Konten dari Pengguna

15 Hari Berteman dengan Corona

Muhammad Amin Cakrawijaya
Saya adalah seorang pemerhati tata ruang dan lingkungan, memiliki pendidikan s1 di bidang perencanaan wilayah dan kota serta s2 di bidang manajemen infrastruktur, dan saat ini bekerja di Project Management Office (PMO) Jabodetabekpunjur.
5 Desember 2020 20:43 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Amin Cakrawijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Saya adalah seorang penyintas Corona, istilah keren untuk orang yang sudah sembuh dari Corona. Meskipun telah dinyatakan sembuh, banyak juga yang masih parno dengan status “penyintas Corona” yang saya miliki.
ADVERTISEMENT
Namun saya paham dengan kondisi tersebut karena kebijakan “sembuh” yang berbeda-beda dari masing-masing unit perawatan atau rumah sakit, selain memang tidak banyak juga orang yang cukup rajin untuk memperbaharui pengetahuannya terkait Corona melalui jurnal-jurnal terkait.
Kebanyakan orang hanya mengikuti apa yang melintasi lini media sosial mereka, yang sumbernya bisa jadi dari opini masing-masing penulis.
Namun apa yang akan saya ceritakan melalui tulisan ini bukan soal bagaimana Corona melalui pendekatan medis dan penelitian –itu biar para ahli yang menyampaikan, tetapi terkait dengan pengalaman saya berteman dengan Corona, terutama selama masa awal gejala dan perawatan di rumah sakit selama 15 hari; karena Corona itu nyata!
Bagaimana rasanya? Kenapa sampai 15 hari? Apakah sudah aman untuk beraktivitas kembali? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini seringkali terlontar dari orang-orang di sekitar saya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja pengalaman masing-masing penderita akan berbeda-beda. Rasa dan lama perawatan tentu saja dipengaruhi oleh banyak hal seperti gejala yang diderita, tingkat imunitas masing-masing orang, hingga pelayanan kesehatan yang dipilih.
Ada yang menunggu lama hingga mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, ada juga yang langsung mendapatkan akses pelayanan kesehatan tapi harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal; ada juga yang cukup dengan memisahkan diri tapi tetap di rumah. Kebetulan, saya memilih untuk dirawat di rumah sakit, dibantu dengan asuransi dari kantor tempat istri saya bekerja.
Awal Mendapatkan Gejala
Ilustrasi wanita sakit dan demam. Foto: Shutterstock
Sebelum menderita gejala, saya selalu berusaha menerapkan protokol kesehatan, baik dengan mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, selalu ganti baju dan melakukan sterilisasi sebelum masuk rumah setelah pulang dari kegiatan di luar, atau mendisinfektan seluruh meja makan dan tempat duduk yang akan saya gunakan di tempat umum.
ADVERTISEMENT
Tetapi Tuhan memang berkehendak lain, saya akhirnya terpapar Corona, yang entah saya dapatkan dari mana. Sampai seminggu sebelumnya, saya masih aktif bekerja di kantor, aktif bersosialisasi di lingkungan rumah, juga mengikuti uji kompetensi yang menghadirkan banyak orang di kabupaten Bogor.
Saya mulai merasakan gejala pada Sabtu, 7 November 2020. Dari awalnya merasa tidak enak badan, hingga tiba-tiba panas tinggi pada malam harinya, dan diikuti dengan batuk berdahak yang terjadi secara terus menerus esok harinya.
Batuk yang terjadi secara terus menerus ini membuat saya sangat lelah, dada sakit, kesulitan bernapas, hingga tidak dapat tidur selama dua hari penuh.
Sejak menderita panas tinggi tersebut, saya langsung mengisolasi diri di dalam kamar untuk menghindari kemungkinan terburuk, yaitu menularkan virus ke keluarga saya, apabila saya memang positif Corona.
ADVERTISEMENT
Tentu akan berat pada saat kita mengetahui kita telah menularkan penyakit ke orang-orang yang kita sayang. Namun apabila ini terjadi pada anda, tetaplah tenang, dan percayalah bahwa Tuhan tidak pernah memberikan cobaan di luar kemampuan makhluknya.
