Ayah, Aku Harusnya Berkelahi dengan Kematianmu

Konten dari Pengguna
31 Maret 2018 10:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Opatriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ayah dan anak (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ayah dan anak (Foto: Unsplash)
ADVERTISEMENT
Aku sekarang merasa tak nyaman. Tiba-tiba saja aku berpikir bahwa kematian Ayah terjadi karena ketidakhadiranku tepat saat ia meregang napas terakhirnya. Kala itu aku sedang berada di luar kota, jauh dari rumah penuh kenangan itu; tempat di mana serangan jantung mendadak mampir ke tubuh Ayah.
ADVERTISEMENT
Dan kuharap dulu aku bisa hadir tepat di rumah itu, bukan malah bersenang-senang di kota asing yang bahkan tak satu pun kenangan menyisa--hanya sesak.
Kuharap dulu aku bisa hadir tepat waktu sebelum lonceng kematian Ayah berbunyi, saat jantungnya masih beriak-berirama. Dan lihat apa yang harusnya aku lakukan jika aku dapat hadir tepat waktu, Ayah! Aku akan bertarung melawan Malaikat Maut tepat ketika ia hendak menarik kasar nyawa Ayah. Kami akan main adu jotos, pamer jurus, tarung senjata (senjataku sebilah pedang panjang), hingga gontok-gontokkan sampai darah berlumuran.
Takkan kubiarkan Malaikat Maut sekalipun main menyentuhmu, Ayah.
Di tengah pertarungan sengit itu, mungkin aku bakal sempat jatuh tersungkur kesakitan kena sabitan. Darah muncrat dari bahu dan pahaku. Si Malaikat Maut punya kesempatan untuk mengangkat sabitnya tinggi-tinggi untuk bersiap membunuhmu. Namun, kemudian aku bisa bangkit kembali sebab aku adalah anak yang kuat, seraya kuingat katamu. Lalu urat-urat di tubuhku menyembul dengan darah mendidih panas di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Berlari ke arahnya, aku akan melompat tinggi sambil mengayunkan pedang dan menebas kepala si Malaikat Maut itu dengan gaya penuh kemenangan. Tersungkurlah ia di sana, menghilang jadi asap. Ia gagal mengakhiri nyawa Ayah lewat serangan jantung bodoh itu. Ayah selamat! Ayah selamat! Ayah selamat! Ya, aku akan bersorak tiga kali seraya menghampirimu di tempat tidur untuk berpelukan merayakan kemenangan.
Namun, gambaran akan senyum kemenanganku saat mengalahkan Malaikat Maut kiranya hanya akan nemplok di benakku saja. Abadi. Sekalian juga dua buah penyesalan abadi yang tak ketemu ujungnya: mengapa Ayah pergi dan mengapa aku tak menemani hari-hari terakhirnya.