Mengingat Krakatau dari Catatan Masa Lalu

Konten dari Pengguna
13 September 2019 8:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Omar Mohtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
22 Desember 2018, Selat Sunda bergejolak. Tanpa didahului gempa bumi, gelombang tsunami menerjang pesisir pantai barat Banten dan pantai selatan Sumatera. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, gelombang tsunami berasal dari longsoran erupsi Gunung Anak Krakatau yang sebelumnya menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik. Sistem peringatan dini tsunami yang dimiliki BMKG tidak dapat menangkap sinyal gejala tsunami karena tsunami yang terjadi bukan berasal dari aktivitas tektonik. Gelombang tsunami membuat 420 orang meninggal dunia dan membuat masyarakat kembali mengingat kejadian hampir serupa yang terjadi pada 27 Agustus 1883.
ADVERTISEMENT
27 Agustus 1883, setelah mengalami gejala peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Krakatau akhirnya meletus. Dalam Laporan Ekspedisi Cincin Api Kompas 2011 “Krakatau, Menyingkap Rahasia Kehidupan”, diceritakan bahwa sekitar dua bulan sebelum meletus hebat pada 27 Agutsus 1883 Krakatau sempat memuntahkan isi perutnya. Letusan itu membuat Selat Sunda dihujani material-material yang berasal dari dalam perut Krakatau. Letusannya tidak berlangsung lama dan tidak menimbulkan kerusakan.
Batu Karang yang terlempar hingga daratan karena tsunami letusan Krakatau (Sumber: Tropenmuseum).
Berbeda dengan letusan dua bulan sebelumnya. Letusan di tanggal 27 Agustus 1883 membuat daerah di sekitar Serang gelap gulita. Hal tersebut diketahui dari laporan Residen kepada Gubernur Jenderal Frederiks Jacob pada 27 Agustus 1883. Tak hanya dilanda gelap, pesisir barat Banten pun diterjang gelombang pasang yang kini disebut tsunami. Dalam Penerbitan Naskah Sumber Gunung Anak Krakatau Meletus 1883 banyak ditampilkan laporan-laporan telegram dari Residen Banten misalnya,
ADVERTISEMENT
“27 Agustus 1883 suara letusan Krakatau terdengar seperti kanon. Pada pukul 9 hujan turun dan keadaan menjadi gelap gulita.”
“Merak dan Caringin dihantam gelombang pasang. Mercusuar di Anyer hilang.....”
Suara letusannya terdengar hingga Semarang. Hal ini diketahui dari laporan telegraf yang dilaporkan oleh De Java Bode edisi 28 Agustus 1883. Menurut Robert Dick-Read dalam Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika letusan Krakatau terdengar hingga jarak 4.000 mil. Hal itu berarti letusannya terdengar hingga Perth di selatan, Mauritus di barat, Papua Nugini di timur, hingga pesisir selatan Tiongkok di sebelah utara.
Gelombang tsunami membuat banyak masyarakat menjadi korban. Selat Sunda menjadi berbahaya untuk dilewati kapal-kapal. Kehancuran tidak hanya terjadi di Banten. Daerah Lampung ikut porak-poranda akibat letusan Krakatau seperti yang dilaporkan pejabat pemerintah setelah kunjungan ke Sumatera pada September 1883. Dalam laporan lain, Residen Palembang juga melaporkan jika gempa laut yang terjadi membuat Teluk Betung menjadi hancur. Teknologi telegraf saat itu membuat kabar tentang letusan Krakatau 1883 dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kabar mengenai meletusnya Krakatau segera menjadi berita di koran-koran karena merupakan bencana alam besar pertama setelah ditemukannya telegraf bawah laut seperti yang ditulis Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883. Koran-koran kemudian juga turut menyampaikan kabar meletusnya Krakatau ini pada keesokan harinya.
ADVERTISEMENT
Kisah lain diceritakan oleh Muhammad Saleh dalam Syair Lampung Karam. Menurut Suryadi dalam artikelnya, The Tale of Lampung Submerged (The Newsletter No. 61. 2012) syair ini terdiri dari empat bagian. Secara berurutan, judul empat bagian syair tersebut adalah Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu, Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut, Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut, Inilah Syair Lampung Karam Adanya. Dalam artikel tersebut, Suryadi juga menjelaskan jika Muhammad Soleh menulis Syair Lampung Karam ini ketika berada di Singapura. Sebelum berada di Singapura, Muhammad Saleh berada di Tanjung Karang dan menyaksikan langsung letusan Krakatau. Syair ini kemudian diterbitkan menjadi empat bagian yang dicetak antara tahun 1883 hingga 1888.
ADVERTISEMENT
Suryadi dalam Syair Lampung Karam: Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883 menulis pada awalnya, para penduduk dibuat heran dengan datangnya abu yang kemudian diketahui berasal dari Pulau Rakata. Tak lama berselang, gempa bumi melanda Tanjung Karang yang diikuti dengan ombak besar. Penduduk banyak yang berlarian, masuk ke rumah menyelamatkan diri. Pada tengah malam gelombang laut mulai reda. Tetapi, gelombang laut yang lebih besar kembali melanda, kali ini penduduk yang berlindung di rumah pun tidak selamat. Belum hilang rasa takut penduduk, mereka kembali dikagektkan dengan bunyi keras seperti kanon yang terdengar tiga kali. Penduduk menganggap ini sebagai kiamat. Banyak diantara mereka yang mengucap doa dan minta ampun kepada Tuhannya.
ADVERTISEMENT
Parahnya akibat dari letusan Krakatau membuat pemerintah langsung bergerak dengan membuat Centraal-Comité setelah meletusnya Krakatau. Melalui komite ini banyak orang-orang yang menyumbangkan bantuannya untuk membantu para korban letusan Krakatau seperti yang disebutkan Maartje van Duijn dalam tesisnya, Rampen in Koloniaal Indonesië. Akan tetapi, kemudian ditemukan jika penyaluran dana yang dilakukan oleh lembaga ini tidak transparan. Banyak masyarakat yang menanyakan uang yang mereka sumbangkan, tulis Maartje.
Apa yang sudah terjadi di masa lalu merupakan pelajaran bagi kita yang hidup di masa kini. Catatan-catatan mengenai kejadian masa lampau yang berkaitan dengan bencana alam khususnya gunung meletus dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan sekarang dan di masa depan. Catatan tersebut memang tidak dapat menebak kapan bencana alam serupa akan terjadi. Tapi, dengan catatan tersebut dapat menjadikan kita lebih waspada, lebih mawas diri, dan lebih pandai melihat gejala-gejala alam.
ADVERTISEMENT