Minggu, 8 November 2020, saya berinisiasi untuk mendaftar tes swab Corona di laboratorium klinik Kimia Farma Pamulang, instalasi pelayanan tes swab Corona yang paling dekat dari rumah tinggal saya.
Karena telat mendaftar, saya tidak dapat langsung tes pada hari yang sama dan dijadwalkan untuk tes pada Senin, 9 November 2020 pukul 11.00 WIB. Saya mengambil paket yang paling murah, yaitu Rp.900.000,- dengan waktu tunggu hasil selama tiga hari.
Informasi, pendaftaran, dan pembayaran tes swab Corona ini saya dapat dari aplikasi Halodoc yang saya akses dari telepon genggam saya. (Tadinya saya mau sensor nama aplikasinya karena tidak pasang iklan di tulisan saya, tapi demi keutuhan informasi untuk pembaca, tetap saya sertakan).
ADVERTISEMENT
Lebih cepat dari seharusnya, hasil tes swab saya ternyata langsung dikirim pada esok harinya tanggal 10 November 2020 melalui email.
Lumayan, bayar murah tetapi dapat hasil seperti bayar paket swab yang mahal. Perasaan lega dan khawatir bercampur menjadi satu saat saya memberanikan diri untuk membuka hasilnya.
Lega karena akhirnya saya dapat segera mengetahui hasilnya, dan khawatir apabila saya mendapatkan hasil terburuk: positif. Akhirnya perasaan khawatir itu terbukti, saya didiagnosis positif covid dengan nilai Ct gen E 33, dan Ct Gen RdRp 36.
Sesaat setelah mendapatkan hasil, dari dalam kamar tempat saya mengisolasi diri, saya mengirimkan pesan dan berkoordinasi untuk penanganan tindak lanjutnya kepada istri, ketua tim satgas COVID-19 di lingkungan perumahan yang juga menjabat sebagai ketua RW, serta tim satgas Covid-19 di puskesmas Bojongsari.
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah, semuanya merespons dengan aktif dan komunikatif. Bahkan istri saya yang terlihat sangat kaget dan sedih, tetap berusaha menanggapi dengan tenang.
Beliau memang istri terbaik yang pernah saya punya. Mungkin juga karena saya tidak pernah punya istri selain dia, hahaha. Buat istri saya, kalau Bunda baca ini, dari lubuk hati yang paling dalam, saya sangat bersyukur Allah SWT. telah mempertemukan dan menjaga kita sampai dengan saat ini.
Saya kemudian membuat pernyataan positif, rekaman perjalanan, dan daftar orang yang saya temui dalam seminggu terakhir untuk saya laporkan pada tim satgas COVID-19 di lingkungan perumahan, puskesmas, tetangga, rekan kerja, atasan kerja, kepala Tata Usaha di lingkungan kerja, serta panitia pelaksana kegiatan yang saya ikuti.
ADVERTISEMENT
Tujuannya hanya satu, agar masing-masing orang yang pernah kontak erat dengan saya dapat melakukan tindakan yang diperlukan: tes swab Corona, atau sekurang-kurangnya melaporkan diri pada tim satgas COVID-19 di lingkungannya. Terima kasih kepada kemajuan teknologi yang ada saat ini, semuanya cukup saya lakukan melalui media Whatsapp.
Pihak puskesmas kemudian menindaklanjuti dengan meminta anggota keluarga lainnya untuk dapat melakukan swab di puskesmas sebagai bagian dari protokol yang harus dilakukan, termasuk mendiskusikan rencana perawatan untuk saya.
Namun ternyata istri saya menginformasikan bahwa dokter kantor istri saya meminta saya untuk segera ke IGD rumah sakit Mayapada, sekaligus meminta seluruh anggota keluarga untuk melakukan swab di sana. Sehingga pada hari itu juga, kami sekeluarga memutuskan untuk pergi ke rumah sakit Mayapada Lebak Bulus.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di rumah sakit, tidak butuh waktu lama, saya langsung ditempatkan dalam satu bilik dalam ruang IGD khusus penanganan Corona. Karena masih batuk terus menerus dan berkomunikasi dengan baik, proses tanya jawab saya lakukan dengan cara yang paling sederhana, mengangguk dan menggeleng, hehehe.
