Merajut Keikhlasan di Sepetak Tenda Darurat

Aksi Cepat Tanggap
Aksi Cepat Tanggap adalah organisasi kemanusiaan global profesional berbasis kedermawanan dan kerelawanan masyarakat global
Konten dari Pengguna
20 Februari 2020 10:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aksi Cepat Tanggap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hampir dua bulan ratusan warga tinggal di tenda pengungsian Kampung Seupang, Desa Pajagan, Sajira, Lebak. Kehidupan mereka berubah, termasuk ibu rumah tangga yang harus mengurusi keluarganya.
Seorang ibu dan anak-anak yang berada di pengungsian Kampung Seupang, Pajagan, Sajira, Lebak, Senin (17/2). Tempat ini jadi pengungsian sejak banjir bandang awal 2020 lalu. (ACTNews/Eko Ramdani)
ACTNews, LEBAK – Terpal biru yang dibuat serupa rumah jadi tempat tinggal Arinah, suami, dan anak-anaknya untuk sekarang ini, Senin (17/2). Banjir bandang telah menghancurkan kediaman keluarganya dan puluhan rumah lain. Tak ada harta benda yang dapat diselamatkan Arinah, yang tersisa hanya baju yang saat itu ia kenakan.
ADVERTISEMENT
Usia anak paling kecilnya tiga tahun. Arinah terpaksa mengajak anak bungsunya untuk tinggal di pengungsian sejak awal Januari 2020 lalu. Tak ada cara lain, ia tak memiliki lagi uang untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak untuk hidup bersama anak-anaknya.
“Ya karena enggak punya uang lagi, terpal ini aja dari bantuan,” jelasnya kepada tim ACTNews, Senin (17/2) di tendanya di Kampung Seupang.
Arinah berupaya bertahan di tengah keterbatasan. "Ikhlas", kata yang kini ia terapkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga di sepetak tenda darurat. “Bedanya mungkin sekarang untuk ke kamar mandi harus gantian sama pengungsi yang lain karena kamar mandi yang ada kan dipakai buat bareng-bareng,” tambahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Arina dan ibu rumah tangga lainnya yang berada di pengungsian mengandalkan bantuan air bersih dari dermawan. Air Sungai Ciberang kini tak dapat lagi dimanfaatkan untuk konsumsi. Airnya berubah menjadi cokelat sejak banjir bandang awal tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang dihimpun tim Aksi Cepat Tanggap (ACT), jumlah penyintas banjir di Kampung Seupang mencapai 284 jiwa, 62 jiwa di antaranya ibu rumah tangga dan 39 balita. Mereka semua bertahan di lebih kurang 50 tenda pengungsian. Tenda pengungsian mereka dibuat model panggung untuk mengurangi rasa dingin dari lantai tanah. Walau begitu, saat hujan atau malam, tenda pengungsian tak dapat menahan udara dingin.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, warga hanya mengandalkan bantuan. Dapur sederhana biasanya ada di masing-masing tenda. Warga biasanya tak masak untuk keluarganya saat ada bantuan makanan siap santap. Misalnya ketika Humanity Food Truck memberikan layanan makan gratis.
Kini, hampir dua bulan warga bertahan di bawah tenda pengungsian. Mereka masih belum tahu akan dibawa ke mana keluarganya. Mengikhlaskan keadaan jadi cara sebagian besar warga dan mencoba hidup seperti biasa layaknya di rumah mereka yang telah hancur dilanda bencana.[]
ADVERTISEMENT