Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Mengenal Sultan Abdurrahman; Raja Sumenep
12 Maret 2018 20:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari MataMaduraNews.com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sepeninggal ayahnya, pada tahun 1230 Hijriah, bertepatan dengan 1811 Masehi, Pangeran Ario Notonegoro diangkat sebagai Adipati Sumenep dengan gelar Panembahan Notokusumo ke-II. Gelar tersebut kemudian diganti dengan Sultan Pakunataningrat setelah selesai peristiwa Perang Jawa (1830 Masehi).
Kepribadian Sultan Pakunataningrat dilukiskan sebagai sosok yang arif dan berakhlaq mulia. Sehingga beliau tak hanya disegani rakyatnya, namun juga warga asing, baik Belanda dan Inggris yang sempat menjajah Nusantara.
Dalam sebuah manuskrip yang disimpan keturunan Sultan, R. Idris di kampung Pangeran Letnan Kolonel Hamzah, Kepanjin, Sultan Pakunataningrat dikenal juga sebagai pribadi yang ‘alim dan luas ilmunya. Beliau sejak masih kecil atau mumayyiz sudah hafidz kitab suci al-Quran. Sebelum beranjak dewasa, beliau sudah disebut sering terlibat dalam majelis ulama. Saat itu beliau sudah menyerap dengan baik ilmu syari’ah, ‘aqaid, bahasa arab dan gramatikanya. Begitu juga ilmu bayan, mantiq, ‘urudl, tafsir dan hadits.
ADVERTISEMENT
Sejak remaja beliau juga dikenal zuhud. Beliau juga suka melakukan riyadlah dengan beruzlah sambil bertapa. Dalam ilmu tasawuf, Sultan Abdurrahman mendapat ijazah dan talqin empat thariqah sekaligus; Naqsyabandiyah, Khalwatiyyah, Sathariyah, dan Sammaniyyah.
Sultan Abdurrahman wafat pada 3 Rajab 1270 Hijriah, bertepatan dengan tahun 1855 Masehi. Jenazahnya dimakamkan di sisi pasarean ayahnya di Asta Tinggi Sumenep.
****
Tak hanya di bidang agama, Sultan Pakunataningrat memang dikenal sebagai seorang yang pakar di bidang bahasa, sastra, budaya, sejarah. Darah dari pihak ibunya, yaitu putri Adipati Semarang, trah Suroadimenggolo, dikenal sebagai keluarga bangsawan yang memiliki perhatian besar terhadap pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Keluarga ini juga dikenal sebagai kalangan cendekia. Bahkan saudara sepupu Sultan, Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo ke-V, yang sekaligus juga mertua Sultan, dipuji oleh Raffles sebagai seorang yang banyak menguasai budaya dan peradaban tanah Jawa.
Dalam buku karya Raffles yang monumental, History of Java, Sultan Sumenep (Pakunataningrat) dan Adipati Semarang (Suroadimenggolo ke-V) ini menjadi kontributor sekaligus narasumber.
Ceritanya pada suatu ketika, Raffles menemukan sebuah lempengan manuskrip berbahasa Sansekerta. Karena bersahabat dengan Sultan Sumenep, dan tahu akan keahliannya di bidang bahasa, dimintalah bantuan pada Sultan untuk menerjemahkan tulisan tersebut. Sultan menyanggupinya dan mengirimkan hasil translit manuskrip. Hasil tersebut ternyata cocok dengan hasil terjemah orang Hindustan yang datang berapa lama kemudian.
“Konon, dari cerita leluhur, Sultan Abdurrahman ini menguasai sekitar 40 bahasa. Ini juga mungkin merupakan salah satu karomah yang dimiliki beliau,” kata R. P. Zainal Abidin Amir, salah satu anggota keluarga keturunan bangsawan keraton Sumenep.
ADVERTISEMENT
Atas jasanya, Sultan mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang Kebudayaan dari Kerajaan Inggris. Letterkundige namanya. Bersama dengan gelar tersebut dihaturkan juga sebuah kereta Kencana.
Kereta tersebut selanjutnya menjadi salah satu koleksi Museum Keraton Sumenep yang memiliki daya tarik tersendiri. Kereta Melor, begitu orang Sumenep sejak dulu kala menyebutnya. Meski kata Melor lantas kehilangan maknanya. Sebab nama asli kereta tersebut ialah My Lord, kata asing dari negeri British, yang artinya Tuanku atau Tuan saya.
Dalam beberapa cerita tutur, kereta melor ini jarang digunakan atau mungkin tak pernah digunakan Sultan. Sultan dikenal sebagai pribadi yang suka menjalankan laku tirakat dan hidup bersahaja. Bahkan tak jarang beliau menyepi dan bepergian tanpa ditandu.
ADVERTISEMENT
“Sultan dikenal sebagai pribadi yang menjauhkan diri dari keduniawian. Bahkan pernah dalam sebuah pertemuan para adipati di Jawa beliau menempatkan emas sebagai terompahnya, saat semua adipati yang menempatkan emas di atas kepalanya. Kata sultan, dunia itu hina, jadi harus di bawah telapak kaki, bukan di atas kepala,” kata R. Idris atau yang biasa disapa Gus Idris, salah satu keturunannya.
R B M Farhan Muzammily, Mata Madura