Konten dari Pengguna

Ular Besi di Lembah Serayu

6 Desember 2018 8:42 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Omar Mohtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ular Besi di Lembah Serayu
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
(Kereta uap Serajoedal Stoomtram Maatschapppij melewati persawahan, sumber: http://collectie.wereldculturen.nl)
Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 01.00 WIB. Kereta api Senja Utama Yogyakarta yang saya tumpangi berjalan perlahan dan tiba di Stasiun Purwokerto. Samar-samar terdengar lirik genta Stasiun Purwokerto “di tepi Sungai Serayu, waktu fajar menyingsing, pelangi merona warnanya, nyiur melambai-lambai”. Ingatan saya pun langsung tertuju ke Sungai Serayu dan perusahaan kereta api Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS).
ADVERTISEMENT
Kereta api di masa kolonial muncul dari daerah-daerah yang mempunyai hasil perkebunan, salah satunya adalah Lembah Serayu (wilayah eks Karesidenan Banyumas hingga Wonosobo). Wilayah ini dikenal sebagai daerah yang subur dan banyak terdapat pabrik gula.
Gula-gula ini setelah diolah diangkut menuju Cilacap. Pengangkutan ini pada awalnya sangat bergantung dengan Sungai Serayu. Sebagai contoh, pada tahun 1890 pabrik gula Klampok mengirim sekitar 1.890 ton hasil gula produksi pertama ke Pelabuhan Cilacap melalui Sungai Serayu (Basundoro, 2008:64). Kebutuhan sistem pengangkutan modern dirasa semakin mendesak untuk dibangun di Lembah Serayu.
Pemerintah Hindia lalu mengeluarkan izin untuk membuka jalur trem di Lembah Serayu. R.H. Eysonius de Waal ditunjuk untuk membangun rel di Lembah Serayu melalui perusahaan Serajoedal Stoomtram Maatschappij (Zuhdi, 2002:48). Sebelum mulai membangun jalur, SDS menyiapkan segala keperluan untuk proses pembangunan.
ADVERTISEMENT
Pada 13 September 1894, SDS menyerahkan rencana pembangunan jalur pertama dari Maos hingga Banjarnegara (De Locomotief, 5 Agustus 1895). Pembangunan dimulai dari Maos karena terdapat stasiun milik SS yang merupakan bagian jalur Cilacap – Yogyakarta. SDS juga mengadakan pertemuan dengan Direktur Burgerljke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) untuk mengadakan perjanjian kerjasama terkait dengan perpanjangan jalur dari Maos sampai ke Banjarnegara (De Locomotief, 24 Oktober 1895). Pembangunannya mulai dikerjakan pada pertengahan tahun 1895 dan dipimpin oleh Ir. C. Groll (Reitsma, 1916:101).
SDS membangun jaringan rel bersisian dengan Sungai Serayu. Pembangunan dimulai dari Stasiun Maos, yang merupakan stasiun milik Staats Spoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunan jalur sepanjang kurang lebih 129 km ini dilakukan dalam tiga tahap, sesuai dengan surat izin yang dikeluarkan pemerintah. Dalam Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I (1997), disebutkan pembangunan tahap pertama antara Maos hingga Banjarnegara selesai dibangun antara tahun 1886 hingga 1898.
ADVERTISEMENT
Pada 1898, SDS membangun jalur baru dari Banjarsari menuju ke Purbalingga sejauh 7 km. Menurut Purnawan Basundoro, jalur Banjarsari - Purbalingga dibangun untuk mengakomodasi dua pabrik gula yang ada di sekitar jalur ini, yaitu Pabrik Gula Kalimanah dan Pabrik Gula Bojong. Sementara itu, pembangunan tahap ketiga antara Banjarnegara hingga Wonosobo sepanjang 35 km selesai dibangun antara tahun 1916 dan 1917. Setelah ruas antara Maos hingga Banjarnegara disatukan dengan kereta api, pengangkutan hasil perkebunan dan gula menjadi lebih cepat.
Sama seperti di daerah lain, kereta api di Lembah Serayu yang awalnya hanya digunakan sebagai sarana pengangkutan hasil perkebunan kemudian digunakan juga sebagai sarana pengangkutan manusia. Jaringan rel milik SDS menjadi andalan masyarakat Lembah Serayu hingga tahun 1930. Setelah itu, pengangkutan hasil perkebunan maupun penumpang mulai berkurang setelah terjadinya Depresi Besar pada tahun 1930. Depresi Besar membuat produksi gula menjadi menurun (Zuhdi, 2002:106).
ADVERTISEMENT
Setelah Indonesia merdeka, jalur peninggalan SDS masih digunakan sebagai sarana transportasi hingga masa Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Pada tahun 1978, jalur ini dinonaktifkan oleh pemerintah (Kompas, 20 November 2015). Sejak saat itu, suara deru mesin kereta api tak lagi terdegar di Lembah Serayu.