus balik.
Kali ini saya duduk di sebelah sopir, yang mengucap Bismillah sebelum menancap gas dan memutar setir. Sehingga setidaknya saya tahu, sopir dengan perawakan bapak-bapak umur 40-an ini setidaknya merayakan kemenangan di Idul Fitri kemarin. Travel pun berjalan, memasuki tol MBZ. Sesuai dengan prediksi saya—meskipun tetap menjadi sumber kekecewaan—kami terjebak macet di KM 43, karena adanya penyempitan jalan akibat contraflow. Melihat banyak penumpang lainnya tertidur, saya pun memberanikan diri untuk mengajak Pak Asep berbincang—yang saya ketahui namanya setelah bertanya.
ADVERTISEMENT
Pak Asep sendiri berasal dari Tasikmalaya, ia dan keluarganya juga tinggal di sana. Kesiapsiagaan Pak Asep untuk mengantar penumpang melahirkan pertanyaan di dalam hati saya, "kalau tanggal segini sudah kerja di Jakarta, berarti liburnya Pak Asep terpotong dong?" Ternyata bukan liburnya yang terpotong, tetapi memang tidak libur. Ini bukan kali pertama Pak Asep, ini sudah tahun ketiganya tidak menghabiskan waktu libur Lebaran bersama istri dan anak di rumah. Jarak bukan alasan Pak Asep tidak pulang, saya yakin jalanan yang harus ditempuh tidak sebanding dengan kerinduannya akan keluarga. Tetapi ia terjebak pada pilihan tidak mendapatkan penghasilan atau tidak mendapatkan waktu untuk bercengkrama dengan keluarganya.
Pak Asep telah mengabdi sebagai sopir bus travel selama empat tahun, sehingga ia sudah terhitung sebagai sopir mitra. Statusnya sebagai sopir mitra juga yang membuat Pak Asep tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) pada lebaran tahun ini. Padahal kalau bersumber dari perkataan Menteri Ketenagakerjaan berlaku, Ida Fauziah, pekerja/buruh yang berhak mendapatkan THR adalah yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus-menerus atau lebih. Sehingga pendapatan Pak Asep terbatas hanya pada trip yang ia jalani, di mana setiap perjalanan pulang-pergi, Pak Asep diupah Rp140.000 ditambah uang makan Rp70.000. Kalau jadwal sedang penuh Pak Asep bisa mendapatkan dua trip tetapi, kalau sedang tidak ada penumpang, ya Pak Asep tidak akan mendapatkan upah.
ADVERTISEMENT
Ternyata, nasib tidak mendapatkan THR karena sudah terhitung sebagai mitra juga dirasakan oleh Mas Tiyo. Mas Tiyo sendiri adalah seorang kurir pick-up di daerah Bekasi. Di tempat Mas Tiyo bekerja, ia ditargetkan untuk mencapai 1296 titik pengambilan paket. Dengan jam kerjanya yang terhitung 12 jam, dari jam 3 sore sampai jam 3 pagi. Berarti perhari kerjanya, setidaknya ada 43 titik yang harus ia sambangi. Menjelang lebaran, menjadi high season bagi perusahaan ekspedisi, sehingga tidak ada libur menjelang lebaran. Namun, Mas Tiyo sendiri mendapatkan hari libur di tanggal 9,10, dan 11.
Beda perusahaan, beda juga kebijakannya. Kak Sansan sebagai kurir delivery di ekspedisi yang berbeda dari Mas Tiyo, tetap mengantarkan paket sampai menjelang hari lebaran. Dengan target perbulan 2350 paket, sehingga perhari harus mengantar paket ke hampir 80 titik—saya sendiri tidak mengira itu adalah hal yang mungkin dilakukan. THR yang ia dapatkan dikalkulasikan sebagai gaji bulanannya namun, uang tersebut baru bisa dicairkan H-3 sebelum hari lebaran.
ADVERTISEMENT
Hari Lebaran dimaknai sebagai hari kemenangan; atas diri sendiri; dan atas usaha menjaga kesucian hati dan jiwa selama bulan Ramadhan. Namun, ketika tidak mendapatkan hak yang seharusnya didapatkan, itu bukan kemenangan sepenuhnya, bukan?
perantauan membuat saya bergantung pada bus travel untuk kembali menyambangi rumah di kampung halaman. Saya terhitung beruntung karena ada rute travel yang memiliki shuttle dekat dari kos dan dekat juga dari rumah. Terlebih, keluarga saya di rumah cukup ketat ketika hari libur tiba, saya akan segera diminta pulang. Termasuk pada saat lebaran tahun ini. Hari Lebaran yang berdekatan dengan Jumat Agung ini membuat saya harus pulang ke rumah lebih awal dari kawan-kawan saya yang lainnya. Seperti biasa, meskipun sedikit malas, pulang lebih awal tidak menjadi masalah karena bus travel yang saya selalu naiki ternyata memiliki jadwal keberangkatan yang bertepatan, sehingga meskipun saya mengulur waktu kepulangan, saya tidak mendapatkan celoteh omelan karena kepulangan saya masih terhitung tepat waktu.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga terjadi ketika saya kembali ke Jatinangor, di mana saya berkuliah. Sedikit latar, saya selalu kembali ke Jatinangor lebih awal untuk menghindari kemacetan. Lebaran tahun ini saya kembali ke Jatinangor pada tanggal 15 April, kalau lihat di kalender tanggal ini masih termasuk tanggal cuti bersama. Saya memutuskan untuk ke Jatinangor menggunakan bus travel lagi, karena kalau diantar, keluarga saya akan kena macet contraflow dan macet arus balik.
