Imlek dan Mimpi Terciptanya Ruang Bagi Seni Bela Diri Untuk Semua

ONE Championship
The Home Of Martial Arts
Konten dari Pengguna
13 Februari 2021 22:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ONE Championship tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rudy Agustian membawa bendera Indonesia di pundaknya saat memasuki arena ONE Championship (ONE Championship)
zoom-in-whitePerbesar
Rudy Agustian membawa bendera Indonesia di pundaknya saat memasuki arena ONE Championship (ONE Championship)
ADVERTISEMENT
Tahun baru imlek selalu menjadi momen spesial bagi mereka yang merayakan, termasuk komunitas etnis Tionghoa yang hidup di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, hari besar tersebut jatuh pada Jumat, 12 Februari.
Di China, momen spesial ini juga dimaknai sebagai perayaan untuk menyambut permulaan musim semi serta harapan untuk tahun yang lebih baik.
Namun Imlek, seperti halnya harapan, tak pernah mengenal batas wilayah. Semua bisa ikut merayakan, terlepas dari lokasi mereka berada.
Terdapat sebuah era kala Imlek sempat dilarang di Indonesia, sehingga merayakannya saat ini seperti lebih memberi makna.
Bagi Rudy "The Golden Boy" Agustian, mantan Juara MMA Nasional Divisi Flyweight, jika Imlek adalah simbol dari harapan, maka seni bela diri adalah tangga untuk mewujudkannya.
Mimpinya adalah semakin membuka ruang bagi warga keturunan Tionghoa untuk berkiprah dalam seni bela diri. Saat ini, meski aksesnya cukup terbuka, belum banyak yang mau mencoba berkiprah dalam bela diri.
ADVERTISEMENT
Sebagai atlet keturunan Tionghoa, Rudy menempuh jalan panjang untuk membuktikan diri sekaligus menginspirasi. Ia kini telah mendirikan Golden Camp Muay Thai untuk mewadahi mereka yang ingin mencoba.
“Umur 25 terjun ke dunia bela diri profesional, justru karena saya besarnya bareng orang-orang non keturunan Tionghoa. Sama anak-anak STM dulu mainnya, kan. Saya memang beda sendiri. Jadi ingin juga ngebuktiin, ada lah orang keturunan yang punya nyali gitu.”
Menjadi bagian dari minoritas, masa remaja Rudy diwarnai oleh perundungan dari teman sebayanya. Belajar di sekolah negeri, Rudy mau tidak mau berjuang untuk menghadapi tantangan yang datang dari lingkungannya.
“Memang dari kecil sering dirundung, dikatain sampai SMP. Pas SMU saya berubah. Saya tunjukin. Sampai sekarang saya malah ketagihan [seni bela diri]," kenangnya.
ADVERTISEMENT
Dari perundungan itu, Rudy bertemu dengan cinta pertamanya lewat Muay Thai. Melalui bela diri asal negeri Gajah Putih itu, Rudy bertahan hidup dan menembus stigma sebagai minoritas yang kerap dianggap tak bernyali.
“Jadi orang berantem suka saya takedown juga dulu, tambah knee. Waktu berantem dulu saya pakai Muay Thai," tambahnya.

Ditentang Orang Tua

Lewat seni bela diri, Rudy menemukan kecintaan sejatinya yang berlanjut hingga saat ini. Namun, halangan keras datang dari orang tua dan keluarga terdekat yang tidak merestui.
“Betul, sampai sekarang masih. Dan antara dukung enggak dukung kalau saya fight. Tiap habis fight sudah lah berhenti, selalu sampai sekarang. Sekeluarga sampai tante-tante juga sama [menentang]. Di keluarga, enggak ada yang kayak gini [jadi atlet bela diri],” ujar Rudy.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada yang dukung, orang [keturunan] Chinese mana ada yang jadi atlet sampai total. Gak ada, semua paling antara member. Yang kehitung profesional sampai internasional enggak banyak.”
Bahkan, keluarga lebih menghendaki Rudy bekerja kantoran. Profesi yang umumnya dilakoni oleh banyak orang keturunan etnis Tionghoa di Indonesia, selain berdagang atau jadi pengusaha.
“Dulu sempat disuruh. Keluarga ada yang saudaranya orang kaya. Saya dibilangin harus kerja ke mereka. Cita-cita nyokap sebatas berharap jadi orang kantoran saja. Ya saya enggak setuju dan enggak suka. Jadi saya mau nunjukin sendiri, saya bisa tanpa bantuan saudara,” kenangnya.

Berkiprah Di Panggung ONE Championship

Di balik penolakan yang datang dari keluarga, Rudy malah tak gentar dan jadi makin termotivasi untuk menunjukkan keseriusan dan eksistensinya sebagai atlet seni bela diri campuran.
ADVERTISEMENT
Lewat panggung ONE Championship, Rudy berhasil membawa nama Indonesia ke pentas global di antara atlet bela diri campuran terbaik dunia.
“Ya mungkin saya dasarnya ada campuran Chinese dan orang nganggepnya minoritas, kan. Saya pengen nunjukin ke teman-teman, ke minoritas, yang ngedukung kalau sebenarnya enggak ada perbedaan,” tegas Rudy.
“Saya tetap orang Indonesia yang berjuang buat Indonesia. Di kancah internasional pun tetap ngibarin bendera Indonesia.”
Di dalam negeri, Rudy pribadi aktif memajukan dunia bela diri Indonesia. Sebagai minoritas, juara Muay Thai nasional itu juga tak canggung untuk bergaul atau mengenal seni bela diri asli Indonesia.
“Jaringan makin luas, makin kenal banyak orang. Kenal silat dari mana, semakin gaul. Kayak ikut PSHT saja, teman beragama muslim, sementara saya non-muslim.”
ADVERTISEMENT

Tetap menjalankan tradisi

Sebagai keturunan etnis Tionghoa, momen Imlek juga dimaknai oleh Rudy untuk menjaga tradisi leluhur. Pribadi, ia juga tak ingin jadi kacang yang lupa kulit.
“Kalau dari keluarga mertua masih sembahyang saja ke meja abu. Sama lah keluarga juga. Enggak ada yang spesial kayak Chinese banget,” cerita Rudy.
Terakhir, Rudy melihat momen Tahun Baru Imlek sebagai pengharapan baru. Ke depan, ia berharap agar dunia kembali normal. Dengan begitu, ia bisa mendapat kesempatan untuk berlaga kembali dan membawa merah putih ke puncak tertinggi.
“Harapan saya normal saja lah. Ini dengan kembali normal saja semua orang sudah kebantu banget, ya. Udah itu saja. Pandemi cepatlah berlalu. Realistis saja, enggak usah berharap yang ribet-ribet.”
ADVERTISEMENT