Informasi lainnya, pihak Rumah Sakit berusaha mendapatkannya dengan cara melakukan wawancara kepada istri saya. Sesaat setelah proses wawancara, saya langsung dirujuk untuk CT Scan bagian saluran pernafasan dan paru-paru. Berdasarkan hasil tersebut, dokter meminta untuk dapat dilakukan rawat inap.
Meski begitu, proses administrasinya juga tidak mudah. Namun saya memahami betapa panjang prosesnya, karena saya menggunakan asuransi milik perusahaan kantor istri saya, dimana istri saya harus terus berkoordinasi dengan tim manajemen dan tim dokter di kantornya.
ADVERTISEMENT
Pihak rumah sakit juga tentu memerlukan konfirmasi penjaminan, karena biaya yang dikeluarkan untuk proses perawatan Corona memang sangat besar. Sangat besar hingga kami harus menabung sangat lama dengan standar gaji PNS yang saya dapatkan setiap bulannya.
Bersyukur, hari itu juga saya langsung mendapatkan kamar rawat inap. Itu juga berarti, saya sudah tidak boleh lagi bertemu dengan keluarga, serta manusia lainnya selain petugas di tower 2 penanganan Corona rumah sakit Mayapada.
Kembali lagi, saya merasa sedih sekaligus lega karena dapat segera mendapatkan perawatan, dan mengamankan orang-orang di sekitar saya dari risiko penularan Corona yang bersumber dari saya.
Masa Perawatan di Rumah Sakit
Ilustrasi Rumah Sakit Foto: UNSPLASH
Setelah memasuki kamar rawat inap, saya langsung mendapatkan pengobatan melalui infus, oksigen yang dilewatkan melalui suatu cairan, dan obat oral yang cukup banyak. Sedikit mengurangi kesulitan pernapasan yang saya alami, namun hari pertama di Rumah Sakit memang belum terasa banyak perubahan, selain rasa aman dari risiko penularan ke orang lain.
ADVERTISEMENT
Malam pertama masih harus dilalui dengan cukup berat. Namun kembali bersyukur, setidaknya saya bisa tertidur beberapa waktu setelah batuk terus menerus hingga pukul empat pagi, lebih pagi daripada jam operasional tuyul.
Hari kedua hingga hari ke kelima batuk belum berhenti, meski dahak yang mengotori saluran pernapasan terasa berkurang. Saat saya meminta untuk dilakukan bronkoskopi untuk melihat penyebab dahak, pihak Rumah Sakit menolak karena kebijakan untuk mengeksplorasi atau membuka (bedah) saluran pernafasan tidak dapat dilakukan selama menderita Corona, kecuali untuk kasus yang mengancam nyawa.
Akhirnya saya harus terus mengandalkan obat yang diberikan dan berharap batuk dapat segera mereda; atau sekurang-kurangnya, saya kembali dapat beristirahat dengan cukup.
Tidur yang cukup menjadi salah satu hal yang saya khawatirkan, karena saya memiliki trauma pada syaraf di otak yang dapat membuat saya pingsan sewaktu-waktu apabila kekurangan tidur.
ADVERTISEMENT
Setelah gagal meminta dilakukan bronkoskopi, saya mengajukan permohonan untuk dapat diresepkan obat tidur. Permintaan itu kembali ditolak dengan alasan obat batuk yang telah diberikan juga mengandung obat tidur.
Setelah berkali-kali meminta dan tidak diindahkan, saya memohon agar dapat dikonsultasikan dengan dokter syaraf saya yang kebetulan berada di rumah sakit yang sama. Harapan saya cukup sederhana, agar dapat diresepkan obat tidur oleh dokter syarafnya.
Pada hari keenam, batuk sudah lumayan mereda. Obat batuk yang diberikan sudah mulai menunjukkan efeknya. Ada tiga jenis obat batuk yang saya minum, yaitu berupa obat batuk sirup, obat batuk tablet, dan obat batuk hisap.
Saya mulai bisa tidur, namun harus tengkurap dulu selama beberapa waktu selama tidur. Tujuannya, agar dahak tidak mengumpul. Sudah seperti bapak-bapak ronda aja dahak ini sukanya ngumpul-ngumpul.
