Konten dari Pengguna

Mengurai Dinamika Laut China Selatan dan Resonansinya bagi Indonesia

Yunias Dao
Maritime Security Study Program, Faculty of National Security Defense University of the Republic of Indonesia
29 April 2024 9:17 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yunias Dao tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi di atas KRI Imam Bonjol 383 berlayar di Perairan Natuna, 23/06/2016 (Sumber: Asiadaily)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi di atas KRI Imam Bonjol 383 berlayar di Perairan Natuna, 23/06/2016 (Sumber: Asiadaily)
ADVERTISEMENT
Laut China Selatan adalah salah satu wilayah paling strategis dan kontroversial di dunia, dikenal dengan potensinya yang besar dalam ekonomi dan geopolitik. Wilayah ini merupakan lintas laut utama yang menghubungkan perdagangan Timur dengan Barat, dengan lebih dari 32,7 juta TEU kargo dunia yang melintas setiap tahun, memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi negara-negara di Asia Tenggara. Dari segi sumber daya alam, Laut China Selatan memiliki cadangan minyak yang besar, dengan U.S. Energy Information Administration melaporkan adanya 11 miliar barel cadangan minyak dan 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam. Klaim teritorial China atas wilayah ini, termasuk klaim Nine Dash Line (Sembilan Garis Putus-Putus), menambah ketegangan geopolitik yang menimbulkan potensi konflik yang melibatkan beberapa negara, dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia sebagai pemain kunci (Akinga et al., 2023). Klaim teritorial yang saling bertentangan, khususnya nine dash line yang China ajukan, telah mengubah laut ini menjadi sebuah arena pertarungan kedaulatan negara-negara yang berbatasan.
ADVERTISEMENT
Indonesia, meskipun secara historis tidak terlibat langsung dalam klaim teritorial utama di Laut China Selatan, menemukan wilayahnya sendiri, Laut Natuna Utara, di ambang tantangan yang serupa. Kawasan ini, yang secara geografis merupakan bagian dari zona eksklusif ekonomi (ZEE) Indonesia, kini terancam oleh garis klaim nine dash line yang China berikan. Secara khusus, klaim nine-dash line tersebut mencakup sekitar 83.000 kilometer persegi, atau sekitar 30% dari ZEE Indonesia yang berada di Laut Natuna Utara. Klaim ini menimbulkan ketegangan dan potensi konflik teritorial, mengingat zona yang diklaim China tumpang tindih dengan ZEE yang diakui internasional sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia.
Pada tahun 2017, pemerintah mengganti nama bagian dari Zona Ekonomi Eksklusifnya di Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Perubahan ini merupakan respons terhadap klaim sepihak oleh China yang didasarkan pada klaim historis sebelum konvensi UNCLOS 1982. Klaim China menyebabkan konflik dan pelanggaran hak kedaulatan Indonesia, mendorong Indonesia untuk mereposisi identitas kedaulatannya di wilayah tersebut melalui perubahan nama.
ADVERTISEMENT
Laut Natuna Utara memegang peran krusial dalam geopolitik baik di tingkat regional maupun global, terletak pada jalur vital yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia. Kepemilikan atau pengendalian atas area ini dapat memberikan manfaat strategis yang signifikan, mempengaruhi navigasi maritim dan kegiatan perdagangan internasional secara luas. Kontrol atas jalur ini tidak hanya menguatkan posisi negara dalam skala global dalam hal jalur perdagangan, tetapi juga dalam aspek keamanan maritim dan kekuatan pengaruh di panggung internasional.
Begitu besarnya potensi tersebut memberikan konsekuensi daya tarik banyak pihak untuk dapat meraup keuntungan ekonomis di wilayah laut Natuna. Hingga saat ini, ada berbagai macam konflik dan pelanggaran teritorial yang terjadi di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, terutama klaim nine dash line China yang menjadi ancaman di wilayah ZEE Indonesia. Hal ini harus ditanggapi dengan serius, dimana Indonesia harus bersikap tegas dalam menjaga wilayahnya yang sudah ditetapkan melalui hukum internasional. Hal ini harus dilihat sebagai ancaman kedaulatan, dan tidak hanya melihatnya dari prespektif territorial, tapi lebih kepada harga diri sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan, berdasarkan UNCLOS 1982, yang telah diperjuangkan melalui Deklarasi Djuanda tahun 1957.
ADVERTISEMENT
Karena pentingnya isu ini, artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan meningkatkan kesadaran publik terhadap implikasi dari konflik Laut China Selatan bagi kedaulatan Indonesia. Dengan memahami dinamika dan tantangan yang dihadapi, masyarakat Indonesia dapat lebih bersiap dalam menghadapi ancaman yang mungkin timbul dan mendukung upaya-upaya pemerintah dalam mengamankan wilayah serta menjaga kedaulatan nasional. Melalui diskusi yang mendalam dan reflektif, artikel ini berharap dapat menyediakan wawasan baru dan mendukung pengambilan kebijakan yang informatif di tengah situasi yang terus berubah.

