Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.104.0
Konten dari Pengguna
Konseling Multibudaya Jadi Solusi Konflik Pernikahan Beda Budaya dan Agama
14 Mei 2025 13:20 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Onik Dwi Widyatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernikahan bukan sekedar penyatuan dua individu, tetapi juga penyatuan dua sistem nilai, dua kebudayaan, dan dua keyakinan agama. Di Indonesia, yang terkenal dengan kemajemukan budaya dan agamanya, pernikahan menjadi ruang kompleks interaksi sosial yang melibatkan norma, adat, dan spiritualitas. Dinamika ini kerap kali memunculkan tantangan dalam relasi pernikahan, terutama dalam konteks pernikahan antarbudaya atau antaragama.
ADVERTISEMENT
Pernikahan beda budaya dan agama antara pasangan asal Jawa dan Bali kian menjadi sorotan publik seiring meningkatnya mobilitas dan hubungan antar etnis di Indonesia. Namun, di balik kisah cinta yang menyatukan, tidak sedikit pasangan justru harus berhadapan dengan tembok tinggi bernama adat dan keyakinan.
Bali, dengan adat Hindu yang sangat kental dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari, kerap menjadi tantangan tersendiri bagi pasangan non-Bali yang ingin menikah dengan pria Bali. Dalam banyak kasus, pasangan non-Bali, khususnya perempuan, diminta mengikuti adat dan memeluk agama Hindu agar pernikahan diakui secara adat.
Mengutip dari Kompasiana (Findiani, 2024), dalam artikel “Dinamika Sosial Perkawinan Antarbudaya Memicu Konflik Pernikahan Jawa-Bali”, pernikahan dipandang sebagai simbol keharmonisan yang diharapkan mampu menyatukan nilai-nilai antar keluarga besar. Namun, dalam praktiknya, perbedaan adat istiadat seperti antara budaya Jawa dan Bali sering kali menimbulkan konflik, baik dalam hal sistem upacara, kewajiban adat, hingga struktur patriaki yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dalam laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, tokoh adat Bali I Wayan Dana menyebut bahwa dalam ajaran Hindu, seorang wanita Hindu Bali yang menikah dengan pria non-Hindu dapat dianggap melakukan pelanggaran berat, bahkan dinilai melakukan perbuatan zina dalam konteks adat. Hal ini menunjukkan betapa ketatnya aturan budaya yang berlaku.
Di sisi lain, masyarakat Jawa yang mayoritas Muslim dikenal lebih longgar dalam menerima pernikahan beda budaya. Namun, perbedaan pemahaman nilai, struktur keluarga, hingga ritual adat tetap menjadi sumber konflik yang tidak bisa disepelekan. Tidak sedikit orang yang mengakui bahwa hubungannya berakhir karena tekanan keluarga besar pihak Bali karena aturan yang sangat kental.
Secara historis, pernikahan di Indonesia berkembang dari sistem kekerabatan tradisional ke sistem hukum yang lebih formal melalui pengesahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mewajibkan pernikahan dilakukan menurut agama masing-masing pihak. Namun, masih banyak pertanyaan tentang hukum dan sosial yang belum terselesaikan, terutama dalam kasus pernikahan beda agama.
ADVERTISEMENT
Beberapa isu yang muncul dalam masyakarat antara lain adalah pernikahan beda agama, pernikahan dini karena adat, serta kawin paksa. Kasus-kasus ini sering kali menimbulkan tekanan psikologis, konflik keluarga, hingga stigma sosial.
Dalam konteks ini, pemdekatan konseling multibudaya mulai dilirik sebagai solusi strategis untuk menjembatani perbedaan yang terjadi dalam pernikahan lintas budaya dan agama. Konselor berperan membantu pasangan memahami nilai masing-masing, menyiapkan mental menghadapi tekanan sosial, dan mencari titik temu antara dua budaya tanpa harus saling menekan.
Seorang praktisi konseling yang enggan disebut namanya menyampaikan bahwa konseling pernikahan seharusnya tidak hanya berfokus pada masalah komunikasi atau keuangan, tetapi juga menggali makna nilai budaya dan spiritual yang dibawa masing-masing pasangan. “Kitra harus memahami bahwa perbedaan budaya bukan penghalang, melainkan peluang untuk saling belajar dan tumbuh bersama,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai langkah konkret, banyak pasnagan kini mulai memilih pendekatan kompromi : menjalin pernikahan secara hukum negara di luar Bali lalu melangsungkan upacara adat yang disesuaikan. Ada pula yang membentuk nilai keluarga baru dengan menggabungkan elemen terbaik dari kedua budaya.
Namun, tidak semua komunitas adat dapat menerima kompromi tersebut. Ketegangan tetap terjadi, dan hingga kini belum ada regulasi nasional yang secara tegas mengatur penikahan beda agama, terutama di wilayah yang adatnya dominan seperti Bali.
Konselor juga disarankan untuk melibatkan tokoh agama atau pemuka adat dalam proses konseling jika dianggap relevan. Pelatihan konselor dalam sensitivitas budaya juga dinilai krusial untuk mencegah bias dan penilaian sepihak terhadap budaya atau agama tertentu.
Beberapa strategi yang disarankan oleh pakar konseling multikultural di antaranya adalah penyusunan modul konseling berbasis budayam peningkatan kapasitas konselor dalam memahami konteks lokal, serta penerapan prinsip etika konseling yang menghormati keragaman.
ADVERTISEMENT
Dengan meningkatnya angka perceraian akibat konflik nilai dan budaya, urgensi untuk mengintegrasikan pendekatan multikultural dalam layanan konseling keluarga semakin diraskan. Para ahli menilai bahwa tanpa pemahaman yang utuh terhadap latar belakang budaya dan agama pasangan, proses bimbingan akan berjalan tidak efektif dan bahkan berisiko menambah ketegangan dalam rumah tangga.
Melalui pendekatan yang holistik dan inklusif, konseling multibudaya diharapkan mampu menjadi jembatan antara perbedaan, sekaligus pelindung nilai-nilai keberagaman yang menajdi ciri khas masyarakat Indonesia.