ADVERTISEMENT
Pada hari yang sama, dilakukan uji tes swab Corona untuk melihat perkembangan hasil perawatan. Dalam kondisi masih batuk, proses pengambilan sampel pada tenggorokan begitu sangat menyiksa. Setelah sampel diambil, karena batuk yang tertahan paksa selama proses pengambilan swab tiba-tiba otot leher dan rahang kram. Rasa sakitnya lebih pilu daripada pilunya orang kaya di drama ftv yang ditolak cintanya oleh gadis desa kesukaannya.
Esoknya hasil swab keluar: saya masih positif. Artinya, proses perawatan tetap dilanjutkan. Pemberian obat-obatan baik melalui oral maupun infus tidak berkurang: tetap sangat banyak. Di antaranya berbagai macam pengobatan tersebut, ada yang selalu saya ingat karena rasanya yang terlampau sakit.
Yaitu pemberian infus nutrisi yang berwarna putih pekat seperti susu. Rasa ngilu selalu terasa saat cairan tersebut melalui selang infus dan masuk dalam saluran darah.
ADVERTISEMENT
Hari kesembilan, saya mendapatkan informasi bahwa kamar regular sudah tersedia. Untuk informasi, karena ketidaktersediaan kamar, selama 9 hari di awal saya menggunakan kamar kelas vip. Bukan karena saya kaya, tapi karena terpaksa.
Kalau saya kaya, rumah sakitnya yang saya beli. Lalu saya buat kamar super duper VIP di lantai paling atas dilengkapi taman dan home theater.
Karena kamar regular sudah tersedia, saya kemudian pindah ke kamar regular yang sesuai plafon asuransi yang saya miliki. Berbeda dengan kamar sebelumnya, saya sekarang bergabung dengan 3 orang pasien yang kondisinya berbeda-beda satu dan lainnya dalam satu kamar.
Alhamdulillah, saya tetep dapet bilik yang dekat dengan jendela. Paling tidak, pemandangan di luar dapat sedikit mengurangi kejenuhan selama perawatan ini. Lumayan lah bisa melihat kereta monorail lewat. Mungkin yang dulu zaman masih kecil suka menyempatkan berwisata kongkow di pintu rel keluar-masuk kereta pada ujung stasiun tahu nikmatnya melihat kereta lewat hehehe.
ADVERTISEMENT
Setelah pindah ke kamar regular, saya lupa kapan saya mendapatkannya, kurang lebih kemudian dilakukan CT Scan saluran pernafasan dan paru-paru ulang, dilakukan pemeriksaan radiologi ulang, cek lab darah, pemeriksaan mikrobiologi pada dahak, dan kunjungan oleh dokter syaraf.
Hasil CT Scan dan radiologi disebutkan sudah cukup bersih, pemeriksaan dahak sudah tidak ditemukan mikroba, dan kunjungan dokter syaraf mengisyaratkan saya akan diresepkan obat tidur.
Akhirnya setelah beberapa waktu, saya bisa mendapatkan obat tidur, meskipun sedikit menyesali karena waktu kritis kebutuhan obat tidur seharusnya pada beberapa hari pertama masa perawatan.
Hari kesepuluh, saya sudah mulai sepenuhnya enak untuk berkomunikasi secara oral. Pada awalnya, saya sangat kesulitan untuk berkomunikasi karena setiap membuka mulut langsung batuk.
ADVERTISEMENT
Mungkin Tuhan sedang meminta saya untuk lebih bijak dan menahan diri dalam berbicara. Seluruh proses komunikasi sebelumnya menggunakan kertas notes. Sekarang, saya sudah lebih nyaman untuk berkomunikasi.
Senang karena sekarang sudah bisa menggunakan videocall untuk berhubungan dengan dan istri. Meluap-luap rasa bahagia yang saya rasakan, mungkin seperti apa yang dirasakan penonton sinetron saat liat tokoh antagonisnya kena azab.
Selain itu, saya juga sudah mulai bisa makan makanan yang disediakan rumah sakit, setelah sebelumnya hanya dapat makan buah-buahan.
Beruntung, teman-teman banyak yang mengirimkan buah-buahan serta manisan buah-buahan untuk saya konsumsi. Ada juga yang mengirimkan minuman kemasan minuman rasa madu! Sangat membantu karena selama sakit saya hanya bisa minum air putih, dan minuman rasa madu ini sebagai selingan.
