Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
ODHIV Tidak Dapat Kerja dan Kegagalan Kita Sebagai Masyarakat
12 Januari 2025 10:26 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Olivia A Margareth tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada suatu siang hari yang sederhana, saya sebagai seorang mahasiswa yang sebentar lagi menginjak semester 6, memutuskan untuk menyelami aplikasi Jobstreet untuk melihat peluang-peluang magang yang sekiranya tersedia. Hari itu adalah kali pertama saya mengunduh aplikasi tersebut dan setelah beberapa menit saya mencari-cari lowongan sekaligus mengirim lamaran, saya mencoba untuk mengeksplor aplikasi. Layaknya aplikasi lain yang diperuntukan mencari pekerjaan, di Jobstreet juga terdapat laman komunitas atau community yang sering menjadi tempat curhat bagi para pengguna aplikasi. Masih mencoba untuk akrab dengan aplikasi ini, saya akhirnya mengklik unggahan komunitas teratas untuk melihat bagaimana aplikasi bekerja. Sayangnya, alih-alih membaca unggahan yang sekiranya memberikan tips bagi saya saat melamar, saya justru menyaksikan diskriminasi atas Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV).
ADVERTISEMENT
Kutipan ini telah mencerminkan diskriminasi yang masih ODHIV rasakan di dunia kerja. Meski pengetahuan dari sisi medis mengenai HIV telah berkembang pesat, nyatanya stigma dan ketakutan irasional terhadap HIV masih mengakar kuat. Sehingga banyak ODHIV yang bahkan tidak dapat mengakses hak-hak dasarnya untuk bekerja dan hidup layak.
Diskriminasi yang Sistematis
Diskriminasi terhadap ODHIV di dunia kerja kerap hadir dalam berbagai bentuk, seperti penolakan atas status HIV-nya, perlakukan tidak adil setelah tes kesehatan, dan bentuk-bentuk lainnya yang sudah pernah saya tuliskan di sini . Banyak perusahaan masih menggunakan tes HIV sebagai syarat kerja, meskipun praktik ini sebenarnya melanggar hukum. Ketakutan irasional sering kali didasari oleh stereotip dan kekeliruan edukasi, bukan fakta medis, seperti HIV menular melalui gigitan nyamuk, pekerja ODHIV tidak akan produktif, terus menjadi alasan yang digunakan untuk menjustifikasi regulasi yang merugikan ini.
ADVERTISEMENT
Dari data yang dipublikasikan oleh Sistem Informasi HIV AIDS Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (SIHA Kemkes ) pada 2023, sebanyak 64% dari jumlah ODHIV ditemukan yang dilaporkan termasuk dalam kelompok umur 25 - 49 tahun, yang mana kelompok umur tersebut termasuk dalam kelompok umur produktif. Bagi mereka, tentu dampaknya sangat besar. Kehilangan kesempatan bekerja berarti kehilangan akses akan stabilitas ekonomi dan layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Sebagai kelompok yang sering berasal dari kelas pekerja, mereka justru semakin rentan terhadap kemiskinan. Diskriminasi ini menjadi gerbong-gerbong penghubung dalam lingkaran setan yang sulit dipatahkan.
Ketimpangan antara Regulasi dan Praktik
Kebijakan pemerintah melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-68/MEN/IV/2004, Pasal 5 dan 6 telah mengatur bagaimana tes HIV dilarang untuk digunakan sebagai prasyarat. Pun tes tetap dilaksanakan, harus tanpa paksaan dan didasari perjanjian tertulis, serta harus dijaga kerahasiaan hasilnya. Selain itu dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah menyebutkan bahwa setiap pekerja memiliki hak yang sama tanpa diskriminasi berdasarkan kondisi kesehatan. Meskipun telah diatur dalam beberapa kebijakan yang berlaku, realitas di lapangan sering menunjukan hal yang berbeda. Kombinasi dari banyaknya perusahaan yang melanggar dan pengawasan dari pihak berwenang sering kali lemah, telah menjadi jalan buntu yang sulit untuk ditembus. Lemahnya implementasi dari regulasi ini menunjukan bahwa hukum tidak cukup untuk mengatasi diskriminasi. Sebuah regulasi hanya akan efektif jika ada pengawasan super ketat dan sanksi yang membuat jera. Namun, ketidaktegasan dari pihak pemangku kuasa ini lah yang justru membuat perusahaan merasa memiliki kebebasan untuk melanjutkan praktik diskriminasi mereka tanpa takut akan konsekuensi hukum.
ADVERTISEMENT
Selain itu, banyak pekerja yang tidak mengetahui hak-hak mereka. Ketidaktahuan ini membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi. Dalam konteks ODHIV, ketidakadilan ini menjadi semakin parah, karena mereka tidak hanya harus menghadapi diskriminasi dari perusahaan, tetapi juga dari masyarakat luas.
