Konten dari Pengguna

Cinta Tanpa Batas: Perjuangan Ibu dalam Merawat Anak Tunagrahita

Ianni Naimirahma Adhie Perdana
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret
1 Januari 2025 20:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ianni Naimirahma Adhie Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wanita dewasa muda dengan penyandang disabilitas intelektual bekerja di kebun. Sumber: www.istockphoto.com/id
zoom-in-whitePerbesar
Wanita dewasa muda dengan penyandang disabilitas intelektual bekerja di kebun. Sumber: www.istockphoto.com/id
ADVERTISEMENT
Apa yang dirasakan seorang ibu ketika melihat anak-anak lain dapat berinteraksi dan belajar dengan mudah, sementara anaknya yang ‘spesial’ harus berjuang lebih keras untuk melakukan hal yang sama? Bagi Maryamah (49), perbedaan tersebut bukanlah penghalang baginya, melainkan dorongan untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Pada wawancaranya (10/12), Maryamah bercerita banyak mengenai kisah awal perjuangannya dimulai, tantangan yang dihadapi, serta suka duka dalam merawat Nakami (21) yang merupakan penyandang Tunagrahita (disabilitas intelektual).
ADVERTISEMENT
Nakami (21) merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ketika usianya beranjak empat tahun, pada awalnya Maryamah menyadari bahwa anak pertamanya itu mengalami kesulitan dalam berbicara. Oleh karena itu, beliau memutuskan agar Nakami menjalani terapi.
Lambat laun ketika Nakami memasuki sekolah dasar, Nakami terlihat kesulitan dan tertinggal dalam mengikuti pelajaran dibanding teman-teman sekelasnya. Mulanya, Nakami disangka hanya mengalami hambatan dalam berbicara, sensorik halus, dan fokus. Namun ternyata Nakami juga mengalami hambatan dalam berpikir dan Maryamah menyadari bahwa anak pertamanya tersebut terlahir sebagai penyandang disabilitas intelektual atau Tunagrahita ringan.
“Perasaan kami sebagai orang tua tentu saja sedih dan tidak menyangka bahwa akan mendapatkan amanah serta tanggung jawab yang besar.” Ujar Maryamah.
Nakami, yang awalnya menjalani terapi hanya untuk mengejar ketertinggalannya dalam berbicara, fokus, dan sensorik, kemudian harus melanjutkan terapi yang mendukung kemampuan akademiknya, terutama dalam membaca dan berhitung.
ADVERTISEMENT
Bagi Maryamah, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan kenyataan bahwa anak pertamanya mengalami hambatan intelektual.
“Mereka hanya membutuhkan perhatian yang lebih di rumah untuk melatihnya.” Tutur Maryamah.
Selain harus memberi perhatian lebih, Maryamah juga harus menghadapi sedikit tantangan dari keluarga besar serta lingkungan. Rupa Nakami yang sama sekali tidak terlihat seperti penyandang disabilitas, membuat beberapa orang sedikit terheran ketika sedang mengajaknya berbicara.
“Penampilannya seperti orang normal, tapi saat ditanya dan diajak ngobrol sama orang lain, jawabannya suka gak nyambung atau lama nyambungnya. Jadi sebagai orang tua, saya juga bertugas sebagai penerjemah dadakan buat dia supaya paham dengan pertanyaan yang diberikan oleh orang lain.” Ucap Maryamah.
Tantangan lain juga dihadapi ketika mencari tempat terapi dan sekolah untuk Nakami. Maryamah mengatakan bahwa mencari tempat terapi yang bagus dan sekolah yang bisa memfasilitasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) juga menjadi salah satu hambatan pada tahun 2008-2009 silam. Biaya yang dikeluarkan oleh Maryamah juga tidak sedikit. Selain harus mengeluarkan biaya untuk terapi, biaya untuk menggunakan guru khusus di sekolah guna mendampingi Nakami juga cukup besar.
ADVERTISEMENT
“Pada saat itu, belum banyak tempat terapi yang benar-benar dapat mengakomodir kebutuhan Nakami, dengan terapis yang memiliki jiwa mendidik dan ingin mengarahkan. Ada beberapa tempat terapi, namun terapisnya terkesan 'galak' ke ABK dan hal tersebut membuat Nakami sempat merasa takut pada saat itu. Mencari sekolah yang bisa memfasilitasi ABK pada tahun itu juga sulit. Lalu, biaya yang dikeluarkan oleh kami untuk terapi dan menggaji guru khusus di sekolah juga terbilang banyak.” Ungkapnya.
Meski penuh tantangan, Maryamah mengaku mendapat banyak dukungan seperti dari pihak keluarga, pihak sekolah yang telah memfasilitasi, tempat terapi, serta lingkungan tetangga.
Maryamah yang pada mulanya merasa sedih karena harus diberikan amanah berupa anak yang terlahir spesial, kini masih terus berjuang untuk merawat, mendidik dan mengarahkan Nakami supaya bisa seperti orang pada seusianya. Dari Nakami, Maryamah belajar bahwa harus banyak bersabar dalam menghadapi kondisinya yang berbeda. Maryamah juga menyadari bahwa di dunia ini ada banyak orang dengan kondisi istimewa seperti Nakami, yang mengajarkan pentingnya memiliki sifat empati, bukan hanya simpati.
ADVERTISEMENT
Maryamah berharap, semoga kedepannya masyarakat bisa lebih menerima teman-teman penyandang disabilitas, semakin banyak pelaku usaha yang memfasilitasi Individu Berkebutuhan Khusus (IBK) dalam memperoleh pekerjaan atau membuka lapangan pekerjaan untuk para disabilitas.
“Jangan pandang mereka sebelah mata, setiap makhluk ciptaan Allah SWT itu punya kelebihan masing-masing. Mereka tidak untuk dikasihani. Ulurkan tanganmu untuk membantu mereka, bukan malah mengolok-oloknya.” Tutup Maryamah.