Apa itu Nine Dash Line?

Nine Dash Line adalah garis yang secara sepihak dibuat oleh China untuk menandai klaim atas sekitar 90% dari Laut China Selatan, yang dinyatakan sebagai wilayah maritim historis China. Garis ini pertama kali muncul pada peta China pada tahun 1947 dengan sebelas garis putus-putus, setelah Perang Dunia II, ketika Partai Kuomintang di bawah pimpinan Chiang Kai Sek menguasai beberapa pulau yang sebelumnya dipegang oleh Jepang. Setelah kekalahan di daratan utama, Kuomintang mundur ke Taiwan, dan pada tahun 1949, Republik Rakyat China yang berorientasi komunis dibentuk dan mengklaim sebagai satu-satunya perwakilan resmi China yang mewarisi klaim-klaim maritim tersebut, klaim yang juga dipertahankan oleh pemerintahan Taiwan.
ADVERTISEMENT
Pada 1950-an, dua dari garis tersebut dihapus oleh Perdana Menteri China, Zhou Enlai, sehingga hanya menyisakan sembilan garis. Penghapusan ini merupakan bentuk dukungan untuk Vietnam Utara yang saat itu berjuang melawan Vietnam Selatan yang didukung oleh Blok Barat. Dengan demikian, Eleven Dash Line berubah menjadi Nine Dash Line.
Hingga saat ini, nine dash line digunakan oleh China sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir seluruh wilayah laut seluas 2 juta km persegi. Klaim ini berdampak signifikan, termasuk atas wilayah perairan ZEE Indonesia di Natuna. Negara-negara lain seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam juga terpengaruh oleh klaim ini. Wilayah-wilayah seperti Kepulauan Paracel dan Spratly, yang berada dalam nine dash line, juga diperebutkan oleh China, Vietnam, dan Taiwan. Namun, menurut konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang sah.
ADVERTISEMENT

