Manisnya Ekspor Kopi Tak Dirasakan Petani

Poppi Marini
ASN (statistisi) BPS Provinsi Jambi
Konten dari Pengguna
28 April 2021 14:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Poppi Marini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petani memilih biji kopi untuk dipanen. Sumber foto: www.unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Petani memilih biji kopi untuk dipanen. Sumber foto: www.unsplash.com
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun belakangan ini, kopi menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Menjamurnya kafe yang lekat dengan gaya hidup para milenial menjadi pangsa pasar yang besar bagi produksi kopi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut data yang dirilis oleh International Coffee Organization (ICO) di tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ke 4 (empat) setelah Kolombia sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia yang produksinya mencapai belasan juta kilogram. Dan dikutip dari halaman website kafekepo.com (2 februari 2020), Indonesia juga termasuk sepuluh negara pengekspor kopi di dunia.
Begitu suburnya perkembangan bisnis kopi Indonesia baik di tingkat lokal maupun ekspor menimbulkan tanda tanya besar, bagaimanakah kesejahteraan hidup petani kopi?
Orang yang profesinya “dianggap” paling berjasa menghidupkan kafe dan warung Jika melihat peringkat Indonesia di level dunia, harusnya petani Indonesia memiliki tingkat kesejahteraan yang cukup baik.
Selama ini, petani menjual hasil kebunnya kepada pedagang pengumpul, namun tak jarang serangan jasa para tengkulak memaksa petani menjual hasil kebunnya kepada mereka. Para tengkulak seperti membuat suatu sistem sehingga petani tidak memiliki celah untuk bisa menjual hasil panennya di pedagang pengumpul.
ADVERTISEMENT
Secara tidak langsung, cara seperti ini menjadikan para tengkulak sebagai penguasa pasar. Sedihnya lagi, petani juga tidak punya kemampuan menawar harga agar bisa lebih tinggi.
Dengan harga beli yang terlalu rendah, petani harus memutar otak cukup keras agar bisa mengoptimalkan pendapatannya menjadi modal untuk memenuhi biaya produksi menjelang musim panen berikutnya. Terlebih biaya produksi yang harus dikeluarkan petani juga berlipat karena pupuk dan obat-obatan tanaman terkadang hilang di pasaran, lalu tiba-tiba muncul dengan harga yang fantastis.
Panen kopi yang hanya setahun sekali, menjadikan sebagian hasil jual panennya sebagai tabungan modal pemeliharaan tanaman. Namun harga kebutuhan pokok keluarga juga semakin meningkat, sehingga tabungan yang awalnya akan digunakan untuk kebutuhan pembelian obat-obatan dan pupuk akhirnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup.
ADVERTISEMENT
Yang tak kalah menyedihkan, di masa pandemi, permintaan akan biji kopi cenderung menurun diakibatkan oleh pemberlakuan lockdown di beberapa negara tujuan ekspor, sehingga banyak terjadi pembatalan pemesanan.
Menurut data dari Asosiasi dan Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), 67 persen dari produksi kopi Indonesia diekspor ke luar negeri, sedangkan sisanya digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Melihat dari komposisi ini, seharusnya suatu negara boleh mengekspor komoditi atau produknya ke negara lain setelah negara tersebut terlebih dahulu sudah mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Menambah pendapatan negara melalui pajak ekspor bisa menjadi salah satu alasan kenapa lebih memilih memperbanyak ekspor dibandingkan menjual di dalam negeri.
Dengan keadaan yang terbalik seperti ini, tentu saja memicu impor kopi yang pastinya harga jualnya lebih tinggi dibandingkan kopi lokal. Padahal kebanyakan cafe, warung kopi bahkan hotel berbintang lebih memilih untuk menggunakan produk lokal. Yakin bahwa mereka berani membeli harga yang lebih tinggi dibandingkan harga ekspor demi bergeraknya mesin roasting. Jika seperti ini alih-alih ingin mensejahterakan petani, yang ada malah menjatuhkan petani.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi perdagangan yang “kurang sehat” seperti ini, sudah seharusnya pemerintah mengkaji ulang sistem pemasaran kopi. Perkuat rantai pasok ke industri pengolahan kopi dan kegiatan ekonomi lainnya yang menggunakan kopi sebagai bahan baku serta memperpendek rantai penjualan. Selain itu jaminan tersedianya kebutuhan pupuk, obat-obatan tanaman serta dibangkitkan kembali peran koperasi sebagai pengumpul hasil panen agar campur tangan tengkulak yang sudah terlalu jauh tersebut bisa dihilangkan.
Jika keadaan seperti ini berlarut-larut, bukan tidak mungkin petani kopi putar haluan menjadi petani hortikultura atau bekerja sama dengan perusahaan plasma perkebunan yang lebih menjanjikan dalam penyaluran hasil panen. Dan akhirnya bergantilah status Indonesia dari negara pengekspor kopi menjadi negara pengimpor kopi.
Berharap nasib para petani kopi dijadikan bahan pembicaraan serius ketika para pemangku kebijakan berkumpul dan berbincang hangat sembari menyeruput asamnya Arabica Gayo atau uniknya rasa Liberika Jambi. Sehingga para petani bisa tidur nyenyak tanpa harus pusing memikirkan bagaimana nasib pendidikan anak-anaknya kelak.
ADVERTISEMENT