Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
UU Antiterorisme dan Konsep Keamanan Nasional
28 Mei 2018 12:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari one news tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dr. Abdul Rivai Ras (Pengajar Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia).
ADVERTISEMENT
Lahirnya Undang-Undang (UU) Antiterorisme menunjukkan bahwa negara senantiasa mempunyai tanggungjawab sangat tinggi dan mutlak dalam memberikan jaminan rasa aman serta perlindungan terhadap keselamatan rakyatnya.
Hal ini seiring dengan pemikiran Immanuel Kant (1724-1804) yang menggambarkan pentingnya negara, dimana negara mempunyai keharusan untuk hadir guna menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam hukum. Artinya negara harus menjamin setiap keamanan warganegara dan bebas di dalam lingkungan hukum.
Bebas disini bukanlah berarti dapat berbuat semau-maunya, atau sewenang-wenang. Tetapi segala perbuatannya itu meskipun bebas harus sesuai dengan aturan atau menurut apa yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga harus merujuk dari kemauan rakyat, karena undang-undang itu adalah bentuk penjelmaan dari pada kehendak umum.
Tidak mengherankan ketika lahirnya Undang-Undang Antiterorisme yang juga merupakan hasil revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disahkan DPR (Jumat,25 Mei 2018) adalah suatu keniscayaan dan kepedulian terhadap tuntutan rakyat secara luas yang harus terjawab segera. Namun dibalik pengesahan undang-undang ini dinilai masih menyisakan sejumlah pertanyaan kritis.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang muncul dan mendasar antara lain; apakah undang-undang ini merupakan bentuk lain atau alternatif ‘filling the gap’ dari Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang kini masih mangkrak?, dan bagaimana dengan urgensi RUU Kamnas - apakah masih relevan untuk dilanjutkan?.
Hal ini perlu kajian mendalam dan menjadi perhatian secara berlanjut, mengingat UU Antiterorisme ini bila dijabarkan lebih jauh sesungguhnya mempunyai kemiripan dengan model Internal Security Act (ISA) yang banyak digunakan di sejumlah negara, seperti di Malaysia dan Singapura dalam rangka memerangi kejahatan terorisme.
Untuk memastikan, apakah identik atau tidak, sangat tergantung pada interpretasi definisi ancaman terorisme yang terkait dengan pasal pembuka dalam undang-undang tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 berbunyi:
ADVERTISEMENT
“terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”.
Bila kita mengurai secara cermat mengenai substansi dan definisi yang ada, maka bisa bermakna setara dengan pengertian konsep keamanan nasional dihadapkan pada ancaman seperti halnya yang tertuang dalam RUU Kamnas bahwa:
“ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan”.
ADVERTISEMENT
Kedua pengertian ini sesungguhnya ‘serupa tapi tidak sama’, tetapi secara realitas dari konten yang ada juga bisa dikatakan ‘tidak serupa tapi sama’. Hal ini beralasan, karena substansinya berorientasi pada motif ancaman yang bersifat ideologi, politik dan keamanan dalam arti yang lebih luas yang juga mencakup aspek pertahanan. Disinilah letaknya duplikasi dan kemiripan undang-undang ini dihadapkan dengan RUU Kamnas, sekalipun dengan nomenklatur dan tujuan pengaturan hukum yang berbeda.
Substansi lain yang ada kemiripan dalam UU Antiterorisme ini antara lain, berkaitan dengan pasal 43 I, dimana mengatur tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme yang merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
Dalam konteks ini, sebenarnya juga dapat dilihat dari spektrum ancaman, sehingga dalam mengatasi aksi terorisme dapat dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia. Meskipun pada saatnya ketentuan lebih lanjut mengenai pelibatan TNI ini akan diatur melalui Peraturan Presiden.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam RUU Kamnas yang sudah disiapkan sejak lama, masih menemui jalan terjal karena pemahaman tentang konsep keamanan nasional belum dalam satu frekuensi yang sama antara pemerintah dan parlemen.
RUU Kamnas sendiri pada dasarnya dirancang untuk menjawab semua jenis ancaman, meskipun secara khusus sebenarnya ditujukan pada upaya untuk membangun koordinasi dan sinergi hubungan antar aktor keamanan (TNI-Polisi) agar tidak overlapping dan untuk mengisi kevakuman, dalam mengatasi situasi grey area dalam tugas-tugas keamanan nasional.
Seperti halnya UU No. 15 tahun 2003 sebelum dilakukannya revisi, yang menempatkan institusi kepolisian sebagai aktor utama dan dominan dalam memerangi tindak pidana terorisme, sementara TNI bisa bekerja dalam mengatasi kejahatan terorisme apabila ada permintaan untuk tugas perbantuan, sehingga upaya sinerjitas dalam pencegahan dan penindakan selalu terkendala secara stratejik dan operasional.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dalam tinjauan konseptual bagaimana memahami UU Antiterorisme, sebenarnya sangat erat kaitannya dengan tujuan konsep keamanan nasional. Tinjauan ini dapat dilihat dalam dua pendekatan yakni: pertama, mengenai jenis, sifat, dan eskalasi ancaman yang dihadapi; kedua, mengenai tataran kewenangan dan pelibatan institusi negara yang sesuai dengan otoritas dan spektrum tugas keamanan.
Seperti diketahui bahwa, terorisme merupakan ancaman yang memiliki kompleksitas tinggi, aksinya bersifat irregular dan derajat penghancurannya bersifat massif bahkan alienatif, sehingga mampu melumpuhkan sistem pertahanan dan keamanan nasional.
Sekalipun terorisme kini merupakan ancaman kontemporer dan bersifat spesifik, namun secara realitas penanganannya harus melalui kebijakan ‘comprehensive security’.(*)