Potensi dan Ancaman Terhadap Kedaulatan

Aktivitas China di Laut Natuna Utara mayoritas terjadi di sektor timur laut, dengan koordinat antara 5 - 6 derajat Lintang Utara dan 109 derajat Bujur Timur. Pada periode Agustus hingga Oktober 2021, kapal riset Tiongkok, Haiyang Dizhi-10, diduga melaksanakan survei hidrografi di kawasan tersebut. Area ini mencakup Blok Migas East Natuna, yang terkenal dengan ladang gas D-Alpha dan Dara, yang secara kolektif menyimpan salah satu cadangan gas terbesar di Indonesia. Estimasi cadangan gas mentah di blok tersebut adalah sekitar 222 triliun kaki kubik (TCF), sementara cadangan gas yang dapat dimanfaatkan—setelah proses pemisahan dari CO2—diperkirakan sekitar 46 TCF. Dengan pemanfaatan yang efisien, sumber daya gas alam ini diharapkan bisa berkelanjutan selama tidak kurang dari 30 tahun kedepan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2017, total potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Nomor 711 (WPP-RI 711), yang meliputi Laut Natuna dan Laut Natuna Utara, diperkirakan mencapai 767.126 ton. Analisis ini mengindikasikan adanya keanekaragaman signifikan dalam komposisi biota laut di wilayah tersebut, yang penting untuk pengelolaan dan konservasi sumber daya kelautan.
Potensi lainnya, laut Natuna juga tercatat memiliki kekayaan situs sejarah. Adhityatama dan Sulistyarto (2018) dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Natuna disebut memiliki situs karang antik dan banyak peninggalan keramik utuh yang bisa diambil bahkan diperdagangkan dari dasar laut tersebut. Masa peninggalannya pun beragam mulai dari 960-1279 Masehi masa Dinasti Song, abad ke-17 masa Dinasti Qing. Sebagian besar keramik ini adalah barang niaga dari luar Nusantara atau barang impor masa silam.
ADVERTISEMENT
Dibalik potensi ini, ketegangan dan ancaman yang sedang berlangsung di Laut China Selatan adalah klaim territorial China yang dilambangkan melalui nine dash line. Klaim ini mencakup hampir seluruh Laut China Selatan, termasuk sebagian dari ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara (Farida & Setiyono, 2022). Respons Indonesia terhadap penegasan unilateral China telah bersifat tegas dan strategis. Meskipun Indonesia bukan pihak utama dalam sengketa Laut China Selatan yang lebih luas, klaim China ini berpotensi mengganggu pengelolaan sumber daya alam dan keamanan perbatasan maritim Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak hanya meningkatkan patroli keamanan di wilayah yang disengketakan, namun juga secara publik menolak klaim China melalui nota diplomatik yang menegaskan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional yang sah.
ADVERTISEMENT
Ancaman terhadap kedaulatan Indonesia bukanlah sekadar proyeksi teoretis tetapi realitas yang harus dihadapi dengan serius. Intrusi oleh kapal-kapal penangkap ikan China—seringkali dikawal oleh Coast Guard China—ke dalam ZEE Indonesia mengindikasikan tidak hanya pelanggaran kedaulatan, tetapi juga ancaman terhadap sumber daya alam Indonesia. Insiden-insiden seperti ini potensial memicu konflik yang lebih besar antara penegak hukum Indonesia dan kapal-kapal China.
Konflik Natuna kembali memanas setelah China menuntut Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas alam (migas) karena mengklaim wilayah itu miliknya. Padahal Indonesia sudah menyatakan bahwa ujung selatan Laun China Selatan adalah ZEE milik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara. Frekuensi dan intensitas insiden ini menambah ketegangan dan menimbulkan kekhawatiran atas kemungkinan konfrontasi militer.
ADVERTISEMENT
Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengecam insiden tersebut sebagai pelanggaran kedaulatan Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinennya. Sebagai tanggapan terhadap serangkaian pelanggaran kedaulatan ini, Indonesia mengubah nama sebagian ZEE di Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada tahun 2017, sebagai pernyataan kuat Indonesia dalam menjaga kedaulatannya (Maulana & Ibrahim, 2023).
Eskalasi konflik menjadi ancaman yang sangat serius dalam situasi ini. Walaupun Indonesia telah berupaya mempertahankan pendekatan yang terukur dan diplomatis, adanya aktivitas militer yang meningkat dari kedua belah pihak di wilayah yang disengketakan bisa mengarah pada insiden yang tidak diinginkan. Kekhawatiran terbesar adalah bahwa insiden kecil—seperti tabrakan antara kapal—bisa memicu konflik yang lebih besar, menyeret Indonesia dan China ke dalam konfrontasi yang dapat meluas menjadi krisis regional dengan melibatkan negara-negara ASEAN lainnya.
ADVERTISEMENT

Perspektif Hukum Internasional

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) menyediakan fondasi hukum yang kuat untuk mengatasi isu-isu kedaulatan di laut. UNCLOS, yang Indonesia ratifikasi pada tahun 1986, mendefinisikan batasan-batasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan hak-hak negara kepulauan. Menurut konvensi ini, sebuah negara memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan mengexploitasi sumber daya alam di dalam ZEE-nya, yang mencakup area hingga 200 mil laut dari garis dasar pantainya (Borte & Victoria, 2023). Dalam konteks Laut China Selatan, banyak klaim China bertabrakan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh UNCLOS. Klaim nine dash line yang diterapkan China tidak didukung oleh UNCLOS, karena secara sepihak memperluas klaim teritorial melebihi batasan yang diizinkan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan hukum terhadap konflik ini mencapai titik penting dengan keputusan arbitrase tahun 2016 oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, yang menolak klaim teritorial China berdasarkan nine dash line. Meskipun China menolak untuk mengakui atau mematuhi keputusan ini, putusan tersebut memberikan preseden hukum internasional yang kuat yang mendukung posisi negara-negara yang menentang klaim tersebut, termasuk Indonesia. Keputusan ini menguatkan argumen bahwa tindakan-tindakan berdasarkan klaim historis yang tidak didukung oleh bukti hukum konkret dan diterima secara internasional tidak dapat diterima.
Dengan mempertimbangkan UNCLOS dan keputusan arbitrase internasional, jelas bahwa penyelesaian sengketa di Laut China Selatan harus mematuhi hukum internasional. Indonesia, dengan mengacu pada kerangka hukum ini, memperkuat posisinya dalam komunitas internasional sambil berusaha untuk mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorialnya. Pemanfaatan hukum internasional tidak hanya sebagai alat diplomasi tetapi juga sebagai komponen strategis dalam menegakkan kedaulatan, menjadi kunci dalam navigasi tantangan geopolitik di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, terdapat tantangan dalam mengimplementasikan putusan hukum internasional, terutama mengingat ketidakhadiran mekanisme penegakan yang kuat dan ketidakmampuan UNCLOS untuk mengharuskan kepatuhan. Dalam hal ini, perluasan kerjasama regional dan peningkatan kapasitas diplomasi Indonesia menjadi krusial dalam menavigasi kompleksitas ini.