Untuk apa Peduli?
Terdapat dua alasan utama mengapa diskriminasi terdapat ODHIV ini harus bersama-sama dilawan. Pertama, dari sudut pandang medis , HIV tidak menular melalui kontak sehari-hari di tempat kerja. Penelitian telah menyatakan bahwa HIV hanya dapat menular melalui pertukaran cairan tubuh tertentu, seperti darah, cairan seksual, atau asi. Dengan pengobatan antiretroviral (ARV) yang rutin, ODHIV dapat mencapai kondisi viral load (istilah yang digunakan untuk merujuk jumlah virus di dalam darah seseorang) tidak terdeteksi, sehingga tidak bisa menularkan virus kepada orang lain. Mempertegas bahwasanya risiko akan sangat kecil atau bahkan tidak ada bagi rekan kerja atau perusahaan untuk mempekerjakan ODHIV.
ADVERTISEMENT
Kedua, dengan kacamata yang lebih luas pada akhirnya diskriminasi ini merugikan banyak pihak. Perusahaan kehilangan calon sumber daya berpotensi, dan masyarakat—terutama keluarga—harus menanggung biaya sosial dan ekonomi dari pengangguran ODHIV, contohnya anggota keluarga yang harus menanggung biaya pengobatan. Karena ketika ODHIV kehilangan pekerjaan, mereka juga kehilangan akses terhadap asuransi kesehatan dan penghasilan yang stabil, sehingga akan membebani sistem kesehatan dan kesejahteraan sosial. Lebih jauh, diskriminasi yang dibiarkan merebak ini melanggengkan lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak inklusif.
Diskriminasi dan Eksploitasi Kelas
Dalam sistem kapitalis, pekerja seringkali dipandang sebagai komoditas yang hanya bernilai sejauh mereka bisa mendatangkan keuntungan dan efisiensi. ODHIV, yang dianggap "berisiko," tidak dipandang sebagai individu dengan hak, martabat, dan potensi, tetapi hanya sebagai beban ekonomi yang harus dibebankan pada sistem. Ini adalah bentuk eksploitasi kelas yang lebih besar, di mana mereka yang berasal dari kelas pekerja, termasuk ODHIV, diperlakukan sebagai korban dari sebuah sistem yang hanya melayani kepentingan setan-setan kapitalis. Eksploitasi ini berakar pada logika kapitalisme yang memprioritaskan efisiensi dan produktivitas, yang hanya menguntungkan bagi mereka yang dianggap "sehat" dan tidak membutuhkan pengeluaran tambahan, seperti asuransi kesehatan atau tunjangan lainnya. ODHIV, yang membutuhkan biaya lebih tinggi untuk perawatan kesehatan, terpinggirkan dan dipandang sebagai pihak yang tidak menguntungkan secara ekonomi, walaupun mereka memiliki hak untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak. Lebih jauh lagi, kapitalisme menciptakan hierarki di dunia kerja, di mana individu dengan kondisi tertentu, seperti ODHIV, lebih rentan dieksploitasi atau bahkan dibuang dari sistem. Sebagian besar ODHIV berasal dari kelas ekonomi bawah, yang semakin terjerat dalam ketidakadilan struktural karena kehilangan akses terhadap pekerjaan layak. Tanpa pekerjaan, mereka tak mampu memenuhi kebutuhan dasar, dan tanpa akses ini, mereka semakin terpinggirkan dalam sistem yang terus mengeksploitasi dan mengabaikan kebutuhan mereka. Diskriminasi terhadap ODHIV bukan hanya masalah individu, tetapi juga persoalan struktural yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi terhadap ODHIV merugikan individu, perusahaan, dan masyarakat secara keseluruhan. Ketidakadilan ini mencerminkan bagaimana sistem kapitalis mengutamakan keuntungan di atas kemanusiaan, memperkuat eksploitasi kelas, dan memperburuk ketidakadilan struktural. Menghapus diskriminasi terhadap ODHIV adalah langkah termudah yang dapat kita lakukan, karena pada akhirnya ODHIV sama dengan kita, seorang manusia yang memiliki hak-haknya termasuk hak asasi manusia, hak untuk bekerja, hak untuk mengakses fasilitas kesehatan, hak untuk pendidikan, dan hak-hak lainnya. Mengakhiri diskriminasi ini membutuhkan lebih dari sekadar regulasi. Dibutuhkan kesadaran kolektif dan komitmen dari semua pihak—perusahaan, pemerintah, dan masyarakat luas—untuk menciptakan dunia kerja yang inklusif.
Ini bukan hanya soal hak, tetapi soal siapa kita sebagai manusia untuk menempatkan nilai kemanusiaan di atas keuntungan ekonomi, dan memperjuangkan solidaritas kelas pekerja yang inklusif.
ADVERTISEMENT