ADVERTISEMENT
Teh yang biasanya sehari-hari menjadi minuman pokok saya, justru menjadi salah satu minuman yang paling saya hindari karena eneg dan membuat mual. Tapi tidak sampai seperti mualnya ibu-ibu yang lagi ngidam si.
Hari ke sebelas, tanggal 21 November 2020 dilakukan tes swab Corona untuk mengecek kembali kondisi terakhir. Saya berdoa sepanjang hari supaya hasilnya negatif. Saya sudah tidak sabar ingin segera kembali berkumpul dengan keluarga. Rasa paling berat selama perawatan selain sakit soalnya ya ini: menahan rasa rindu dengan keluarga.
Sangat bahagia rasanya setelah esok harinya, dokter mengabarkan bahwa hasil tesnya negatif! Namun sayang, dokter yang sepertinya tau saya sudah tidak sabar untuk pulang mengabarkan bahwa harus dilakukan satu kali lagi swab untuk menghindari kesalahan hasil.
ADVERTISEMENT
Rasanya sudah seperti membumbung tinggi ke langit, tiba-tiba jatuh lagi ke tanah. Dan saya akhirnya tetap harus menunggu jadwal tes berikutnya pada tanggal 23 November 2020.
Pada tanggal 23 November 2020, kembali dilakukan tes swab. Meskipun demikian, infus dan obat-obatan yang diberikan melalui infus sudah mulai dihentikan.
Rasanya sangat bebas karena sebelumnya terbelenggu oleh selang infus yang minimal dua infus selalu terpasang di saat yang sama. Belum lagi, masalah klasik pada infus yang seringkali terjadi: macet, cairan darah yang justru keluar, atau tangan yang bengkak dan harus segera ganti posisi infus.
Pada tanggal 24, diberitahukan bahwa hasilnya kembali negatif dan dokter mengatakan bahwa saya sudah diperbolehkan untuk pulang! Alhamdulillah! Saya langsung mengabarkan kepada istri dan seisi rumah menjadi riuh.
ADVERTISEMENT
Tampaknya anak-anak juga merasakan perasaan yang sama dengan saya. Ibu, mertua, dan keluarga di jogja juga merasakan kelegaan yang sama. Atau mungkin saya aja yang ge-er hehe. Bodo amat, pokoknya saya senang akhirnya diperbolehkan kembali berkumpul dengan keluarga.
Meskipun demikian, dokter tetap berpesan agar meluangkan waktu kurang lebih seminggu untuk tetap isolasi diri di rumah, melanjutkan meminum vitamin, dan memanfaatkan waktu seminggu tersebut untuk pemulihan selepas dari RS, dan melakukan konsultasi ulang setelahnya. Hal ini juga saya laporkan ke puskesmas untuk membantu pembaharuan data pemantauan mereka.
Pasca-Corona
Sebenarnya dari pihak puskesmas sudah membolehkan untuk kembali beraktivitas dengan normal setelah terkonfirmasi negatif. Hanya saja karena kebijakan Rumah Sakit untuk kembali isolasi, maka menghormati keputusan tersebut, kami tetap melakukan isolasi di rumah.
ADVERTISEMENT
Waktu seminggu saya manfaatkan untuk pemulihan setelah badan rasanya tidak karuan karena 2 minggu tidak beraktivitas. Hari pertama saya langsung olah raga memanfaatkan treadmill hehe. Rasanya segar sekali setelah dapat berkeringat banyak.
Hari-hari selanjutnya juga benar-benar saya manfaatkan untuk proses pemulihan kondisi badan, termasuk yang paling wajib: minta kerokan sama istri.
Setelah 7 hari, saya kembali melakukan konsultasi ke Rumah Sakit dengan dokter yang menangani saya selama masa perawatan Corona.
Kami banyak berbincang terutama terkait kondisi paska perawatan di Rumah Sakit, hingga donor plasma konvaselen. Donor plasma konvaselen adalah donor plasma yang dapat dilakukan oleh seorang penyintas Corona, dalam rangka membantu proses penyembuhan pasien penderita Corona lainnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun saya bersemangat untuk melakukannya, namun dokter meminta waktu tenggang kurang lebih 2 minggu untuk kemudian dilakukan tes serologi antibody.