Upaya Solutif

Strategi dan solusi untuk menanggapi tantangan kedaulatan di Laut China Selatan harus komprehensif dan multi-dimensi, menggabungkan upaya diplomasi, pertahanan, dan kerjasama internasional. Kegiatan ini harus mencerminkan komitmen Indonesia sebagai negara yang mendukung tatanan internasional berbasis aturan, dan harus dirancang untuk memperkuat posisi negara dalam arena internasional serta melindungi kedaulatan dan kepentingan nasionalnya.
Menghadapi tantangan kedaulatan di Laut China Selatan dan dinamika ekonomi dan politik global yang dinamis, sangat penting bagi Indonesia untuk mempertahankan fokusnya dalam meningkatkan kemampuan pertahanan dan keamanan untuk melindungi kedaulatan dan kepentingan nasionalnya dalam konteks global yang semakin kompetitif. Mengingat eskalasi militerisasi di Laut China Selatan, perluasan klaim China dari Sembilan Garis Putus-putus (nine dash line) menjadi Sepuluh Garis Putus-putus (ten dash line), dan semakin intensifnya persaingan antara Amerika Serikat dan China, maka sangat penting bagi Indonesia untuk memperkuat postur pertahanannya. Strategi ini mencakup peningkatan kehadiran militer dan patroli keamanan di Laut Natuna Utara, serta penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelanggaran ZEE oleh kapal asing. Pemerintah Indonesia juga telah memperkuat infrastruktur di pulau-pulau terdekat, sebagai sinyal tegas kepada masyarakat internasional dan negara-negara klaim lain bahwa Indonesia serius dalam menjaga kedaulatannya. Posisi strategis Indonesia sebagai negara maritim membutuhkan postur pertahanan yang kuat untuk menangkal agresi atau klaim sepihak, dan melindungi integritas teritorial dan kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Indonesia berupaya meningkatkan diplomasi bilateral dengan China dan negara-negara ASEAN lainnya, mencari solusi damai sambil tetap tegas dalam menolak klaim yang tidak sah. Upaya ini harus didukung oleh dialog yang konstruktif, pertukaran kepentingan ekonomi yang saling menguntungkan, dan penekanan pada kepatuhan bersama terhadap hukum internasional. Pada tingkat multilateral, Indonesia perlu berperan aktif dalam forum ASEAN untuk menyusun sikap bersama yang lebih koheren terhadap konflik Laut China Selatan. Ini termasuk mendorong ASEAN untuk memainkan peran mediasi yang lebih efektif dan memastikan bahwa blok tersebut memiliki kebijakan yang jelas dan bersatu dalam menghadapi klaim maritim. Indonesia berharap untuk mendapatkan dukungan lebih luas terhadap penegakan hukum laut internasional dan resolusi damai. Dukungan global hanya meningkatkan tekanan terhadap negara-negara yang melanggar norma internasional, tetapi juga membantu mengamankan jalur perdagangan dan kepentingan maritim global yang penting bagi banyak negara.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentunya membutuhkan dukungan diplomasi maritim Indonesia dengan kemampuan pertahanan dan keamanan yang kuat melalui modernisasi militer dan peningkatan keamanan maritim (Dao, 2024). Upaya ini harus terus dilakukan secara terukur dan sistematis dalam rangka memperkuat wilayah kedaulatan Indonesia di tengah dinamika yang sedang berlangsung. Diplomasi tanpa kekuatan postur pertahanan dan keamanan maritim yang kuat, tentunya akan mengurangi efektifitas diplomasi itu sendiri. Keseimbangan antara diplomasi dan kekuatan pertahanan merupakan komponen kunci dalam strategi keamanan nasional yang komprehensif.
Dalam lingkup masyarakat, pembumian nama Laut Natuna Utara harus terus dilakukan. Selain sebagai klaim kedaulatan ZEE Indonesia di Laut China Selatan, juga sebagai sebuah doktrin pemahaman masyarakat luas akan kedaulatan wilayahnya. Melalui pemberitaan media, dunia pendidikan, kelompok masyarakat, dan lintas sektoral untuk terus mengkampanyekan hal ini. Bahwa yang terjadi di Laut Natuna Utara, adalah "harga diri" bangsa Indonesia sebagai negara berdaulat. ZEE Indonesia adalah perjuangan panjang terhadap masalah kedaulatan dan keamanan wilayah Indonesia, ini bukan "hadiah gratis". Tetapi hasil perjuangan panjang yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda pada tahun 1957, yang memicu perubahan penting dalam hukum internasional tentang laut, yang kemudian diakui dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, di mana konsep negara kepulauan ini diterima secara luas. Ini menjadi sangat penting untuk membangun antusias dan kesadaran masyarakat untuk tetap peduli atas kedaulatan negaranya.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Dalam menghadapi tantangan yang dihadirkan oleh konflik Laut China Selatan, kesadaran dan pemahaman mendalam tentang implikasi kedaulatan bagi Indonesia menjadi krusial. Konflik ini, yang melibatkan klaim teritorial yang bertentangan dan kepentingan geopolitik yang besar, bukan hanya persoalan bilateral antara Indonesia dan China, tetapi juga isu regional yang mempengaruhi stabilitas Asia Tenggara. Posisi Indonesia dalam menolak klaim nine dash line China dan penegasan kedaulatannya di Laut Natuna Utara menunjukkan pentingnya prinsip kedaulatan dalam diplomasi internasional dan hukum laut.
Dalam upaya mengamankan kedaulatan nasional dan kepentingan regional, Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis yang meliputi peningkatan kapasitas militer, diplomasi bilateral dan regional, serta penggalangan dukungan internasional. Strategi ini menunjukkan kombinasi dari pendekatan defensif dan proaktif dalam menghadapi ancaman kedaulatan, yang tidak hanya mengamankan wilayah tetapi juga mendukung prinsip hukum internasional dan kerja sama global.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini sangat pentingnya kesadaran masyarakat terhadap isu kedaulatan di Laut China Selatan menjadi jelas. Masyarakat Indonesia harus mendukung upaya pemerintah dalam menjaga kedaulatan dan berpartisipasi aktif dalam pembumian nama Laut Natuna Utara, diskusi dan kebijakan publik terkait. Dengan terus mendorong peningkatan postur pertahanan negara dan keamanan maritim, penegakan hukum internasional dan mempromosikan solusi damai, Indonesia dapat memainkan peran kunci dalam menjaga stabilitas regional dan mendukung struktur internasional yang adil dan berkelanjutan.
Sebagai refleksi atas masa depan Laut China Selatan harus melampaui konflik saat ini untuk mempertimbangkan dinamika global dan regional yang lebih luas. Dengan meningkatnya kesadaran dan dukungan, upaya Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya di Laut China Selatan akan terus mendapat pengakuan dan dukungan, menegaskan kembali posisi negara ini sebagai pelindung kedaulatan dan kestabilan di kawasan ini.(*)
ADVERTISEMENT

