Konten dari Pengguna

Pemenang Timur, Desa Tanpa Es Krim

Aksi Cepat Tanggap
Aksi Cepat Tanggap adalah organisasi kemanusiaan global profesional berbasis kedermawanan dan kerelawanan masyarakat global
3 September 2018 15:59 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aksi Cepat Tanggap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemenang Timur, Desa Tanpa Es Krim
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
ACTNews, LOMBOK UTARA - Es krim, adakah yang tak suka? Panganan beku, dingin, manis, dan berwarna menarik dengan rasa khas susu olahan satu ini idola semua kalangan. Rasanya, tak ada yang tak suka, hampir semua orang enggan untuk menolak ketika disajikan es krim. Vanila, cokelat, strawberry, karamel, dan rasa-rasa lainnya punya cita rasa khasnya masing-masing. Konon, tiap rasa es krim yang disukai pun punya hubungan erat dengan kepribadian para penggemarnya.
ADVERTISEMENT
Nikmat tekstur beku es krim yang meleleh ketika lidah mengecapnya pun memiliki sensasi nikmatnya tersendiri. Itulah kenapa, es krim tak dapat tergantikan dengan cemilan seperti biskuit, roti, atau permen. Es krim menjadi candu, bagi siapapun tak pandang usia. Apalagi kalau matahari sedang terik-teriknya menyapa, apalagi kalau hati sedang gundah. Es krim jadi pilihan utama untuk mengenyahkan rasa tak enak.
Tidak terkecuali bagi bocah-bocah pengungsi yang tinggal di tenda pengungsian Desa Pemenang Timur, sisi Pulau Lombok sebelah Utara. Anak-anak lugu nan polos itu menyatu menjadi bagian dari duka pascabencana gempabumi memporak-porandakan kampung, rumah, sekolah bahkan masjid mereka.
Kini, bagi anak-anak pengungsi itu, siang hari yang terik hanya ada sengatan matahari tanpa pelindung genting atau asbes. Pakaian yang mereka kenakan, tak berganti sudah berhari-hari. Tidak punya rumah, tidak punya baju, apalagi mainan, apalagi es krim.
ADVERTISEMENT
Gersang, kering, dan terik. Bayangan tentang nikmat es krim pun menjadi hal mewah yang dinantikan anak-anak di pengungsian di Dusun Trengan Lauq, Desa Pemenang Timur. Namun, sayang, kehadiran es krim di sana, dilarang.
“MAAF, DAGANG ES KRIM DILARANG MASUK. KAMI TIDAK PUNYA UANG. JANGAN BIKIN ANAK KAMI MENANGIS LAGI.”
Begitu nada keras yang tertulis di sebuah papan, siapapun yang membacanya pasti akan terhenyak. Begitu pun para relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang berkunjung hari itu ke Dusun Trengan Lauq. Posisinya tepat di sebelah kanan jembatan yang dilewati untuk menuju ke area pengungsian. Ditulis dengan huruf kapital, mutlak menyuarakan sebuah ketegasan.
Ironi “DAGANG ES KRIM DILARANG MASUK”
Di pohon yang menjulang gagah selepas diguncang ratusan gempa berkali, terpaku mantap sebuah papan putih yang menyimpan ironi. Para pedagang es krim yang berusaha mencari nafkah dengan menjual es krim keliling, memaknai bahwa area pengungsian dapat menjadi pilihannya untuk mengais rezeki. Agar anak dan istrinya yang juga mungkin saja tinggal di pengungsian, dapat tercukupi kebutuhannya.
ADVERTISEMENT
Namun, papan larangan berdagang es krim itu pun menjadi ironi. Anak-anak di pengungsian yang berhak atas kasih sayang orang tuanya, tentu merengek memohon dibelikan es krim ketika si pedagang es krim datang ke kamp pengungsian. Tapi uang dari mana?
Bukannya tak ingin. Tapi uang pun sudah tak ada. Rumah ambruk, masjid runtuh, sekolah rubuh, harta benda hancur ditindih atap dan runtuhan rumah. Uang tabungan yang masih tersisa, bagi para orangtua anak-anak itu, harus dialokasikan dengan tepat. Tidaklah mudah bagi mereka, menahan diri dengan mengesampingkan rengekan buah cintanya untuk semangkuk kecil es krim.
Akhirnya, papan itu pun menjadi tanda ketegasan. Tanda yang terpaksa ditulis, agar anak-anak di tenda pengungsian Dusun Trengan Lauq tidak menangis kejer lagi karena meminta dibelikan es krim.
ADVERTISEMENT
Mengalihkan rengekan “ingin es krim” jadi tawa
Terhenyak dengan tanda papan itu, sejumlah relawan ACT makin bergegas bertemu dengan anak-anak di Dusun Trengan Lauq. Lukman Solehuddin, Koordinator Posko ACT di Pemenang mengatakan, relawan ACT tiba disambut tawa dan suka cita khas bocah,
“Relawan ACT hadir dengan membawa cemilan-cemilan enak dan sehat seperti susu dan lainnya. Meski bukan es krim, mereka terlihat bersemangat mengikuti permainan dan kuis-kuis yang dimulai oleh teman-teman relawan,” kata Lukman.
Sejenak es krim dilupakan. Teman-teman relawan ACT datang menjadi teman bermain dan teman bercerita. “Program Trauma Healing atau Dukungan Psikososial nyatanya dapat membangun interaksi yang baik dengan anak-anak pengungsian. Hadirnya teman baru yang menguatkan adalah salah satu hal yang mereka butuhkan,” tambah Lukman.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, keinginan untuk semangkuk kecil es krim benar-benar dilupakan. Berganti jadi tawa lepas. “Riuh tenda pengungsian saat mereka mengangkat tangan untuk menjawab kuis. Semua anak-anak bersemangat untuk mendapatkan hadiah atau snack, atau sekadar bersenda gurau di pangkuan para relawan,” kisah Lukman.
Sebulan pascagempa, pemulihan sedang dimulai. Sejumlah orangtua mulai sibuk mencari nafkah apa adanya, sebagai bentuk kemandirian mereka membangun ekonomi keluarga yang ikut ambruk dengan robohnya rumah.
Dari Lombok Utara, dr. Muhammad Riedha selaku Koordinator Aksi Dukungan Psikososial ACT menceritakan, anak-anak di pengungsian menghabiskan waktu dengan bermain dan mengaji di surau darurat dari tiang-tiang bambu dan terpal biru yang terhampar luas sebagai atap.
“Perlahan, insyaAllah Lombok sedang bangkit. Meski diiringi rengekan manja buah hati anak-anak pengungsian, karena sepotong atau semangkuk kecil es krim yang gagal ditebus karena tidak ada uang,” ujar dr. Riedha.
ADVERTISEMENT
Papan tentang “dagang es krim dilarang masuk” adalah satu dari sekelumit cerita lain, tentang ironi sederhana yang memilukan pascagempa meluluhlantakkan Lombok bagian Utara, Nusa Tenggara Barat. Lombok memang belum pulih, tapi satu hal yang harus diyakini bahwa, Indonesia Bersama Lombok. []