Kali ini saya duduk di sebelah sopir, yang mengucap Bismillah sebelum menancap gas dan memutar setir. Sehingga setidaknya saya tahu, sopir dengan perawakan bapak-bapak umur 40-an ini setidaknya merayakan kemenangan di Idul Fitri kemarin. Travel pun berjalan, memasuki tol MBZ. Sesuai dengan prediksi saya—meskipun tetap menjadi sumber kekecewaan—kami terjebak macet di KM 43, karena adanya penyempitan jalan akibat contraflow. Melihat banyak penumpang lainnya tertidur, saya pun memberanikan diri untuk mengajak Pak Asep berbincang—yang saya ketahui namanya setelah bertanya.
ADVERTISEMENT
Pak Asep sendiri berasal dari Tasikmalaya, ia dan keluarganya juga tinggal di sana. Kesiapsiagaan Pak Asep untuk mengantar penumpang melahirkan pertanyaan di dalam hati saya, "kalau tanggal segini sudah kerja di Jakarta, berarti liburnya Pak Asep terpotong dong?" Ternyata bukan liburnya yang terpotong, tetapi memang tidak libur. Ini bukan kali pertama Pak Asep, ini sudah tahun ketiganya tidak menghabiskan waktu libur Lebaran bersama istri dan anak di rumah. Jarak bukan alasan Pak Asep tidak pulang, saya yakin jalanan yang harus ditempuh tidak sebanding dengan kerinduannya akan keluarga. Tetapi ia terjebak pada pilihan tidak mendapatkan penghasilan atau tidak mendapatkan waktu untuk bercengkrama dengan keluarganya.
Pak Asep telah mengabdi sebagai sopir bus travel selama empat tahun, sehingga ia sudah terhitung sebagai sopir mitra. Statusnya sebagai sopir mitra juga yang membuat Pak Asep tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) pada lebaran tahun ini. Padahal kalau bersumber dari perkataan Menteri Ketenagakerjaan berlaku, Ida Fauziah, pekerja/buruh yang berhak mendapatkan THR adalah yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus-menerus atau lebih. Sehingga pendapatan Pak Asep terbatas hanya pada trip yang ia jalani, di mana setiap perjalanan pulang-pergi, Pak Asep diupah Rp140.000 ditambah uang makan Rp70.000. Kalau jadwal sedang penuh Pak Asep bisa mendapatkan dua trip tetapi, kalau sedang tidak ada penumpang, ya Pak Asep tidak akan mendapatkan upah.
ADVERTISEMENT
Ternyata, nasib tidak mendapatkan THR karena sudah terhitung sebagai mitra juga dirasakan oleh Mas Tiyo. Mas Tiyo sendiri adalah seorang kurir pick-up di daerah Bekasi. Di tempat Mas Tiyo bekerja, ia ditargetkan untuk mencapai 1296 titik pengambilan paket. Dengan jam kerjanya yang terhitung 12 jam, dari jam 3 sore sampai jam 3 pagi. Berarti perhari kerjanya, setidaknya ada 43 titik yang harus ia sambangi. Menjelang lebaran, menjadi high season bagi perusahaan ekspedisi, sehingga tidak ada libur menjelang lebaran. Namun, Mas Tiyo sendiri mendapatkan hari libur di tanggal 9,10, dan 11.
Beda perusahaan, beda juga kebijakannya. Kak Sansan sebagai kurir delivery di ekspedisi yang berbeda dari Mas Tiyo, tetap mengantarkan paket sampai menjelang hari lebaran. Dengan target perbulan 2350 paket, sehingga perhari harus mengantar paket ke hampir 80 titik—saya sendiri tidak mengira itu adalah hal yang mungkin dilakukan. THR yang ia dapatkan dikalkulasikan sebagai gaji bulanannya namun, uang tersebut baru bisa dicairkan H-3 sebelum hari lebaran.
ADVERTISEMENT
Hari Lebaran dimaknai sebagai hari kemenangan; atas diri sendiri; dan atas usaha menjaga kesucian hati dan jiwa selama bulan Ramadhan. Namun, ketika tidak mendapatkan hak yang seharusnya didapatkan, itu bukan kemenangan sepenuhnya, bukan?
Tulisan ini ditulis pada 16 April 2024