Referensi

Akinga, A. Y., Umar, A. Y., & Yusuf, D. J. (2023). The Strategic Importance Of South China Sea To International Geopolitics. ACADEMICIA: An International Multidisciplinary Research Journal, 13(1), 24-34.
Adhityatama, S., & Sulistyarto, P. H. (2018). Bukti Langsung Interaksi Perdagangan Di Kepulauan Riau; Studi Pada Situs Arkeologi Bawah Air Di Pulau Natuna Dan Pulau Bintan. Jurnal Segara, 14(3), 127-135.
Borte, A. L., & Victoria, O. A. (2023). The South China Sea International Disputes with the ASEAN Area (in International Maritime Law). International Journal of Law Reconstruction, 7(1), 114-127.
Dao, Y. (2024). Maritime Diplomacy in Realizing the Vision of Golden Indonesia 2045 through the Concept of World Maritime Axis. Politeia: Journal of Public Administration and Political Science and International Relations, 2(1), 48-61.
ADVERTISEMENT
Farida, Q. A. S., & Setiyono, J. (2022). The Conflict of South China Sea and Impact on Indonesia’s National Interest. International Journal of Social Science and Human Research, 5(8), 3670-3674
Gul, S., Umar, S., & Alam, A. (2022). South China Sea: The Dispute Creates Capital. Global Strategic & Security Studies Review, VII, 24-31.
Maulana, Y. S., & Ibrahim, B. (2023). Perubahan Nama Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Di Laut Cina Selatan Menjadi Laut Natuna Utara (1982-2017). Nusantara Hasana Journal, 3(2), 124-131.