Ternyata, selain telah dinyatakan sembuh atau negatif, untuk dapat mendonorkan plasma perlu memiliki bukti tes serologi antibody dengan hasil reaktif. Semoga saja saya mendapatkan hasil yang baik, karena saya juga berkeinginan untuk membantu orang lain yang masih berjuang dengan Corona.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan
Kurang lebih demikian cerita saya. Meskipun demikian, ada hal-hal yang perlu saya sampaikan, di antaranya memilih perawatan, yang harus diperhatikan selama perawatan di rumah sakit, dan perspektif masyarakat terhadap penyintas Corona.
Dalam memilih perawatan, pilih berdasarkan kemampuan yang kita miliki. Apabila memilih menggunakan asuransi, perhatikan plafon kamar yang dimiliki, karena plafon kamar untuk penanganan Corona harganya bisa 2 hingga 3 kali lipat harga normal.
ADVERTISEMENT
Apabila menggunakan dana sendiri, sebagai perbandingan, pengeluaran saya selama 15 hari di Rumah Sakit mencapai kurang lebih 137 juta, dan obat yang kemarin saya ambil paska masa pemulihan mencapai 1,7 juta. Sedangkan rata-rata harga menurut beberapa sumber bahkan mencapai 180 juta.
Namun pemerintah juga memiliki program bantuan penanganan Xorona, yang artinya keseluruhan biaya yang timbul akan ditanggung oleh pemerintah. Apabila memilih untuk program ini, pastikan begitu terkonfirmasi positif langsung berkoordinasi dengan tim satgas penanganan COVID-19 atau puskesmas setempat.
Ikuti setiap protokol yang diminta, dan apabila memang membutuhkan perawatan, nanti akan dirujuk ke instalasi perawatan yang telah ditunjuk. Usahakan untuk terus berkomunikasi dengan tim satgas COVID-19 atau puskesmas dan laporkan setiap informasi yang diperlukan, terutama pembaharuan informasi kondisi kita.
ADVERTISEMENT
Dan selama dirawat di Rumah Sakit, tetap selalu perhatikan protokol kesehatan, terutama apabila kita dirawat dengan beberapa orang sekaligus dalam ruang perawatan kamar yang sama. Alasannya adalah karena kita tetap dapat re-infeksi atau terinfeksi ulang apabila kita sudah dalam proses penyembuhan, dan kita kembali terpapar COVID-19 dari orang-orang di sekitar kita.
Terlebih, tenaga kesehatan juga menggunakan APD yang sama untuk berhubungan dengan pasien satu dengan yang lain. Selalu gunakan masker meskipun di Rumah Sakit, dan selalu sterilisasi ruangan public seperti toilet yang dipakai sama-sama sebelum kita gunakan. Dalam hal ini, saya memanfaatkan disinfektan semprot yang saat ini banyak di jual.
Dalam hal menghadapi masyarakat, sebagai penyintas Corona kita juga perlu memahami bahwa tidak semua masyarakat terinformasi dengan baik, dan standar protokol sembuh serta boleh dinyatakan pulang oleh masing-masing rumah sakit bisa jadi berbeda.
ADVERTISEMENT
Ada yang meskipun sudah dirawat 14 hari dan tidak memperlihatkan gejala, meskipun masih positif namun tetap diperbolehkan pulang.
Dalam kasus ini, rumah sakit mengambil kebijakan dan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa setelah 14 hari maka virus sudah tidak mampu berkembang dan kemungkinan penularan ke orang lain sudah sangat kecil.
Sehingga apabila tidak ada gejala lain yang membutuhkan perawatan, pasien diperbolehkan pulang. Atau ada juga rumah sakit seperti Mayapada atau PKU Muhammadiyah (berdasarkan informasi dari rekan yang dirawat di sana) memberlakukan protokol ketat di mana minimal harus dua kali swab negatif baru diperbolehkan pulang.
Kurang lebih demikian pengalaman saya, tentu saja tidak semua hal dapat saya gambarkan melalui tulisan yang serba terbatas ini. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan, dan selalu dalam lindungan Tuhan YME.
ADVERTISEMENT
Doa saya untuk rekan-rekan yang saat ini juga sedang berjuang melawan Corona, semoga lekas sembuh, tetap sabar, banyak berdoa, dan semoga segera pulih seperti semula. Corona adalah nyata, mari kita lawan bersama!